Kamis, 30 Juli 2015

HARUSKAH KITA BISA BERBAHASA INGGRIS



Mungkin judul di atas lebih tepat jika diubah sedikit menjadi “haruskan anak-anak kita dapat berbahasa Inggris?”.  Mengapa? Kalau untuk kita mungkin sudah agak terlambat atau bahkan sudah sangat terlambat, khususnya untuk generasi saya yang usianya di atas 60 tahun.  Tetapi kalau untuk anak-anak kita yang usianya di bawah 20 tahun, mungkin pertanyaan tersebut layak untuk didiskusikan.

Pertanyaan itu saya ajukan terkait dengan pengalaman dilayani oleh sopir Seameo Chat yang ternyata bisa berbahasa Inggris cukup baik.  Beliau berpakaian seperti biasanya orang Myanmar, pakai sarung atau dalam bahasa Miyanmar disebut longji. Bahkan pada hari kedua sore haru, beliau hanya memakai celana pendek karena harus membersihkan mobil, mungkin maksudnya mencuci mobil, sebelum menjemput kami.  Beliau juga makan sirih seperti biasanya orang laki-laki kebanyakan (bukan mereka yang terpelajar) di Miyanmar.  Jadi dari penampilan tidak ada bedanya dengan sopir di Miyanmar.

Dalam pandangan saya, kelebihan pokok beliau adalah dapat berbahasa Inggris.  Dengan kemampuan itu, pak sopir mampu berkomunikasi dengan tamunya dengan baik.  Dengan demikian tidak terjadi salah pengertian antara tamu yang dilayani dengan pak sopir.  Dengan kemampuan itu tidak diperlukan lagi petugas lain untuk mengantar tamu kesana-kemari dan bahkan pak sopir dapat merangkap sebagai guide.  Apalagi orangnya ramah.

Saya membayangkan, jika Unesa memiliki sopir seperti beliau tentu sangat indah. Menjadi efisien karena tidak diperlukan petugas lain untuk menjemput tamu asing.  Unesa juga menjadi lebih keren karena sopirnya saja dapat berbahasa Inggris.  Namun tampaknya saat ini masih sulit diterapkan.  Jangankan sopir, mencari karyawan bahkan dosen yang mampu berbahasa Inggris dengan baik, tidak mudah.  Akibatnya jika ada tamu atau dosen dari negara lain, seringkali Unesa kesulitan melayani.

Saya lantas membayangkan ke masa depan.  Konon per 31 Desember 2015 akan berlaku Asean Economic Community atau yang dalam bahasa Indonesia disebut Masyarakat Ekonomi Asean.  Jadi sejak itu barang dan jasa bebas keluar masuk antara negara-negara Asean.  Jadi orang dan barang Indonesia bebas masuk ke Singapore, Malaysia dan semua anggota Asean lainnya.  Sebaliknya barang dan orang dari negara anggota Asean bebas masuk Indonesia.

Kalau hal itu terjadi, dan saya yakin akan terjadi, lantas bahasa apa sebagai alat komunikasi utama?  Jika orang Indonesia bekerja di Thailand atau orang Philippines bekerja di Miyanmar, mereka menggunakan bahasa apa ya?  Mungkin ada yang menjawab menggunakan bahasa tempat mereka bekerja.  Jawaban yang tidak salah, walaupun menurut saya tidak sepenuhnya benar.

Mari kita cermati fenomenanya.  Kalau kita ke bank untuk mengambil uang, menabung atau mentransfer uang, coba kita cermati slip atau blanko yang harus kita isi.  Saya hampir dapat memastikan blanko tersebut menggunakan dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.  Mengapa?  Karena sangat mungkin ada nasabah orang asing, sehingga yang paling sederhana menggunakan bahasa Inggris. Kalau setiap bangsa harus disediakan blanko khusus tentu tidak efisien.  Atau mungkin pemilik bank tersebut, sebagian atau sepenuhnya orang atau lembaga asing, sehingga harus dapat membaca laporan dan data keuangannya.  Bukankah sekarang banyak bank yang sahamnya dimiliki oleh perusahaan multinasional atau perusahaan asing.

Rasanya tidak hanya bank, banyak perusahaan lain yang sahamnya dimiliki oleh perusahaan asing atau perusahaan multinasional.  Nah, pada perusahaan seperti itu tentu data dan laporan resmi harus menggunakan bahasa Inggris.  Saya menduga fenomena seperti itu semakin lama semakin banyak, sehingga keperluan berbahasa Inggris juga akan semakin penting.  Jangan-jangan besuk orang itu akan punya tiga bahasa sekaligus, bahasa Ibu atau bahasa daerah, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. 

Saya pernah membaca sebenarnya kehidupan kita ini sedang menuju apa yang disebut dengan global village.  Ketika transportasi semakin mudah, jaringan internet semakin mudah dan murah, mobilitas orang semakin tinggi, kepemilikan suatu usaha semakin mudah berpindah tangan lintas negara, sebenarnya pelan tetapi pasti  komunitas di bumi ini semakin menyatu.  Jika di masa lalu, orang Jawa hanya berbahasa Jawa dan tinggal di Jawa, orang Bali hanya tinggal di Bali dan berbahasa Bali, sekarang kita melihat betapa banyaknya orang Jawa yang bekerja dan tinggal di Bali dan sebaliknya banyak orang Bali yang bekerja di Jawa dan pandai berbahasa Jawa.   Tetapi mereka umumnya menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komuniasi. 

Bukankah tidak mungkin gejala itu akan meluas antar negara?  Bukankah sekarang banyak orang Indonesia yang bekerja dan tinggal di negara lain?  Artinya bukan tidak mungkin di masa depan, banyak orang Indonesia yang bekerja dan tinggal di negara lain.  Sebaliknya banyak orang asing yang bekerja dan tinggal di Indonesia.  Mereka akan tetap sebagai warga negara asal, tetap tinggal menetap di negara lain.  Itulah yang dimaksud kita sedang menuju global village.

Batas negara tetap ada.  Kewarganegaraan tetap ada.  Tetapi itu akan menjadi sekedar catatan administratif dan tidak terlalu bermakna dalam interaksi sosial maupun pekerjaan.  Maksudnya dalam lingkungan masyarakat tempat tinggal maupun lingkungan pekerjaan sudah terbiasa berbaur orang daru berbagai negara.  Mereka tetap memegang kewarganegaraan masing-masing, tetapi berbaur dalam kehidupan keseharian. Mungkin itulah yang disebut sebagai “the end of nation state”.

Bukankah ketika menjadi Dubes Indonesia di Amerika Serikat Dino Patti Jalal menggagas apa yang disebut dengan Diaspora, yaitu menghimpun orang-orang Indonesia yang bekerja dan tinggal di negara lain.  Dan ternyata jumlahnya ribuan dan banyak yang sukses menekuni berbagai profesi.  Mereka banyak yang tetap sebagai warga negara Indonesia dan ingin tetap menyumbangkan pemikirannya untuk Indonesia.

Apakah belajar bahasa Inggris atau menggunakan bahasa Inggris dalam bekerja dan berinterkasi sosial tidak mengurangi rasa nasionalisme? Bukankah konon salah satu keputusan membubarkan RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasinal) karena RSBI menggunakan pengantar bahasa Inggris, khususnya untuk matapelajaran Matematika dan IPA, sehingga ditakutkan menurunkan rasa nasionalisme siswa.

Jujur saya tidak tahu jawabannya.   Saya hanya dapat mengajukan pertanyaan balik, apakah rasa nasionalisme Pak Habibie, Pak Anies Baswedan, Bu Susi dan Pak Prabowo menurun karena beliau-beliau mampu berbahasa Inggris sangat baik dan mungkin juga dalam kehidupan sehari-hari sering berhasa Inggris.  Konon banyak anak-anak para pejabat tinggi dan konglomerat banyak yang sekolah di negara lain (baca negara maju), sehingga sangat mungkin pandai berbahasa Inggris.  Apa rasa nasionalisme mereka menurun ya?

Saya juga pernah berdiskusi dengan mahasiswa tentang globalisasi.  Beberapa mahasiswa mengatakan berpendapat kita harus menggunakan bahasa Indonesia, karena itu bukti nasionalisme.  Janganlah kita menggunakan bahwa asing atau bahkan produk budaya asing, agar tidak mengikis rasa nasionalimen.  Mungkin peringatan mahasiswa tadi benar.  Namun saya juga ingin mengajukan pertanyaan, pakaian celana panjang, kemeja dan jas yang banyak kita pakai itu budaya asli Indonesia atau bukan ya?  Bukankah di waktu dulu kakek-kakek kita mengenakan sarung, jarit baju berkap dan blangkon?  Apakah makan dengan sendok itu budaya asli kita ya?  Bukankah nenek kita dulu makan dengan tangan?

Sepanjang penerbangan dari Yangoon sampai Surabaya terus memikirkan itu dan kemudian saya tuangkan dalam tulisan ini.  Jujur saya tidak tahu jawabannya dengan pasti, sehingga berharap ada orang yang ahli tentang nasionalisme dan pendidikan kebangsaan yang dapat menjawabnya.  Namun dengan catatan tidak terjebak dalam wawasan sempit.

Tidak ada komentar: