Sabtu, 26 Agustus 2017

PENDIDIKAN HOLISTIK



Minggu tanggal 20 Agustus 2017 siang saya kedatangan dua orang tamu.  Keduanya mahasiswa S2 Umsida (Universitas Muhammadiyah Sidoarjo) program studi Magister Pendidikan Islam.   Salah satunya ingin menyusun tesis tentang pemikiran saya tentang pendidikan.  Yang bersangkutan menyebut pemikiran saya tentang pendidikan holistik.  Mungkin dia hadir ketika saya menyampaikan pemikiran itu sekitar dua tahun lalu.

Setelah yang bersangkutan menyampaikan tujuan, kami berdiskusi secara bebas dan si mahasiswa saya minta menyimpulkan sendiri.  Saya juga memberikan dua buku yang pernah saya tulis, untuk melengkapi diskusi.  Ketika diskusipun saya lihat yang bersangkutan sambil membuka-buka buku tersebut.  Karena diskusi berlangsung secara bebas dan diselingi kelakar sana-sini, maka diskusi menjadi gayeng. Saya tidak ingat betul runtutan diskusi, tetapi saya ingin berbagi apa yang kami diskusikan.

Kami mendikusikan bahwa pendidikan itu harus utuh.  Kalau toh ada matapelajaran atau matakuliah, itu ibarat rumah ada pondasi, ada dinding, ada pintu ada atap dan sebagainya.  Tetapi semua itu membentuk rumah yang dibuat dengan tujuan untuk tempat tinggal.  Bagaimana ukuran dan bentuk rumah yang ideal, tentu tergantung kebutuhan yang akan tinggal di rumah tersebut. Jika yang tinggal orang kaya dan keluarganya banyak, sangat mungkin rumahnya besar dengan perlengkapan yang aduhai.  Namun jika hanya untuk suami isteri yang baru menikah dan kondisi ekonomi masih pas-pasan, mungkin rumah yang dibangun gaya minimalis dengan ukuran kecil saja.

Demikian juga pendidikan.  Kita harus memastikan dulu pendidikan itu untuk apa?  Sepanjang yang saya ketahui hakekat pendidikan adalah membantu peserta didik untuk menyiapkan diri untuk menghadapi masa depannya. Tentu itu dilakukan dengan mengembangkan potensi yang dimiliki agar siap untuk menghadapi masa depan.  Ketika kehidupan masih sederhana dan orang mengandalkan hasil bertani dan berburu, yang kedua kemampuan itulah yang diajarkan orangtua kepada anaknya. Inilah yang disebut education for earning a living. Tentu disamping itu, orangtua juga mengajarkan nilai-nilai kehidupan sesuai dengan zamannya.  Inilah yang disebut education for life.  Jadi sejak zaman dahulu, pendidikan memiliki dua tujuan utama yang tidak dapat dipisahkan, yaitu belajar nilai-nilai kehidupan (education for life) dan belajar untuk memenuhi kebutuhan hidup (education for earning a living).  Kedua aspek itu tidak dapat dipisahkan, ibarat dua sisi mata uang.  Jadi ini dan itu, bukan ini atau itu. Itulah yang saya sebut dengan pendidikan holistik.

Jika tujuan pendidikan seperti itu, maka semua matapelajaran, matakuliah, kegiatan ko-kurikuler,  kegiatan ekstra kurikuler, serta kegiatan lainnya harus merupakan bagian untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut.  Semuanya harus merupakan bagian dari aktivitas belajar nilai-nilai kehidupan (education for life) dan belajar untuk memenehi kebutuhan hidup (for earning a living).  Ibarat rumah, semuanya harus terangkai menjadi kesatuan yang utuh (holistik), tidak ada yang bolong karena terlupa dan sebaliknya tidak ada yang bertabrakan.  Kalau toh terjadi tumpang-tindih, harus seminimal mungkin.  Ibarat rumah, tidak boleh ada lubang selain pintu, jendela dan lubang lainnya yang memang didesain berlubang. Ukuran genteng harus pas dengan jarak reng.  Ukuran pintu harus pas dengan lubang kusen.

Keutuhan itu tidak hanya dalam desain (kurikulum yang tercetak), tetapi juga dalam proses pelaksanaan pembelajaran di sekolah/universitas. Setiap matapelajaran/matakuliah harus jelas dimana posisinya dalam menyiapkan siswa/mahasiswa dalam melaksanakan nilai-nilai kehidupan dan atau memenuhi kebutuhan hidupnya agar tidak menjadi beban orang lain.  Pelaksanaan pembelajaran matapelajaran/matakuliah juga harus diatur agar yang menjadi prasyarat sudah selesai ketika diperlukan untuk bidang lainnya.  Ibarat, pondasi sebagai prasyarat memasang tembok, maka pondasi harus terpasang sempurna ketika pemasangan tembok dimulai.

Kalau menggunakan metaphora Al Gozali, education for life itu mendidik hati karena hatilah yang menentukan kemana arah kehidupan, menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, menentukan apa yang harus dikerjakan dan mana yang harus dihindari.  Sementara education for earning a living itu mendidik otak, tangan dan kaki agar dapat bekerja dan beraktivitas lainnya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup. 

Jika dikaitkan dengan taksonomi Bloom, education for life itu ranah afektif, sedangkan education for earning a living itu ranah kognitif dan psikomotor.  Dalam kurikulum kita, education for life itu membentuk karakter, sedangkan education for earning a living itu membentuk pengetahuan dan keterampilan.

Kalau begitu mengapa pendidikan kita banyak dikritik?  Menurut saya, karena ibarat akan membuat rumah tidak jelas desain rumah yang ingin dibangun.  Mungkin spesifikasi rumah sudah lumayan terumuskan dalam Standar Kompetensi Lulusan (SKL) tetapi jika ditanya, apakah matapelajaran/matakuliah itu betul-betul merupakan suatu kesatuan untuk membentuk SKL itu, jawabnya belum.  Apalagi ketika ujian akhir, apakah itu ujian sekolah, ujian nasional, ujian komprehensif, ujian skipsi. Ujian tesis/disertasi seringkali tidak menguji keterwujudan SKL yang telah dirumuskan.  Jadi tidak perlu heran jika banyak orang mempertanyakan, lulusan kita tidak seperti yang disebutkan dalam SKL.

Tidak ada komentar: