Senin, 29 April 2013

SULIT MENCARI CALEG YANG BERKUALITAS


Koran Republika edisi Kamis 25 April memuat tulisan dengan judul “Caleg Bermutu Hanya 20 Persen”.  Tidak jelas dasar perhitungan sebagai dasar menyimpulkan hanya 20% caleg yang bermutu, dengan kata lain 80 % dari caleg tahun ini tidak bermutu.  Satu-satunya informasi yang disampaikan adalah banyaknya anggota DPR periode 2009-2014 yang saat ini mencalonkan lagi menjadi caleg.

Namun dalam tulisan tersebut dimuat pendapat Ahmad Mubarok, anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, yang mengakui bahwa angka tersebut memang benar.  Dia memberi penjelasan mengapa sulit mencari caleg yang berkualitas.  Katanya, para caleg umumnya masih mengandalkan popularitas.  Pada caleg yang bermutu umumnya tidak punya uang.  Sedangkan yang bermutu dan punya uang, banyak yang tidak mau menjadi caleg.  Karena Ahmad Mubarok merupakan tokoh penting di Partai Demokrat, maka konformasi tersebut dapat dipercaya.  Paling tidak untuk intern Partai Demokrat. 

Membaca tulisan tersebut dan saya gandengkan dengan tulisan serta informasi lain, saya mencoba membuat semacam mind map, sebagai berikut.  Pertama, untuk dapat menjadi anggota DPR memerlukan biasa yang besar.  Saya pernah ngobrol dengan seorang teman yang kebetulan juga anggota DPR, katanya diperlukan biaya tidak kurang dari 1 M untuk menjadi anggota DPR.  Untuk apa saja mas, kok begitu besar?  Mungkin itu pertanyaan naïf, karena memang saya tidak tahu.

Sambil tertawa teman tadi menjelaskan, dana itu diperlukan mulai untuk memuluskan menjadi caleg (calon anggota DPR), kampanye, mememuhi permintaan sumbangan calon pemilih dan sebagainya.  Konon begitu ada nama muncul sebagai caleg untuk daerah tertentu, akan berdatangan proposal minta sumbangan untuk berbagai hal.  Dalam posisi semacam itu, si caleg seakan “mau tidak mau memberi sumbangan”, karena takut tidak dipilih.

Pada saat kampanye-pun, diperlukan dana untuk mengumpulkan orang dan bahkan memberi uang transport.  Konon ada orang yang membandingkan, uang transport yang diberikan oleh caleg satu dengan caleg lainnya.  Belum uang untuk operasional tim sukses yang konon juga sangat besar.  Intinya di saat kampanye caleg harus siap uang kontan dalam jumlah besar, karena setiap saat ada yang meminta.

Mendengar penjelasan itu, saya jadi berpikir pola transaksional sudah sangat kental dalam proses pemilu.  Semua dihitung sebagai “jual-beli” dan serba uang kontan.  Masyarakat juga semakin “pintar” dan berprinsip “toh kalau sudah jadi, belum tentu ingat dengan kita”.   “Toh tidak ada besanya apakah si-A atau si-B yang mewakilinya di DPR”.  “Kapan lagi rakyat mendapatkan sesuatu kalau bukan menggedor saat menjelang pemilu”.

Kedua, kalau begitu besar biaya untuk menjadi caleg maka memang hanya orang yang punya “modal” yang bisa mencalonkan diri.  Orang yang tidak punya modal, walaupun pandai dan punya minta menjadi caleg, tidak akan dapat masuk ke jalur itu.  Dalam hati saya bertanya: “orang-orang pandai dan idealis apakah punya uang sebesar itu ya?”  Keyakinan saya, jawabnya “tidak punya”.  Jadi betul ungkapan Pak Ahmad Mubarok, orang yang pandai dan idealis umumnya tidak punya modal sebesar itu dan akhirnya tidak dapat menjadi caleg.

Bagaimana orang-orang yang pandai dan sudah memiliki pekerjaan mapan, sehingga memiliki uang banyak?  Jangan-jangan ungkapan Pak Ahmad Mubarok itu betul, yaiu: “mereka yang pandai dan punya uang tidak mau menjadi caleg”.  Tentu banyak alasannya, mungkin sudah sibuk dengan pekerjaannya saat ini.  Atau menjadi DPR tidak menarik bagi orang idealis.  Atau berita yang cenderung negatif terhadap perilaku sebagian anggota DPR membuat

Merenungkan fenomena di atas, saya jadi teringat seloroh yang populer pada pertengahan tahun 1990-an.  Katanya antara “pandai”, “loyal” dan “jujur” sulit untuk bersatu dalam diri seseorang.  Orang yang pandai dan loyal, seringkali tidak jujur.  Orang yang pandai dan jujur, seringkali tidak loyal.  Orang yang loyal dan jujur, seringkali tidak pandai.

Apakah antara “pandai”, “kaya” dan “idealis” juga sulit bersatu dalam diri seorang caleg?  Artinya, caleg yang pandai dan kaya, seringkali tidak idealis.  Caleg yang pandai dan idealis, seringkali tdak kaya.  Caleg yang kaya dan idealis, seringkali tidak pandai.  Semoga itu hanya seloroh dan jauh dari kebenaran.

Tidak ada komentar: