Sabtu, 09 September 2017

Catatan untuk Perpres Penguatan Pendidikan Karakter



Tanggal 6 September Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpres no. 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK).  Dengan Perpres ini polemik tentang lima hari sekolah dapat diselesaikan dengan elegan. Pasal 9 ayat (1) dan (2) pada Perpres tersebut meyebutkan hari sekolah diserahkan kepada Sekolah bersama-sama dengan Komite Sekolah/Madrasah.  Dengan demikian sekolah dapat memilih jumlah hari sekolah sesuai dengan situasi dan kondisi yang dialami.  Pemberian kewenangan seperti itu sekaligus menguatkan penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagaimana diamanatkan UU Sisdiknas, pasal 51 ayat (1), yang juga disebut pada pasal 6 ayat (3)  Perpres no. 87/2017 tersebut.

Istilah penguatan dalam perpres tersebut sangat tepat, karena sebenarnya keinginan untuk memasukkan karakter sebagai bgaian penting dan ruh pendidikan sudah tertuang dalam UU Sisdiknas maupun kurikulum yang selama ini digunakan.  Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan bahwa pendidikan di Indonesia ingin menghasilkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.  Nah, kalau dicermati dari delapan ciri manusia yang dicita-citakan itu, lima diantaranya merupakan aspek karakter.  Jadi bahwa pendidikan di Indonesia ingin menghasilkan manusia berkarakter, sudah memiliki landasan hukum yang kokoh.

Apakah ciri manusia yang ingin dihasilkan tersebut sudah tertuang dalam kurikulum?   Kurikulum 13 (K-13) tampaknya sangat memperhatikan itu, sehingga ada Kompetensi Inti 1 (KI-1) yaitu sikap spiritual dan Kompetensi Inti (KI-2) yaitu sikap sosial.  Artinya, K13 sangat memperhatikan pengembangan karakter dengan wujud sikap spiritual dan sikap sosial.  Bahkan kalau kita melihat Standar Kompetensi Lulusan, baik untu SD, SMP, SMA maupun SMK penekanan pada karakter sangat kuat.  Sebagai contoh, pada Permendikbud no. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL) SD/MI memiliki 17 kompetensi yang ingin cicapai di jenjang SD.MI.  Dari 17 kompetensi itu, 10 diantaranya merupakan karakter.  Jadi dalam dokumen kurikulum penekanan karakter sudah ada.

Apakah keinginan untuk menguatkan pendidikan karakter baru mucul sekarang?  Seingat saya tidak.  Tahun 2010 sudah muncul keinginan itu dan bahkan melibatkan berbagai kementerian.  Dengan bantuan kantor Menko Kesejahteraan Sosial dan Kemdikcud sebagai motornya, dilakukan serangkaian diskusi dan bahkan pernah dilakukan sarasehan pendidikan karakter yang menghadirkan tokoh-tokoh, diantaranya Kyai Syukri Zarkasi Ponpes Modern Gontor, Mario Teguh, Ary Ginanjar, Romo Muji Sutrisno dan sebagainya. Dari serangkaian itu disusun buku induk Pendidikan Karakter, yang saat itu dikenal dengan Buku Merah Putih, karena sampulnya berwarna merah dan putih.  Waktu itu juga dirancang untuk menjadikan pendidikan karakter sebagai sebuah gerakan dan dicanangkan oleh Presiden SBY.  Sayang keinginan itu tidak tercapai dan kita harus bersyukur, walapun mundur 7 tahun, keinginan itu dapat terwujud di era Presiden Joko Widodo.

Apakah ada perbedaan mendasar konsep pendidikan karakter yang dikonsep tahun 2010 dan Perpres 87/2017?  Rasannya tidak.  Itu suatu kebaikan, karena menjadikan keduanya suatu kesinambungan.  Namun melalui tulisan singkat ini, saya ingin memberikan dua catatan.  Pertama, darii studi terhadap sekolah/lembaga pendidikan karakter yag berhasil menumbuh-kembangkan karakter, ditemukan pendidikan karakter yang paling efektif melalui budaya sekolah (school culture) yang dibarengi dengan keteladanan.   Pembudayaan berbeda dengan pembiasaan.  Jika pembiasaan itu dilakukan sehari-hari, pembudayaan lebih dari itu, karena bersama dengan pembiasaan ditanaman alasan mengapa perilaku itu dilakukan.  Temuan studi itu, seingat saya dibukukan dengan judul 10 Pengalaman Inspiratif dalam Melaksanakan Pendidikan Karakter.

Keteladanan sangat penting, karena anak punya kecenderungan meniru apa yang dilakukan orang dewasa di sekitarnya.  Oleh karena itu, semua pimpinan sekolah, guru dan karyawan sekolah harus menjadi contoh dalam melakukan karakter yang ditumbuhkan.  Kegagalan P4 di era Pak Harto, menurut saya bukan karena konsepnya keliru, tetapi karena ketiadaan teladan dari para penatar.  Peserta P4 sering mengerutu “kelakuan dia sendiri seperti itu kok mengajari yang baik-baik”.

Kedua, ketika karakter ditekankan dalam pendidikan, maka harus sengaja dimasukan dalam rancangan pembelajaran dan diukur hasilnya, baik pada intrakurikuler maupun ko-kurikuler,  Jadi kalau dalam matapelajaran Matematika juga ditumbuhkan karakter, guru Matematika harus merancang aspek karakter apa yang dtumbuhkan, bagaimana cara menumbuhkan ketika anak belajar Matematika dan diukur hasilnya bersamaan dengan ujian/ulangan/ penilaian keseharian di kelas.  Demikian juga untuk ko-kurikuler bahkan untuk ekstra kurikuler.

Dengan demikian, laporan hasil pembelajaran setiap matapelajaran, kegiatan ko-kurikuler dan juga ekstra kurikuler tidak hanya hal-hal yang terkait dengan substansi pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari tetapi juga aspek karakter.  Kalau menggunakan taksonomo Bloom, ranah afektif selalu masuk dalam setiap pembelajaran.  Kalau menggunakan K-13, KI-1 (sikap spiritual), KI-2 (sikap sosial), KI-3 (pengetahuan) dan Ki-4 (keterampilan) harus selalu muncul dakan setiap pembelajaran.  Nah, inilah tantangan bagi sekolah dan guru dalam implementasi Perpres 87/2017.  Semoga berhasil.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Assalamu'alaikum prof.
Isi blognya sangat bagus prof, saya sering berkunjung untuk membaca. Semoga bapak sehat selalu, sehingga bisa menulis lebih banyak lagi di media ini. :)

Saya arifin jurusan pgsd.

Muchlas Samani mengatakan...

Terima kasih mas Arifin. Sukses nggih.