Senin, 22 Januari 2018

SEKALI LAGI ANTARA ADMINISTRASI DAN SUBSTANSI



Minggu tanggal 21 Januari 2018 saya bertemu dengan Mas Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed di bandara Juanda.  Saya mengenal baik beliau, seorang tokoh muda Muhammadiyah dan baru saja menyelesaikan tugasnya sebagai Ketua BAN SM.  Oleh karena itu walapun ketemunya hanya singkat, sekitar 15 menit, tetapi sempat ngobrol ini dan itu.  Salah satu informasi penting yang saya tangkap adalah banyaknya urusan administrasi sebagai Ketua BAN SM, sehingga tidak punya waktu cukup untuk menangani hal-hal yang substansi.  Waktunya habis untuk menagani urusan teknis administrasi.

Mendegarkan keluhan Mas Mu’ti, begitu biasa saya memanggil, saya teringat tulisan saya di blog ini bulan November lalu.  Saat itu saya menceritakan keluhan guru yang waktunya habis untuk mengerjakan tugas-tugas administratif, sehingga tidak lagi punya waktu untuk mengerjakan tugas-tugas esensial, misalnya bagaimana mengajar/mendidik siswanya.  Menurut beberapa guru, waktu untuk menyiapkan bahan ajar, mengoreksi tugas siswa, mendalami materi ajar dan pembelajaran untuk memperbaiki kualitas pembelajaran, hampir tidak ada.  Begitu tidak mengajar, mereka harus mengerjakan tugas-tugas administratif ini dan itu.

Berkebalikan dengan fenomena itu, Kamis tanggal 18 Januari lalu saya diskusi dengan Mbak Petra Bodrogini, teman dari Bank Dunia.  Diskusi dilaksanakan di resto Ngalam di lantai 2 mall FX dekat kantor Kemenristek Dikti.  Mengapa disitu?  Karena kantor Bank Dunia di gedung BEI masih tutup.  Seperti diketahui lantai menzanine gedung BEI, dimana Bank Dunia berkantor, roboh.  Yang menarik, walaupun gedung tersebut sudah dibuka kembali dan beberapa kantor disitu sudah buka kembali, Bank Dunia memutuskan belum buka.  Bahkan karyawan dilarang ke kantor dan jika ke kantor akan mendapat tindakan dari Country Director.

Lantas apakah karyawan libur?  Tenyata tidak.  Karyawan diminta bekerja di rumah masing-masing atau di tempat lain.  Yang penting tugas-tugas dapat diselesaikan.  Sistem IT diatur para karyawan dapat mengakses dan mengunggah dokumen yang diperlukan.  Rapat dilakukan dengan WA group, teleconference atau videoconference.  Rapat kami di Ngalam Resto itu merupakan bagian rapat seperti itu.  Bagaimana dengan presenstei dan jam kerja?

Bagaimana dengan presensi karyawan?  Ternyata Bank Dunia tidak mengenal presensi. Karyawan sudah tahu kuwajibannya, sehingga walaupun tidak ada presensi tidak ada yang membolos.  Jika karena seuatu hal tidak dapat hadir atau datang terlambat atau ijin keluar kantor akan memberitahu atasannya masing-masing.  Yang penting apa yang menjadi tugas dan tanggungjawabnya selesai sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan.  Jadi ukurannya bukan tanda tangan atau finger print kehadiran, tetapi selesai tidak dan kualitas pekerjaan yang dihasilkan.

Mendengarkan penjelasan Mbak Petra, saya jadi teringat soal SPPD (surat perintah perjalanan dinas) yang biasa dibawa PNS ketika melaksanakan tugas keluar kota.  SPPD itu harus ditandatangani oleh pimpinan instansi yang dituju plus dibubuhi stempel, sebagai bukti yang bersangkutan sudah melaksanakan tugas disana.  Nah, ketika kita pergi ke kantor lembaga seperti Bank Dunia atau ke ne\gara lain dan meminta tanda tangan pada SPPD mereka bingung. Apa itu? Untuk apa itu?  Karena mereka tidak punya kebiasaan seperti itu.  Jadi kita terpaksa harus menjelaskan.

Saat makan siang bersama dengan Prof Syawal Gultom, rektor Unimed tanggal 22 Januari 2018, kejadian seperti itu menjadi bahan diskusi yang lucu.  Menurut beliau, banyak aturan di Indonesia itu disusun atas dasar “ketidakpercayaan”.  Oleh karena itu semua harus disertai bukti-bukti administrasi yang seringkali justru mengalahkan yang substansi.  Ketika PNS tugas luar harus mengurus SPPD, seakan-akan laporan substansialnya tidak cukup sebagai bukti sudah mengerjakan tugas luar tersebut.  Ketika dosen mendapat dana penelitian, harus mengurus administrasi keuangan yang seringkali rumit.  Laporan substansial hasil penelitian saja tidak cukup, karena ditakutkan dana penelitian digunakan hal-hal lain. Jangan-jangan adanya presensi yang kaku, kewajiban perangkat pembelajaran yang sangat rinci dan tugas-tugas administrasi lainnya tadi disusun atas dasar ketidakpercayaan.

Sudah saatnya kita memikirkan hal-hal tersebut. Dari kaca mata kependidikan, mencurigai anak didik dan mungkin anak buah bukan cara yang tepat.   Dalam konsep pendidikan, kita harus percaya siswa kita mampu mencapai kompetensi yang dipelajari.  Menjadi tugas guru/pendidik/orangtua agar mereka dapat menguasai kompetensi itu dengan cepat.  Kita harus mempercayai siswa kita sebagai anak yang baik dan anak yang bertanggungjawab. Menjadi tugas kita adalah membimbing anak kita menjadi anak yang baik dan anak yang bertanggungjawab.  Bukan malah mencurigainya.  Hal serupa mestinya juga diterapkan kepada guru dan karyawan kita.     

Tidak ada komentar: