Jumat, 05 Januari 2018

KEHENINGAN PEDESAAN (1)




Pergantian tahun 2017 ke 2018 saya lalui di kampung halaman. Si sulung pulang dan ingin sekali mengunjungi kerabat di desa kelahiran ayahnya.  Minggu tanggal 31 Desember 2017 kami berdua berangkat dengan kereta Sancaka sampai Madiun dan dilanjutkan dengan naik Avansa milik keponakan.   Kereta Sancaka kelas ekonomi tepat waktu, berangkat dari setasiun Gubeng pukul 08.30 dan tiba di Madiun pukul 10.10.

Pemilihan tempat duduk yang kami lakukan saat memberi tiket secara online ternyata keliru.  Kami memilih tempat duduk di gerbong Ekonomi 1 dengan nomor kursi 5C dan 5D, dengan harapan tidak terlalu ujung, tetapi juga tidak terlalu jauh dari pintu kalau-kalau pengin ke toilet.  Posisinya sih tepat, tetapi kursi nomer 5C dan 5D ternyata posisinya menghadap ke belakang saat kereta berjalan.  Saya sih tidak apa-apa, namun si sulung biasanya tidak tahan.  Oleh karena itu, sejak kereta berangkat dia berusaha tidur.  Dan betul, bisa tidur nyenyak sampai menjelang Madiun.

Kami sampai rumah keluarga di desa sekitar pukul 11.30.  Pagi belum sempat sarapan dan hanya minum susu.  Oleh karena ituu, begitu sampai kami langsung ingin makan.  Bude Cis, begitu kami memanggil kakak yang sekarang tinggal di rumah keluarga, memasak “jangan tempe dengan lombok ijo” dan juga ada “jangan terong blendrang”.  Sungguh nikmat.  Si sulung sangat lahap sambil mengatakan jangan (sayur) seperti itu yang dirindukan.

Tidak berapa lama, adik bungsu-saya biasa memanggilnya Toko”- yang tinggal di Malang juga datang bersama dengan istri  dan anak bungsunya si Ayok.  Oleh karena itu “ruma keluarga kami” cukup ramai hari itu.  Ada Bide Cis berserta salah seorang anaknya-Totok- dengan isteri dan kedua anaknya-Tiar dan Faul-, serta dua cucu lainnya-Manggar dan Langit-, yang kebetulan orangtuanya-Wik-tidak pulang.

Sore hari, sekitar pukul 16.30 kami mengunjungi makam Mbak Kung dan Mbak Ti, begitu kami memanggil bapak dan ibu almarhum.  Kompleks makam beliau berada di tengah sawah dan berjarak sekitar 1 km dari rumah.  Memang rumah keluarga kami mewah alias mepet sawah.  Di belakang rumah kami merupakan persawahan-kami menyebutnya bulakan-cukup luas dan merupakan batas dengan desa sebelah.  Jadinya kalau ke makam Mbah Kung dan Mbah Ti, kami harus menjalan melalui jalan kecil di persawahan.

Setelah membaca surat Yasin dan berdo’a secukupnya, kami berjalan pelan-pelan sambil memperhatikan sawah di kiri-kanan jalan.  Suara disel penggerak pompa air yang dulu ramai, sekarang sudah tidak ada, karena penggerak pompa air telah berganti dengan motor listrik.  Yang terdengar hanya suara air gemrojog dari ujung pipa. PLN dengan senang hati mengalirkan listri ke sawah untuk melayani kebutuhan petani.  Sepanjang jalan di sawah itu kini berdiri tiang listrik dari beton yang di beberapa tempat dilengkapi dengan lampu.

Tampaknya akhir Desember merupakan awal musim tanam padi.  Sebagian besar sawah di sekitar makam Mbah Kung ditanami padi yang dugaan saya baru berumur 1-2 minggu.  Sebagian masih agak kuring sebagai tanda baru tanam dan sebagian yang lain sudah hijau tetapi belum beranak, sehingga masih tampak jarang-jarang.  Beberapa petak bahkan masih belum ditanami, tetapi sudah selesai ditraktor dan siap ditanami.  Memang ada yang sudah agak besar padinya dan sudah mulai diwatun (disiangi).

Ketika sampai pertigaan jalan, saya dan Toko berserta isterinya-Retno, kepengin melihat sawah yang lain.  Jadilah kami tidak langsung pulang, tetapi menyusuri jalan ke arah bagian bulakan yang lain yang merupakan wilayah desa sebelah-namanya Desa Golan.  Tampaknya petani desa Golan lebih “maju”.  Sawahnya tidak ditanami padi tetapi bawang merah.  Sebagian sedang panen dan sebagian lagi belum.  Saya sempat ngobrol pendek dengan tetangga yang sedang ikut memanen bawang merah.  Menurut yang bersangkutan panenan kurang baik, karena terlalu banyak hujan.

Saya sungguh menikmati melihat sawah yang serba hijau.  Ada padi, ada bawang merah dan ada sedikit tomat.  Petani dan sebagian besar tetangga umumnya saya kenal, walaupun sebagian saya lupa namanya, menyapa dan menanyakan kabar.  Ada beberapa yang sepertinya lupa dengan saya, tetapi begitu saya sapa langsung ingat dan menyebut nama saya dan menanyakan kabar.  Sungguh keakaban ala pedesaan yang saya rindukan, sehingga kami bertiga berlama-lama di persawahan.

Menjelang magrib saya baru beranjak pulang sambil terus menyapa tetangga yang sedang di sawah dan sesekali mencermati tanaman yang ada.  Saya sempat mengambil “telo tahun”, yaitu sejenis singkong yang dahulu digunakan oleh Pak Mukibat untuk menghasilkan “telo Mukibat”.  Daun telo tahun sangat enak untuk dibuat urab, sehingga walaupun tidak menghasikan umbi tetap banyak ditanam orang.

Sampai di rumah dan istirahat sebentar, saya mandi di blandongan atau padasan.  Apa itu? Tempat mandi ala desa, air dari sumur ditampung di blandongan kemudian ada pancurannya.  Jadi kami kami dengan air pancuran itu.  Pola mandi yang sampai saat ini rasanya paling nimat.  Airnya segar dari sumur yang jernih dan tidak perlu membayar.  

Tidak ada komentar: