Jumat, 26 Januari 2018

KULIAH DARING ITU ALAT BUKAN TUJUAN



Setelah mendorong perkuliahan dengan billingual, kini Kemenristekdikti sedang mendorong perkuliahan menggunakan pola daring (online).  Saya kira keduanya memang sudah saatnya digalakkan di perguruan tinggi.  Bahkan sebenarnya sudah agak terlambat.  Bukankah dalam era global-digital ini, bahasa Inggris sudah menjadi alat komunikasi formal di berbagai instasi. Bukahkan sekarang semua urusan sudah menerapkan sistem online. Namun, seperti kata pepatah lebih baik terlambat dibanding tidak memulai.

Namun demikian, harus kita fahami penerapan daring dalam perkuliahan itu sarana dan bukan tujuan.  Ini saya sampaikan karena ada gejala kuliah daring dimaknai dengan mengunggah bahan ajar ke web, sehingga mahasiswa mudah memperolehnya. Katakanlah modul atau buku teks atau bahan ajar yang selama ini digunakan dalam perkuliahan didigitalisasi dan diunggah di web.  Pertanyaannya apakah seperti itu yang disebut kuliah daring?

Sebelum membahas lebih jauh saya ingin kembali ke buku Organized Mind yang ditulis oleh Daniel Levitin dan pernah saya ulas di blog ini sekitar Juni 2016, dengan judul Bingung Kebanjiran Informasi.  Memang saat itu saya hanya menjelaskan kiat yang diajukan Levitin dalam menghadapi banjir informasi yang tidak dikehendaki, nah kali ini saya ingin berbagi apa manfaat banjir informasi dan apa manfaatnya untuk dikaitkan dengan kuliah daring.

Saat ini informasi di dunia maya sangat melimpah dan terus semakin melimpah karena teknologi memberikan kemudahan kepada semua orang untuk mengunggah pendapatnya.  Media sosial telah menjadi wahana “penumpahan” informasi tersebut.  Oleh karena itu, kemampuan yang sangat penting dimiliki adalah mencari informasi, memilih dan memilah mana yang valid/baik, menganalisis secara kritis untuk sampai kepada simpulan yang tepat.  Kemampuan itu ternyata sejalan dengan apa yang sering disebut dalam kemampuan abad 21 (21st Century Skills).

Menurut saya pembelajaran daring bukan sekedar mengganti perkuliahan tatap muka menjadi virtual, tetapi sekaligus juga melatih mahasiswa dalam mencari informasi secara daring, memilih dan memilahnya, menganalisis dan menggunakannya untuk memahami fenomena atau memecahkan masalah.  Dengan demikian memuat semua bahan ajar, termasuk pengayaaannya di dalam web tepat, karena tidak melatih mahasiswa mencari informasi secara virtual.  Seperti pepatah, sebaiknya perkuliahan daring memberikan kail dan bukan memberikan ikan.

Contoh sederhara yang pernah saya lihat di sebuah SMP di Jepang mungkin dapat menjadi inspirasi.  Saat itu saya mengunjungi sebuah SMP di Nagoya tempat dosen Aichi University of Education bersama dengan mitra guru melaksanakan lesson study.  Waktu itu matapelajaran Social Studies, mungkin mirip IPS di Indonesia.  Guru memberikan informasi bahwa berdasarkan undang-undang Jepang tidak memiliki tentara, yang dimiliki adalah Pasukan Bela Diri.  Undang-undang dibuat saat selesai Perang Dunia Kedua dan atas desakan Sekutu sebagai pemenang perang.  Sebagai Padukan Bela Diri tidak dibenarkan untuk ofensif tetapi hanya defensif.  Nah, pada saat itu NATO yang sebenarnya merupakan penjelmaan Sekutu meminta Jepang mengirim tentara (Pasukan Bela Diri) untuk ke Afganistan dan Jepang memenuhi permintaan itu.  Guru meminta pendapat siswa, apakah yang dilakukan pemerintah Jepang itu betul atau salah.  Untuk menjawab itu, siswa dipandu untuk membaca berbagai dokumen.

Dengan bahan banding itu, maka dalam kuliah daring lebih baik difokuskan pada pertanyaan pancingan dan panduan bagaimana mencari bahan kajian serta bagaimana menganalisisnya, sementara untuk bahan kajian memanfaatkan bahan-bahan yang sudah ada di dunia maya.  Toh bahan semacam itu sudah sangat banyak.  Kalau toh diperlukan, hanya bahan ajar esensial saja yang perlu disusun dan diunggah.  Semoga.

Tidak ada komentar: