Selasa, 23 Januari 2018

KREATIVITAS PERLU DIBARENGI NORMA









Biasanya kalau dari kota Medan ke bandara Kualanamu atau sebaliknya, saya selalu menggunakan kereta api. Kereta apinya bagus, cepat dan langsung berhenti di dalam area bandara.  Agak mahal tarifnya, yaitu 100 ribu rupiah.  Namun karena cepat, tidak terkena macet dan kereta api  itu nyaman, maka banyak orang memilih pakai kereta api dibanding bus atau taksi. Tampaknya saat membangun bandara Kualanamu sudah dipikirkan transportasinya dari kota Medan, sehingga keterpaduan bandara dan kereta api itu sangat terasa.

Ketika pulang dari Unimed tanggal 22 Januari 2018, saya terpakna meninggalkan kebiasaan itu, karena diantar oleh staf Unimed.  Apalagi sebelum itu diajak makan siang di warung Jumadi yang letaknya di ujung jalan tol.  Warung makan yang konon dahulu sangat terkenal dengan gulai kepala ikan dan udang rebusnya.  Nah, ketika melewati jalan raya menjelang masuk jalan tol, kami menjumpai pandangan yang sangat menarik.  Apa itu? Bentor (becak bermotor) yang siang itu mengangkut anak sekolah.  Memang jamnya bersamaan dengan waktunya anak pulang sekolah.

Saya mencoba menghitung berapa anak yang diangkut dalam satu bentor.  Sungguh mengagetkan.  Ada yang mengangkut 8 orang anak SMP, seperti yang nampak pada gambar di atas.  Ada juga yang mengangkut anak SD dengan sangat berjubel, sehingga saya tidak dapat menghitung.  Umumnya anak-anak itu nampak ceria, naik bentor berjubel sambil bercanda. Sang pengemudi juga tampak sudah terbiasa dengan itu, sehingga mengemudi dengan tenang dan bahkan ketika saya foto yang bersangkutan tersenyum.

Tentu angkutan semacam itu sangat bermafaat bagi anak-anak yang berangkat dan pulang sekolah.  Apalagi jika jarak rumah dan sekolah cukup jauh dan tidak ada angkutan umum di wilayah itu. Pengemudi bentor juga untung karena mendapat pelanggan tetap, yaitu anak-anak yang berangkat dan pulang sekolah.  Namun bagaimana dengan keamanannya?  Keamanan bagi pengemudi, bagi penumpang dan juga pada pengendara lainnya.

Apakah fenomena seperti itu hanya terjadi di Medan?  Saya tidak tahu pasti.  Namun dalam skala lain, tampaknya juga terjadi di tempat lain.  Di Surabaya saya pernah melihat, angkutan sejenis itu memuat sayur bertumpuk dan diduduki oleh pedagangnya.   Kadang-kadang pedagang naik di belakang pengemudinya.  Kendaraan seperti itu melaju di jalan raya, berbaur dengan kendaraan lain.  Sepertinya itu juga sudah menjadi hal biasa, buktinya pak polisi lalu lintas juga membiarkannya.

Kreativitas bentor harus dihargai.  Jika menggunakan istilah Drew Boyd dan Goldenberg, mungkin penciptaaan bentor dapat dikategorikan sebagai task unification , menggabungkan sepeda motor dengan becak.   Bentor yang pada awalnya muncul di Gorontalo, kini telah ada di hampir semua kota dan bahkan dimodifikasi oleh fabrikan menjadi motor yang dibelakangnya digandeng dengan gerobak, yang di kota besar banyak digunakan untuk alat angkut barang.

Melihat fenomena seperti itu saya jadi teringat tingkatan berpikir yang biasa disebut oleh para pakar, yaitu diciplinary mind-synthesizing mind-creative mind-respectiveful mind-ethical mind.  Artinya ketika kita berpikir kreatif, harus diikuti dengan menghargai (respect) orang lain dan selanjutnya memenuhi etika atau norma yang berlaku.  Nah, dalam konteks memenuhi hak-hak orang lain dan etika kehidupan itulah dalam merancang dan menggunakan bentor mungkin keselamatan pengemudi, penumpang dan orang lain yang kebetulan berada di sekitarnya









Tidak ada komentar: