Minggu, 21 Januari 2018

GENERALIS VERSUS SPESIALIS



Hari-hari ini saya sedang membaca buku berjudul Prophetic Leadership & Management Wisdom (PROLIM) karya Dr. Muhammad Syafi’i Antonio, M.Ec.  Buku itu merupakan hadian dari Al Hikmah  dan sudah agak lama saya terima, namun baru sekarang sempat membaca dengan sungguh-sungguh.  Sebelumnya juga pernah, tetapi hanya sepintas dan bahkan hanya bagian-bagian tertentu.

Bukunya terdiri dari 4 jilid, yaitu shiddiq, amanah, fathanah dan tabligh.  Sesuai dengan judulnya, buku itu banyak merujuk bagaimana Nabi Muhammad memimpin dan dipadukan dengan teori kepemimpinan dari para pakar.  Buku yang sangat menarik.  Saya merasa mendapatkan banyak pengetahuan baru dari buku tersebut.  Dari sekian banyak pengetahuan itu, yang menurut saya paling menarik adalah ketika buku itu menjelaskan makna fathanah dan tabligh.

Tentu kita sudah faham bahwa secara sederhana fathanah sering diartikan cerdas.  Jadi pemimpin itu harus cerdas.   Namun menurut buku itu, pemimpin harus cerdas dan juga harus tangkas, khususnya dalam memahami masalah dan mengambil keputusan.  Oleh karena itu, pemimpin merupakan orang generalis.  Maksudnya tidak harus menguasai secara detail dari pekerjaan yang ditangani, tidak harus menguasai secara detail dari masalah yang harus dipecahkan.  Yang dipentingkan menguasai pekerjaan dan atau masalah itu secara global, sedangkan yang masalah detailnya dapat meminta staf untuk menanganinya. 

Yang justru sangat penting bagi pemimpin adalah memahami kaitan apa yang ditangani dengan bidang lain.  Untuk bagian ini pemimpin tidak dapat menyerahkan kepada staf yang mungkin hanya faham tentang hal-hal yang menjadi tanggung jawabnya. Hanya dengan pemahaman yang utuh seperti itu dapat muncul pemecahan masalah yang komprehensif.  Tampaknya pemikiran itu mirip dengan apa yang disebut oleh Peter Senge dengan istilah system thinking, yaitu memahami sesuatu secara sistemik, baik yang terkait dengan mikro maupun makronya.

Namun, bukankah banyak dokter spesialis yang sukses memimpin rumah sakit, memimpin universitas dan bahkan menjadi menteri?  Bukankan juga banyak orang yang ahli pada bidang tertentu kemudian juga sukses memimpin lembaganya?   Kalau begitu antara generalis dan spesialis tidak harus difahami dikotomis. Dapat saja seorang spesialis mampu menggunakan pola pikir generalis jika menangani masalah tersentu.  Sebaliknya, mungkin juga seorang generalis juga mampu menerapkan pola pikir spesialistik jika menangani masalah tertentu.

Selama ini makna tabligh secara sederhana saya padankan dengan komunikasi.  Jadi pemimpin haruslah memiliki kemampuan komunikasi yang baik.  Tentu komunikasi dua arah, sehingga di satu sisi pemimpin harus mampu menyampaikan gagasannya dengan baik, di sisi lain yang bersangkutan juga harus mampu mendengarkan dan menyerap pendapat orang lain.  Rasanya hampir semua buku teks tentang kepemimpinan juga menjelaskan seperti itu.
Namun, buku Syafi’i Antonio memaknainya lebih luas.  Disamping harus mampu berkomunikasi dengan baik, pemimpin juga harus mampu membangun jejaring kerjasama dengan baik.  Melalui jejaring itu, sinergitas dalam dilakukan, sehingga pekerjaan dapat dilaksanakan lebih efektif dan efisien.  Dengan sinergitas pemimpin dapat memanfaatkan potensi yang ada, baik yang dimilki instansinya maupun yang dimiliki instansi partnernya.

Membaca dan mencoba memahami buku itu, saya jadi teringat istilah 4-C yang disebutkan banyak pakar sebagai kemampuan yang diperlukan di era digital, yaitu critical thinking, creativity, communication dan collaboration.  Namun jika dibandingkan, pendapat Syafi’i Antonio lebih lengkap.  4-C hanya dapat mewakili fathanah dan tabligh, sementara sidiq dan amanah belum terwakili.  Mungkin perlu tambah satu C, yaitu character yang mewakili sidiq dan amanah.  Jadi 4-C perlu disempurnakan menjadi 5-C.

Tidak ada komentar: