Jumat, 05 Januari 2018

KEHENINGAN PEDESAAN (2)



Pas pulang kampung itu ternyata ada kerabat yang tinggal di Dusun Bentong Desa Semanding wafat, namanya Pak Rijan.  Oleh karena itu saya dengan Bude Cis dan Totok takziah.  Sebenarnya almarhum wafat sudah kemarinnya, tetapi tradisi di kampung kami takziah itu berlangsung sampai hari. 

Sewaktu kami datang  sudah ada tiga orang yang juga sedang takziah dan ditemui oleh Kang No anaknya Pak Rijan.  Saat kami datang, isteri Pak Rijan dan anak perempuannya ikut menemui sehingga kami ngobrol ber-sembilan.  Tentu obrolan ala pedesaan yang penuh keakraban.  Kami ngobrol tentang sulitnya mencari tenaga tandur (menanam padi), mesin penanam padi yang kini mulai digunakan petani, sampai ada kerabat yang baru kena tetanus gara-gara kakinya terkena tunggak jagung saat membajak sawah.

Keakraban semacam itulah yang saya rindukan.  Ngobrol ringan tetang kehidupan sehari-hari didesa tanpa beban aneh-aneh.  Ketika menceritakan ada kerabat yang kenan tetanus, Kang No mengatakan yang bersangkutan menggigil dan langsung diboncengkan sepeda motor ke Puskesmas.  Oleh Pak dokter disuntik dan sampai rumah sudah sembuh.   Kerabat dari Sumoroto yang takziah menimpali, kalau di Puskesmas pas tidak ada obat, Pak dokter akan menyuruh membeli di apotik sebelah Puskemas.

Sore harinya, setelah sholat magrib kami semua sepakat makan pecel di lapangan dekat jalan baru di kota.  Kami berangkat ramai-ramai berduabelas. Warungnya sangat sederhana dan hanya menjual pecel dengan tempe goreng saja.  Minumnya juga hanya teh dan kopi.  Pembeli duduk di tikar yang digelar di lapangan.  Nasinya panas yang diambil dari dandang yang berasa di atas kompor.  Sambelnya sangat pedas, sehingga saya kepedasan. 

Kebetulan sore itu cuaca sangat bagus dan bulan menjelang purnama.  Kami berlama-lama duduk di tikar walaupun sudah selesai makan.  Anak-anak kecil berlarian di lapangan sehingga semua tampak menikmati. Kami yang tua ngobrol ringan tentang pecel yang pedas dan tempe goreng lebar-lebar yang sangat enak.  Apalagi tempe goreng di piring terus ditambah dengan yang baru selesai digoreng.

Sepulang dari makan pecel kami ingin membeli getok.  Sewaktu berangkat masih ada tetapi ketika pulang ternyaya sudah habis.  Siangnya saat di sawah kami sudah ingin membeli getuk di desa Golan tetapi terlalu jauh dengan jalan kaki, sehingga diputuskan sore saja sambil makan pecel.  Nah, ternyata kehabisan.  Jadinya sampai pulang kami tidak sempat makan getuk.  Pada hal di sulung ingin sekali.

Jika berangkatnya naik kereta api, pulangnya saya dan si sulung numpang mobil Toko via Malang, karena ingin ziarah makan kakek saya (bapaknya Mbah Kung) yang dimakamkan di Tulungangung.  Kami berlima-Toko, Retno, Ayok, si sulung dan saya-berangkat dari kampung halaman sekitar pukul 08, setelah sarapan nasi pecel tumpang.  Kami memang merencanakan makan pecel tumpang, sehingga pagi-pagi Bude Cis sudah membelikan.

Kami mampir juga mengunjungi kerabat di Desa Nglongsor Trenggalek.  Ketika datang, saya kaget karena Pak Musdi-sepupu kedua Mbak Kung- sudah wafat sekitar satu setengah bulan lalu.  Jadinya kami hanya ketemu istri Pak Musdi dan dua anaknya-Kamim dan Ikin.  Saya sempat melihat sumur di belakan rumah Pak Musdi, tempat saya waktu kecil mandi pancuran.

Dari Trenggalek, kami meluncur makam Mbak Khasan Burais-kakek saya-yang terletak di Desa Jeruk, Kalangbret, Tulungagung.  Saat sampai makan sedang gerimis, sehingga kami berpayung ria.  Karena hujan, kami tidak sempat membaca Yasin dan hanya berdo’a sebentar.  Setelah itu mengunjungi kerabat di dekat makan, yaitu Pak Manap dan Tamaji.

Pak Manap adalah sepupu kedua Mbah Kung.  Kalau Pak Musdi sepupuk kedua Mbah Kung dari pihak Mbak Khasan Burais, Pak Manap sepupu kedua dari pihak dari Mbah Painen-Mbak Khasan Burais putri.  Pak Manap banya bercerita tentang keluarga dan bahkan menceritakan dimana rumah Mbak Khasan Burais saat masih hidup.  Ternyata beliau orang kaya dan memiliki lahan cukup luas di dekat rumah Tamaji.  Kami juga dapat banyak nasehat tentang berbagai hal.

Dari rumah Pak Manap, kami mengunjungi Tamaji-cucu Pak De Bejan, sepupu kedua Mbak Kung.  Tamaji seusia saya, dan ketika masih sama-sama di SR (SD zaman dahulu), kami berdua sering berikirim surat.  Saya senang sekali ketemu kerabat yang seusia dan akrab saat masih kecil.  Cerita lama mucul kembali, misalnya saat berperahu dan mencari ikan.  Maklum di masa lalu, desa Jeruk daerah banjir menahun, sehingga semua rumah punya perahu.  Sungguh menyebangkan ketemu kerabat di pedesaan

Tidak ada komentar: