Selasa, 30 April 2013

MENGAPA DOSEN MUDA HARUS STUDI KE LUAR NEGERI?


Beberapa hari ini saya disibukkan menjawab dan menjelaskan, mengapa dosen muda di Unesa didorong atau bahkan “dipaksa” untuk studi S2 atau S3 ke luar negeri.  Saya dapat menangkap kekecewaan beberapa dosen yang ingin studi S2/S3 di dalam negeri, tetapi saya minta ke luar negeri.  Alasan yang diajukan, biasanya anak masih kecil, bahasa Inggris belum cukup, tidak diijinkan keluarga dan sebagainya.

Pada awal-awal menjadi Direktur Ketenagaan Ditjen Dikti, pada tahun 2007, saya terlibat diskusi intens untuk mewujudkan world class university (WCU), yang menjadi salah satu indikator kinera kunci (IKU) atau key performance indicator (KPI) Ditjen Dikti.  Saya mengajukan pemikiran, kalau ingin perguruan tinggi Indonesia menjadi WCU maka dosen yang harus didorong bertaraf internasional.  Bukan karena saya sebagai Direktur Ketenagaan yang mengurusi dosen, tetapi dosen adalah kunci utama maju-tidaknya perguruan tinggi.

Kalau gedung dan alat, begitu ada uang dapat segera dibangun atau dibeli.  Namun kalau dosen, walaupun ada uang untuk menyekolahkan atau mengirim untuk pelatihan, masih memerlukan waktu beberapa tahun.  Itupun belum tentu lulus semua.  Untuk memperoleh dosen bertaraf internasional, cara yang paling mudah adalah dengan menyekolahkan mereka untuk mengambil S2 atau S3 di perguruan yang bagus di negara maju.

Sebenarnya kurikulum perguruan tinggi di negara maju dan di negara berkembang, tidak berbeda jauh.  Yang berbeda adalah iklim akademik yang ditunjang oleh adanya dosen yang berkualitas, perpustakaan dan laboratorium.  Iklim akademik itulah yang kemudian membentuk lulusan dengan mutu bagus.  Kecuali itu, dengan menempuh pendidikan di universitas bagus di negara maju, dosen akan memiliki jejaring dengan para ilmuwan di berbagai negara.  Itulah yang sulit diperoleh jika para dosen kuliah di dalam negeri.

Bukan berarti dosen lulusan dalam negeri tidak berkualitas.  Namun sulit untuk membangun jejaring internasional.  Sekali lagi, bukan masalah kualitas, tetapi lebih karena “belum kenal”.  Di tambah lagi, dosen lulusan dalam negeri, banyak yang bahasa Inggris-nya “pas-pasan”, sehingga sulit berkomunikasi dengan dosen sebidang dari negara lain.  Belum lagi kebiasaan menulis artikel yang juga belum berkembang di sebagian besar perguruan tinggi dalam negeri.

Mengapa hanya dosen muda yang diharuskan?  Mengapa dosen yang senior diijinkkan untuk studi S2/S3 di dalam negeri?  Sebenarnya itu lebih terkait dengan iklim akademik di Unesa dan kampus Indonesia pada umumnya serta prinsip “mumpung belum terlanjur”. 

Sebagaimana diketahui, secara jujur harus dikaui bahwa sebagian besar universitas di Indonesia, termasuk Unesa, masih lebih tepat disebut teaching university dari pada research university.  Itu dapat diketahui dari proporsi pemanfaatkan waktu kerja dosen.  Mana yang lebih banyak waktunya di kampus, untuk memberi kuliah/membimbing mahasiswa atau melakukan riset.  Saya yakin, sebagina dosen lebih banyak menggunakan waktu di kampus untuk mengajar.  Kalau begitu perguruan tingginya lebih cocok disebut teaching university.

Karena aktivitasnya lebih banyak untuk memberi kuliah, maka iklim riset belum berkembang.  Kebiasaan dan pola pikir riset belum tumbuh dengan baik di kalangan dosen.  Nah, jika dosen yang sudah bertahun-tahun bekerja di iklim seperti itu, kemudian menempuh studi di luar negeri yang iklim akademiknya bernuansa riset akan kaget.  Belum lagi ditambahi dengan beban ekonomi yang konon semakin besar, kalau anak semakin besar.  Dan kemampuan bahasa Inggris yang juga tidak tumbuh, karena pergaluan sehari-hari terbatas dengan orang Indonesia.

Dosen muda yang baru lulus dari S2 diharapkan masih “fresh from the oven” dari studi pascasarjana yang tentunya banyak muatan riset dan iklim akademik sebagai komunitas mahasiswa S2.  Beban ekonominya juga belum seberat dosen senior.  Oleh karena itu “mumpung belum terlanjur terkontaminasi” dosen muda didorong untuk studi S3 di luar negeri.

Memang ada kendala bahasa, khususnya yang lulusan S2 di dalam negeri.  Untuk itu, universitas harus memberi falisitas untuk kursus bahasa Inggris dan dosen senior yang berpengalaman, dapat membantu mencari perguruan tinggi yang tepat, termasuk mencari calon promotor.

Di Surabaya ada perguruan tinggi yang pada tahun 1980an mengirimkan banyak dosen untuk S2/S3 di luar negeri.  Waktu itu, dosen yang tidak studi banyak mengeluh karena beban mengajarnya sangat banyak.  Kesempatan studi ke luar negeri terbuka luas, karena terlait dengan pinjaman luar negeri yang diterima perguruan tinggi tersebut.  Nah, saat ini perguruan tinggi itu menikmati keunggulan akademik. Jejaring internasionalnya juga berkembang baik, karena para dosen alumni berbagai negara itu, kemudian menjadi jembatannya.

Fenomena itu yang sebenarnya menjadi inspirasi, ketika saya mengajukan gagasan beasiswa luar negeri saat menjadi Direktur Ketenagaan.  Saat itu saya sampaikan, kalau setiap tahun Indonesia dapat mengirim 1.000 orang untuk studi S3 di berbagai negara maju dan itu berlangsung lima angkatan sejak tahun 2008, maka pada tahun 2012-2017 akan pulang 5.000 doktor baru dari perguruan tingggi ternama dan itu akan menggoyang iklim akademik perguruan tinggi di Indonesia.  Dan alhamdulilah, pada thun 2008 Indonesa dapat mengirim 1.100 dosen studi ke luar negeri.  Semoga Unesa dapat ikut menikmatinya.

Tidak ada komentar: