Sabtu, 06 April 2013

KHAWATIR MENGHADAPI UN


Akhir-akhir ini demam menghadapi Ujian Nasional (UN) tampak mewabah. Dalam dua minggu ini, saya sudah mengisi lima  kali acara yang terkait dengan UN.  Dua kali diundang saat acara do’a bersama dan tiga kali diminta untuk memberi motivasi.  Rasanya saya kok seperti menjadi “dukun” bagi mereka yang risau menghadapi UN.

Saat bertemu dengan para kepala untuk memberi motivasi, saya menayangkan foto siswa yang sedang mengerjakan UN, guru yang sedang mengajar dan orangtua siswa yang mengantar anaknya mendaftar sekolah.  Saya tanyakan kepada para guru, siapa diantara tiga orang tersebut (siswa, guru dan orangtua) yang paling takut dan khawatir menghadapi UN?  Hampir serempak mereka menjawab: “guru”.  Ketika saya tanyakan, setelah guru siapa yang juga khawatir?  Mereka menjawab: “orangtua”.

Mendengar jawaban itu saya lantas ingat keluhan Rektor ITS (Prof Triyogi Yuwono) yang tahun ini salah satu putranya akan ikut UN SMA.  Beliau sangat risau, karena putranya tidak begitu rajin belajar.  Beliau bercerita, ketika ditegur putranya menjawab dengan ringan: “Kenapa sih, kok ribut amat, wong UN gitu saja kok”.   Saya menduga peristiwa seperti itu, banyak terjadi pada keluarga lainnya.  Orangtua begitu khawatir dan meminta putranya lebih rajin belajar.  Sementara sang putra menganggap UN itu ringan dan belajar yang dilakukan selama ini sudah cukup.

Mengapa fenomena tersebut terjadi?  Untuk memudahkan memahami, berikut ini analoginya. Saat melaju, sopir dengan tenangnya mengemudikan mobil.  Namun seringkali justru penumpang yang khawatir?  Kenapa?  Karena sopir tahu pasti apa yang dilakukan dengan berbagai pertimbangannya.  Sementara penumpang yang tidak faham mengapa itu terjadi, sehingga takut.  Mirip itu, guru dan orangtua khawatir karena tidak faham apa yang telah dan akan dilakukan siswa untuk menghadapi UN.  Sementara siswanya sendiri tenang-tenang, karena faham apa yang telah dilakukan dan apa yang akan dilakukan untuk menghadapi UN.

Tentu ada siswa yang ceroboh menghadapi UN.  Siswa seperti itu tidak belajar dengan baik, tetapi tetap tenang-tenang saja.  Mirip itu, juga ada sopir yang kurang terampil dan bahkan “ugal-ugalan”.  Sopir seperti itu akan mengemudikan mobil se-enaknya tanpa memperhatikan keselamatan penumpang.   Namun, saya yakin jumlah siswa yang ceroboh dan sopir yang ugal-ugalan tersebut tidak terlalu banyak.  Jadi guru dan orangtua yang khawatir, bukan hanya yang siswanya kurang persiapan.  Guru dan orangtua yang anaknya rajin belajarpun ikut khawatir.  Mirip penumpang bis, yang walaupun sopirnya ahli seringkali tetap khawatir.

Saya dapat memahami kekhawatiran guru dan orangtua seperti digambarkan di atas.  Namun sebaiknya tidak berlebihan, yang justru berpengaruh negatif terhadap psikologis siswa.  Kekhawatiran yang berlebihan, kadang-kadang menjadi “ketidakpercayaan” guru terhadap siswa dan “ketidakpercayaan”  kepada anaknya. 

Untuk menghadapi UN atau ujian dalam bentuk apapun, diperlukan dua bekal pokok.  Pertama, penguasaan materi UN.  Belajar yang rajin dan latihan mengerjakan soal-soal adalah bagian dari memperkuat penguasaan materi UN.  Kedua, kemantapan psikologis menghadapi UN.  Dengan bekal kepercayaan diri yang kuat/mantap, siswa akan dapat mengerjakan UN dengan tenang.  Sebaliknya, jika kepercayaan diri tidak mantap seringkali siswa akan “grogi” dalam mengerjakan UN. Akibatnya siswa tidak dapat mengerjakan UN dengan baik.

Kekhawatiran guru dan orangtua yang berlebihan, apalagi kemudian diperlihatkan secara menyolok kepada siswa, dapat menurunkan kepercayaan diri si siswa.  Dan jika itu terjadi, justru menimbulkan dampak negatif bagi siswa yang telah bekerja keras menyiapkan diri.  Oleh karena itu, khawatir boleh tetapi jangan berlebihan.  Dan sebaiknya guru dan orangtua tidak menampakkan kekhawatiran itu kepada siswa atau anaknya.  Berilah dukungan psikologis, agar siswa/anak melangkah dengan mantap memasuki ruang UN. Semoga.

Tidak ada komentar: