Senin, 27 Juli 2015

BEDA PRAMUGARI SQ DAN MI



Kali ini saya ke Miyanmar dengan naik SQ (Singapore Ariline) disambung dengan MI (Silk Air).  Sebenarnya saya ingin naik Garuda, biar duitnya balik ke BUMN Indonesia.  Tetapi tidak ada penerbangan Garuda ke Yangoon.  Yang ada ke Bangkok dan itupun dari Jakarta.  Jadi saya harus transit dua kali, Surabaya-Jakarta, Jakarta-Bangkok dan Bangkok-Yangoon.  Jadi pilih SQ disambung MI, Surabaya-Singapore naik SQ dan Singapore-Yangoon naik MI.

Memang ada penerbangan lain, misalnya dengan MH (Malaysia Airlines) dan masih ada lainnya.  Tetapi kalau tidak ada Garuda, yang milih yang nyaman dan itu pilihannya SQ.  MI adalah anak perusahaan SQ, seperti Garuda punya anak perusahaan Citylink. Induknya untuk penerbangan jauh dan anaknya untuk penerbangan jarak pendek.  Enaknya antara SQ da MI itu dapat check in satu kali, langsung dapat boarding pass SQ untuk Surabaya-Singapore dan juga boarding pass MI untuk Singapore-Yangoon.  Jadi nampak kalau keduanya satu holding company.

Seperti saya tulis di judul Soto Cak Tohir, saya sudah sarapan sebelum berangkat dari Surabaya.  Tetapi di pesawat ke Singapore, dengan ramah pramugari SQ menanyakan “are you muslim”. “do you order muslim food”.  Saya jadi tidak enak untuk menjawab sudah kenyang, akhirnya saya jawab. “yes” untuk pertanyaan “are you muslim” dan “sure” untuk pertanyaan “do you order muslim food”.

Tidak lama pramugari tadi datang membawa makan siang, nasi briyani dengan gulai ikan plus terong yang dimasak seperti balado.  Seperti biasanya ada salad dan roti plus sepotong kecil keju.  Sampai saya selesai makan, penumpang lain belum dapat makanan.  Sepertinya penumpang muslim atau mungkin yang pesan makanan khusus diberi lebih dahulu.

Ketika saya sudah selesai makan dan ditawari minuman hangat saya pesan teh.  Nah ketika secangkir teh disodorkan, saya bertanya “do you have sugar”.  Biasanya orang Surabaya tidak puas kalau minum teh tanpa gula. Pramugari dengan tersenyum menjawab “itu pak yang dibungkus panjang”.  Saya jadi malu, pertama “koyo iyo-iyo-o”, bertanya dalam bahasa Inggris pada hal pramugarinya ternyata orang Indonesia, kedua tidak faham kalau di nampan saya sudah ada gula yang tadi diberikan bareng roti dan keju.

Jadinya saya bisa menjawab “maaf mbak, terima kasih”, sambil memandangi pramugari tadi.  Wajahnya memang wajah Melayu tetapi bukankah banyak pramugari SQ berwajah Melayu yang ternyata orang Singapore atau Malaysia atu Thailand atau Brunai.  Jadilah saya mengamati beberapa pramugari yang lalu lalang melayani makan siang penumpang. Mereka tinggi-tinggi, berbaju seragam SQ yang terkenal itu dan dengan senyum ramah selalu mengembang.  Saya menduga, SQ memang mendidik mereka berpenampilan ramah dan menarik, serta sudah memilih mereka yang secara fisik menarik pula.

Waktu turun dan tertahan di lorong pesawat, saya sempat ngobrol pendek pramugari tadi, dengan membuka pertanyaan “sudah berapa trip mbak” dan dijawab “dua trip pak”.  Saya sambung dengan pertanyaan “terus mau terbang kemana lagi”, karena setahu saya pramugari itu punya jatah terbang 3 sampai 4 trip sehari.  Namun mbak tadi menjawab “sudah pak, ini sudah selesai”.  Saya komentari “waduh enak sekali ya pramugari SQ, gajinya gede hanya kuwajiban 2 trip”.  Di luar dugaan, dia menjawab “nggak enak pak, sebenarnya saya pengin bekerja di Indonesia”. “Bosan di sini”.

Jadilah obrolan ala orang Indonesia. Saya bertanya “asli dari mana” dan dijawab dari “Bekasi”. Dia terus bercerita bahwa dia lulusan Teknologi Pangan Swiss German University yang kampusnya di BSD.  Waktu lulus ditawari pekerjaan di Jakarta tetapi gajinya kecil dan iseng-iseng melamar pramugari SQ diterima.  Komentar akhir sungguh mengharukan saya “saya nyesel pak, teman-teman yang dulu menerima tawaran itu sekarang gajinya sudah gede juga”.  “Sekarang saya sedang ngelamar-ngelamar kerjaan di tanah air, kalau diterima ya cabut dari SQ”.  “Enakan kerja di negeri sendiri”.

Ketika berjalan turun dari pesawat menuju ruang tunggu di bandara Changi saya merenungkan ungkapan mbak pramugari tadi.  “Saya nyesel, enakan kerja di negeri sendiri”. Apa iya begitu?  Pada hal pramugari SQ itu terkenal berpenampilan chik, konon bergaji besar dan termasuk bergengsi di dunia penerbangan.  Apa ungkapan “hujan emas di negeri orang, masih enak hujan batu di negeri sendiri” berlaku buat mbak pramugari tadi?

Karena masih terbayang pramugari dengan ungkapan khas tadi, maka begitu boarding ke Yangoon dengan pesawat MI, yang saya perhatikan pramugarinya.  Kok sangat berbeda ya.  Secara fisik sangat menyolok perbedaannya.  Pramugari MI lebih kecil (atau pendek) dengan kulit lebih gelap.  Seragamnya juga jauh berbeda kelas.  Mereka mengenakan rok hitam dengan blus biru toska.  Sepintas mirip petugas yang melayani pembeli di Tunjungan Plaza.   Senyumnya juga mahal, tidak selalu mengembang pada pramugari SQ.  Ketika ada penumpang ingin ke kamar kecil dan minta jalan, seorang pramugari menjawab dengan bahasa Inggris khas Singapore “can not-can not”.  Sebuah dialek yang tidak lazim saya dengar dari pramugasi kelas internasional.

Mengapa begitu ya?  Apakah induk perusahaan SQ dan MI memang sengaja membedakan kelas kedua penerbangan itu, seperti Cak Tohir membedakan soto daging di Terminal 1 dan Terminal 2 Juanda?   Apakah karena MI dianggap kelas lebih rendah, sehingga tidak perlu dilayani pramugari sekelas di SQ?  Apakah standar gaji pramugari MI lebih kecil, sehingga tida dapat memperoleh mereka yang seperti di SQ?  Apakah pramugasi MI tidak dididik atau dipersiapkan seperti pramugari SQ ya?

Sederet pertanyaan itu masih menggantung dan saya belum mendapatkan jawaban.  Mungkin orang dalam perusahaan tersebut yang dapat menjelaskan.  Ya, untuk sementara saya hanya punya jawaban ala tukang becak Madura “numpak MI murah njaluk apik”.

Tidak ada komentar: