Senin, 15 Januari 2018

USBN SEKOLAH DASAR



Ujian Sekolah Berstandar Nasiona (USBN) SD Tahun 2018 tidak jadi 8 matapelajaran dan hanya 3 matapelajaran.  Begitu penjelasan Kepala Balitbang Dikbud yang dimuat beberapa koran.  Penjelasan itu menghentikan wacana yang muncul bahwa USBN SD Tahun 2018 akan mencakup 8 delalapan matapelajaran.

Membaca itu, jujur saya bingung bukan main.  Kurikulum 2013 (K-13) menggunakan pendekatan tematik, kecuali matapelajaran Agama dan Penjaskes.  Akhir-akhir ini muncul pemisahan matapelajaran Matematika.  Lantas kalau USBN dilaksankaan 3 atau 8 matapelajaran itu matapelajaran apa?  Bukankah siswa belajar secara tematik?  Seingat saya, ketika K-13 dimulai, untuk SD dimulai dari kelas 1 dan kelas 4.  Dengan demikian yang dahulu kelas 1 sudah kelas 5 dan yang kelas 4 sudah masuk SMP?  Okelah, misalnya sebagian besar sekolah baru mulai K-13 pada tahun 2015, berarti yang kelas 4 sekarang sudah kelas 6 dan mestinya mereka sudah menerapkan pembelajaran tematik.  Okelah, misalnya belum semua SD menerapkan pembelajaran tematik, lantas yang sudah melaksanakan pembelajaran tematik apakah USBN-nya menggunakan matapelajaran?

Jika USBN menggunakan pendekatan matapelajaran berarti tidak sesuai dengan kurikulum yang dilaksanakan.  Saya jadi kaget, ketika Mas Hartoko menyebutkan anaknya yang kelas 4 menerapkan kurikulum “gado-gado”.  Jadi tematik itu seakan menjadi “matapelajaran baru” menambah matapelajaran yang selama ini ada.  Saya menangkapnya, di SD tempat putera berliau sekolah itu ada matapelajaran PPKn, Bhs Indonesia, Matematika, IPA, IPS, Agama, Penjaskes, Senibudaya dan TEMATIK.  Sungguh membingungkan.

Mengapa begitu?  Saya takut, karena USBN menggunakan pendekatan matapelajaran sehingga guru terdorog mengajarkan matapelajaran itu.  Jika tidak diajarkan takut nanti tidak lulus USBN.  Apalagi jika USBN mencakup 8 matapelajaran yang artinya semua matapelajaran diujian.  Kalau itu benar-benar terjadi, menurut saya roh K-13 hilang.

Pendekatan tematik di SD sebenarnya akan membuat pembelajaran menjadi kontekstual dan bermakna.  Kontekstual, karena apa yang dipelajarai “ada” dalam kehidupan keseharian anak, sehingga mudah difahami.  Bermakna, karena apa yang dipelajari dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.  Bahkan dalam tataran sederhana, dengan pendekatan tematik anak SD dapat dibimbing untuk memahami fenomena keseharian secara holistik-komprehensif.  Bahkan secara bertahap anak SD dapat dibimbing untuk membuat prediksi dan pemecahan masalah.

Lantas mengapa USBN sampai saat ini tetap menggunakan pendekatan matapelajaran dan bahkan tahun ini ada wacana 8 matapelajaran?  Saya menduga, karena kita belum pernah punya soal ujian yang bentuknya tematik.  K-13 sudah berusaha melebur semua matapelajaran yang selama ini dipelajari di SD ke dalam tema-tema yang sesuai.  Namun kita belum mengembangkan soal untuk mengetahui apakah siswa sudah menguasai kompetensi dalam tema tersebut.  Akhirnya walaupun pembelajarannya tematik, ujiannya berbentuk matapelajaran.

Sudah saatnya Kemdikbud mengembangkan soal-soal (tes) dengan pendekatan tematik, sesuai dengan KD (kompetensi dasar) di Kurikulum.  Sudah saatnya para guru dibimbing dan diberdayakan untuk mengembangkan soal semacam itu sesuai dengan konteks dimana mereka mengajar, sehingga soal (tes) yang dibuat kontekstual bagi anak didiknya.

Tidak ada komentar: