Kamis, 30 Juli 2015

MIYANMAR SEDANG MENGGELIAT



Empat hari di Yanggon saya tidak sempat keliling kota, bahkan tidak sempat untuk sekedar mencari oleh-oleh. Hari pertama saya datang sudah sore sekitar pukul 17 dan sampai di hotel sudah sekitar pukul 18an. Karena capek saya segera istirahat dan bahkan makan malampun enggan keluar hotel.  Untunglah hotel tempat saya menginap dikenal sebagai “hotel Muslim” yang menjaring tamu-tamu asing.  Hotel BAH (Business Alliance Hotel) sebenarnya kecil belantai 4, tetapi letaknya di jalan raya.  Lobi dan restorannya menyatu.

Ketika turun ke lantai 1 dan ke restoran saya menemui daftar menu yang menyantumkan nasi goreng.  Betul-betul tertulis di daftar itu kata “nasi goreng” bukan “fried rice”.  Saya menduga banyak tamu orang Melayu (Malaysia, Indonesia, Singapura dan Brunai), sehingga hotel BAH sengaja memasang kata “nasi goreng” sebagai salah satu daya tarik bagi tamu Melayu.  Ya, akhirnya saya memesan nasi goreng dengan jasmine tea.  Sekedar untuk mengisi perut agar bisa tidur nenyak.

Hari kedua jadwalnya penuh.  Acara di Seameo Chat sampai jam 16.30 dan sesudah itu  diundang makan malam di restoran House of Memories.  Restoran yang bangunannya bekas kantor presiden Aung San.  Konon beliau pejuang kemerdekaan Miyanmar. Mungkin seperti Soekarno bagi orang Indonesia.  Gedungnya tua dari kayu dan dipeliharan baik, yang tampaknya sengaja digunakan untuk menarik turis asing.  Sore itu di ruangan besar restoran ada sekitar 25 Bule yang makan bersama.  Kami ber-enam mendapatkan tempat di ruangan kecil dan pas bersebelahan dengan bekas ruang kerja presiden Aung San.

Makanan yang pertama keluar tampak seperti sesuatu yang digoreng.  Bentuknya cenderung bulat dan berwarna kehijauan.  Dr. Myint Myint Ohn yang duduk di sebelah saya mendorong untuk mencoba dengan berpromosi, itu enak sekali.  Saya mencoba dan betul enak, sehingga saya bertanya dibuat dari apa.  Beliau menjelaskan makanan itu dibuat dari water crest dicacah dan dicampur dengan sedikit tepung dengan bumbu bawang putih.  Segera saya membuka kamus di HP untuk mencari terjemahan kata crest dalam bahasa Indonesia.  Yang saya temukan crest artinya jambul.  Lha apa yang jambul air itu?

Terdorong rasa ingin tahu, saya minta digambarkan seperti apa water crest.  Merasa kesulitan, staf Seameo Chat minta pelayan restoran membawa contoh water crest yang belum dicacah.  Dan ternyata water crest itu kangkung.  Segera saya foto gorengan daun kangkung dan saya kirim ke WA Group keluarga.  Anak saya, Lala segera merespon, “nanti kita coba buat setelah ayah sampai Surabaya”.

Selesai makan, saya diajak masuk ke bekas ruang kerja Presiden Aung San.  Sangat sederhana, dengan meja kayu kecil yang diataskan terdapat mesin ketik.  Tentu semua tampak kuno, karena perlengkapan kerja di era tahun 1940an dan itupun dalam situasi perang kemerdekaan.  Di dinding terpasang foto-foto Presiden Aung San bersama tokoh-tokoh dunia, diantaranya Nehru, perdana menteri India di masa lalu.

Hari ketiga, acara di Seameo juga sampai jam 17an, sehingga saya juga tidak sempat kemana-mana.  Hari ke empat jam 7.45 sudah dijemput untuk ke bandara dan pulang ke Surabaya.  Akhirnya saya hanya dapat mengamati kota Yangoon selama perjalanan bandara-hotel dan hotel-kantor Seameo Chat.  Selebihnya hanya merupakan tanya jawab dan cerita beberapa teman Seameo Chat.

Dari pengamatan sepintas dan obrolan dengan teman-teman Seameo Chat, saya mendapat kesan Miyanmar sedang menggeliat mengerjar ketertinggalan.  Bandara diperluas, jalan-jalan diperlebar.  Yang lebih mengesankan jalannya mulus dan tampak bersih, termasuk trotoarnya.  Saya sempat berjalan kaki dari hotel ke restoran Thailand untuk makan malam pada hari ketiga.  Kita dapat berjalan nyaman di trotoar, karena tidak ada kaki lima. Apalagi trotoarnya tertata cukup rapi dan bersih.

Sepanjang jalan yang saya lewati antara bandara-hotel-gedung Seameo Chat juga terdapat taman-taman yang tertata baik dan bersih.  Saya tidak melihat sampah atau bekas bungkus makanan sebagaimana sering kita lihat di Surabaya atau Jakarta.  Ada penjaja koran dan makanan di perempatan atau di kemacetan, persis di Jakarta dan Surabaya, tetapi jumlahnya tidak banyak.  Juga ada peminta-minta, tetapi juga tidak banyak.

Jika kondisi kota seperti itu dan sudah mulai muncul hotel berjejaring internasional seperti Novotel, Ibis dan sebagainya, dan kata Dr. Myint Myint Ohn investasi asing masuk dengan deras, saya menduga Miyanmar akan segera melaju dengan cepat.  Banyaknya permintaan kursus bahasa Inggris juga merupakan salah satu indikator.  Demikian pula kemacetan akibatnya banyaknya mobil.

Rasa percaya diri orang Miyanmar juga tampak tinggi.  Mungkin mirip dengan orang Vietnam.  Kesan itu muncul ketika saya mengamati presentasi hasil penelitian tiga dosen pada hari ketiga sore.  Tampaknya Dr. Myint Myint Ohn sengaja memanfaatkan tamunya untuk mereview hasil penelitian dosen.  Kesan saya, penelitian ketika dosen muda itu masih “mentah” dan kualitasnya masih di bawah teman-teman kita. Namun ketiganya dengan percaya diri menyampaikan di depan publik.

Penelitian ketiga yang dipresentasikan tentang Indonesia, dengan judul Democracy Transition in Indonesia from 1945 to 1999.  Saya agak kaget dan dalam hati mengatakan orang itu agak “bonek” karena berani melakukan penelitian seperti itu hanya berdasar buku-buku dan bukan dari sumber data primer.  Apalagi yang bersangkutan tidak dapat berbahasa Indonesia.  Sekali lagi dari perpekstif positif, orang Miyanmar punya rasa percaya diri tinggi dan setengahnya nekat.  Mungkin itu diperlukan untuk mempercepat kemajuan Miyanmar yang relatif tertinggal dibanding negara lain di Asean.

Saya juga terkesan dengan sopir yang melayani kami selama di Yangoon.  Sayang saya lupa tidak bertanya siapa namanya.  “Walaupun” sopir tetapi dapat berbahasa Inggris cukup baik.  Orangnya juga sangat percaya diri, sehingga selalu mengajak ngobrol dan sekaligus bertindak sebagai guide dengan menunjukkan ini dan itu selama perjalanan.  Beliau juga dapat menjelaskan danau yang cantik itu disebut Victoria Lake di era penjajahan Inggris dulu, tetapi sekarang disebut danau............ (maaf saya lupa) karena memang itu nama aslinya dalam bahasa Miyanmar.  Beliau juga menunjukkan rumah seorang konglomerat yang katanya kekayaannya tidak terhitung.  Katanya orangnya sombong dan tidak mau menyumbang ke masyarakat.  Dia lebih senang menggunakan uangnya untuk mengundang Tiger Wood untuk sekedar bermain golf dengan yang uang saku sangat besar, dari pada mendonasikan untuk masyarakat Miyanmar.   Saya tidak tahu kebenaran cerita itu, tetapi yang jelas Pak Sopir Seameo Chat itu percaya diri, berpengetahuan cukup luas dan pandai berbahasa Inggris.

Tidak ada komentar: