Kamis, 28 Maret 2013

BIRO PERJALANAN UMRAH: ANTARA AKTIVITAS KEAGAMAAN DAN BISNIS


Antrean calon jamaah haji semakin panjang dari tahun ke tahun.  Di awal tahun 2000-an, calon jamaah haji hanya menunggu sekitar 2 tahun untuk dapat berangkat.  Artinya jika kita mendaftar tahun 2001, kita akan  dapat berangkat tahun 2003.  Konon untuk daerah Surabaya, sekarang masa tunggu 12 tahun. Jadi kalau kita mendaftar haji pada tahun 2013 ini, kita baru dapat berangkat tahun 2025.  Ya ampun lama sekali.

Mungkin itu yang menjadi salah satu penyebab banyaknya orang melaksanakan umrah.  Tentu ada sebab lain, misalnya “derajat keislaman” masyarakat semakin baik dan kemampuan ekonomi masyarakat juga semakin meningkat.  Dua faktor itu, saya tarik dari gambaran di kampus secara sederhana.  Kalau ada wisuda di Unesa, diantara sekitar 1.750-an wisudawan perempuan, hanya sekitar 10% yang tidak memakai jilbab. Di saat perkuliahan juga seperti itu.  Sebagian besar mahasiswi memakai jibab. Sepertinya jilbab sudah menjadi bagian dari pakaian mereka. Mudah-mudahan itu indikator derajat keislamannya semakin naik.

Pada saat acara wisuda, jumlah mobil pengantar tidak dapat dihitung lagi.  Kampus penuh sesak dan sering macet di pintu masuk atau pintu keluar.  Jika di masa lalu banyak bemo yang disewa, kini rata-rata mobil yang datang itu jenis Kijang, Avansa, Escudo dan sebagainya.  Tidak terlihat lagi “bemo pelat kuning” yang disewa untuk mengantar wisudawan.  Bahkan saya kaget ketika ada mahasiswa S1 kuliah membawa mobil sendiri.  Semoga itu indikator ekonomi orangtua mahasiswa semakin baik.

Meningkatnya jumlah orang yang ingin haji dan umrah tampaknya mengundang “dunia bisnis” memasukinya.  “Ada gula semutpun datang”, mungkin pameo itu cocok.  Sekarang banyak travel biro yang melayani ibadah haji plus dan ibadah umrah.  Pada awalnya travel biro biasa, tetapi sekarang juga melayani ibadah haji plus dan ibadah umrah juga.  Bahkan ada yang “bergeser” layanan ibadah haji plus dan umrah menjadi garapan utamanya.

Di samping travel biro, sekarang banyak pengajian atau masjid yang juga memberikan bimbingan ibadah haji dan umrah.  Biasanya disebut KBIH.  Nah, antara KBIH dan travel biro kini bekerja sama.  Sepertinya ada semacam pembagian tugas, urusan perjalanan dan sebagainya menjadi tanggung jawab travel biro, sedangkan urusan memandu jama’ah selama menjalankan ibadah haji atau umrah menjadi tanggung jawab KBIH.  Soal pembagian yang lain, saya tidak tahu dan juga tidak ingin tahu.

Apakah itu tidak boleh?  Boleh, bahkan baik, karena melayani orang beribadah tentunya mendapat “nilai ibadah” pula. Demikian pula pembagian tugas, sesuai dengan kompetensi masing-masing.  Semoga niat yang lebih kuat adalah melayani orang lain beribadah dan bukan sekeder bisnis seperti biasanya. Nah, sepertinya disitulah masalah yang muncul.  Bergabungnya “dua lembaga” sepertinya tidak diikuti dengan manajemen yang baik.  Tidak begitu jelas, siapa yang menjadi penanggung jawab utama dan siapa yang sebagai pendukung.

Dari cerita beberapa teman yang melakasanakan ibadah umrah muncul fenomena yang perlu mendapat perhatian.  Bukan untuk mencela atau menyalahkan, tetapi agar lebih profesional. Layanan perjalanan yang kurang baik atau tidak sesuai dengan “janji” brosur dapat menyebabkan jama’ah “nggerundel” dan tidak lagi tenang hatinya saat menjalankan ibadah.  Misalnya perjalanan yang tidak sesuai dengan jadwal di brosur, kondisi hotel dan makanan yang tidak seperti yang diinformasikan, dan sebagainya.

Pada saat hal seperti itu terjadi, biasanya pihak KBIH atau pembimbing ibadah meminta agar jama’ah sabar dan tawakal.  Bukankah ibadah haji dan umrah adalah ibadah yang melatih dan menuntut kesabaran.  Ibadah yang menunut kita berserah diri secara total kepada Sang Khalik. Ibadah yang meladani Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.  Nasehat itu betul, tetapi tentunya tidak boleh dipakai sebagai “tameng” ketidakprofesionalan” pelaksanaan travel biro.

Pada saat hal itu terjadi, sepertinya pihak travel tidak banyak berperan. Dan bahkan seakan berlindung dibalik “otoritas” pembimbing ibadah.  Pada hal, semestinya hal itu menjadi tanggung jawab pihak travel biro. Ketidak sesuaian jadwal penerbangan sangat mungkin karena kurang lincahnya travel biro mengurus atau kurang cepatnya menginformasikan kepada jama’ah sehingga mereka kaget. Ketidak sesuaikan kondisi hotel dan makanan sepertinya terjadi karena brosur “terlalu melebihkan” atau tidak menjelaskan bahwa beda standar antara di Indonesia dan Makah dan Madinah.  Misalnya, ketika brosur menyebutkan hotelnya “bintang 5” atau “bintang 4” dan tidak diberi penjelasan apa-apa, maka jama’ah akan membayangkan sekelas hotel Sangrila, hotel Hilton, hotel Mencure dan selevel itu.  Pada hal kenyataannya tidak.

Pihak pembimbing haji dan umrah seringkali tidak memahami masalah seperti tadi, mungkin merasa bukan tanggungjawabnya.  Pada hal, prakteknya pembimbing jama’ah itulah yang setiap saat berhadapan dan memberi penjelasan kepada jama’ah.  Biasanya jama’ah tidak “berani” komplain, karena ingat nasehat pembimbing yang harus sabar dan tawakal.  Namun, dari beberapa cerita teman, banyak yang sebenarnya nggrudel.

Tampaknya sisi bisnis cukup kuat dalam urusan tersebut.  Upaya meningatkan efisiensi cukup kuat, sehingga travel biro melakukan berbagai cara. Disitulah terjadinya perbedaan antara apa yang tertulis di brosur dengan apa yang terlaksana di lapangan.  Mungkin bukan yang disengaja dari awal, artinya sengaja membohongi calon jama’ah, tetapi keinginan meningkatkan efisiensi menyebabkan distorsi dalam pelaksanaan. Toh dari pengalaman, jama’ah akan “ditenangkan” oleh KBIH dengan nasehat agar sabar dan berserah diri secara total.  Profesionalitas menjadi kurang mendapat perhatian.  Perpaduan membantu ibadah dan urusan bisnis tampaknya perlu dikelola dengan profesional.  Semoga ke depan semakin baik.

Tidak ada komentar: