Senin, 27 Juli 2015

SOTO CAK TOHIR



Pagi tanggal 27 Juli 2015 saya berangkat ke Miyanmar untuk mengajar.  Karena disibukkan mengudang Freya dan terus menggoda agar mau mengantar Yang Kung ke bandara, saya tidak sempat sarapan.  Alhamdulillah  akhirnya Lala mau mengajak Freya mengantar saya ke bandara, sehingga selama di perjalanan dapat terus melihat Freya yang lagi tidur dan sesekali menggoda saat dia mulai bangun.

Begitu sampai bandara saya terasa lapar, sehingga ketika melihat Pak Nasution makan soto jadi kepengin.  Saya amati di mana penjual soto madura berada, karena di dalam Food Corner itu terdapat beberapa makanan yang dijual.  Saya dapati papan bertuliskan Soto H Tohir, sehingga kesitulah saya berjalan untuk memesan soto daging.

Saya harus memesan ke kasir, seorang wanita muda yang mengenakan kebaya lengan agak pendek berwarna kopi susu.  Setelah memesan satu porsi soto daging dan segelas teh manis seharga 60 ribu rupiah, saya diberi nomor meja berwarna merah.  Tampaknya nomor itu untuk petunjuk kemana pelayan mengantar soto dan teh, karena setiap pemesan  dan selesai membayar diberi nomor seperti itu.

Sambil menunggu soto diantar saya berpikir, H Tohir yang saya duga orang Madura sudah menerapkan manajemen modern.  Pelanggan membayar dulu sebelum makan, sehingga pelanggan tidak perlu kembali ke kasir selesai makan.  Cak Tohir juga tidak perlu risau akan pelanggan yang ngeloyor pergi tanpa membayar.  Dari kasir, peracik soto sampai pelayan yang mengantar berpakain rapi dan bersih. Porsi nasi juga tidak terlalu banyak, sedangkan volume daging sotonya cukup banyak.  Tampaknya Cak Tohir sudah menyesuaikan layanan dan porsi sotonya dengan jenis pelanggan di Terminal 2 Juanda.

Saya menduga, harga 60 ribu rupiah yang saya bayar itu, 50 ribu untuk soto daging plus nasi putih dan 10 ribu untuk teh manis.  Apakah itu mahal?  Tergantung cara kita memandang.  Kalau dibandingkan dengan soto daging di jalan Jemursari dekat rumah saya, harga itu cukup mahal. Seingat saya 1 porsi soto di Jemursari hanya 20 ribu rupiah, dengan teh masis 5 ribu rupiah.  Jadi harga soto dan teh Cak Tohir dua kali lipat lebih.  Namun, lokasi Soto Cak Tohir di bandara Juanda Terminal 2, dengan ruangan ber-AC, kursi bersih, dengan petugas anak-anak muda yang cakep-cakep.  Sementara soto daging di Jemursari merupakan soto warungan tepi jalan, seperti yang biasa kita kenal di Surabaya.

Dalam hati saya bangga dengan Cak Tohir, walaupun saya belum tahu orangnya.  Saya mencoba mengingat kalau tidak salah di terminal I Juanda juga ada soto Cak Tohir.  Ingat saya lokasinya di luar yang tentu tanpa AC.  Saya belum pernah makan di situ, tetapi seingat saya yang makan banyak teman pengantar atau penjemput atau bahkan calo tiket.  Anda tentu dapat membayangkan bedanya dengan pelanggan di dalam terminal 2 Juanda, yang umumnya penumpang Garuda atau bahkan mereka yang bepergian ke luar negeri.

Cak Tohir sepertinya faham betul akan perbedaan karateristik pelanggannya di Terminal 1 dan di Terminal 2 Juanda, sehingga jenis layanannya dibuat berbeda.  Tentu dengan konskwensi harga sotonya berbeda pula.  Seperti kata-kata bijak, ada orang yang masuk warung/rumah makan untuk mencari makanan yang mengenyangkan, tetapi juga ada orang yang masuk warung/rumah makan yang situasinya enak.  Cak Tohir pasti faham itu, sehingga membuat jenis layanan yang berbeda dan pelanggan yang berbeda.

Kalau dugaan saya bahwa Cak Tohir adalah orang Madura yang memang ahli soto daging, saya sangat bangga.  Mungkin layak beliau diudang ke kampus untuk memberi pencerahan kepada mahasiswa.   Cak Tohir adalah pengusaha kuliner yang memegang segmennya, yaitu soto daging sebagai band orang Madura, tetapi telah menerapkan manajemen kuliner modern.

Dalam urusan kuliner branding makanan lokal yang dibuat oleh orang “asli” merupakan sesuatu kekuatan.  Ketika ke jogya tentu kita ingin makan gudeg dan tentu ingin makan gudeg asli jogya yang dibuat oleh orang Jogya.  Kalau ke Lamongan tentu ingin makan soto ayam asli dibuat oleh orang Lamongan.  Kalau makan soto daging tentu ingin soto yang dijual oleh orang Madura dan Cak Tohir adalah nama khas orang Madura.   Jadi soto daging H. Tohir tentu dimaknai soto daging asli Madura.

Namun karena dijual kepada penumpang Garuda dan pesawat asing, tentu harus dikelola secara modern.  Kalau saya boleh menyarankan, akan lebih menarik jika staf yang melayani mengenakan pakaian ala Madura.  Baju yang dikenakan Mbak Kasir sudah model kebaya Madura dengan lengan pendek, namun warnanya yang soft tidak menggambarkan warna Madura.  Biasanya baju orang Madura berwarna cerah, misalnya kuning, hijau, merah dan sebagainya.  Mas-mas yang melayani juga akan menarik jika mengenakan baju Madura, misalnya baju warna hitam dengan kaos lorek-lorek.

Tidak ada komentar: