Kamis, 25 Juni 2015

DALAM HAK KITA ADA HAK ORANG LAIN



Pagi ini tanggal 25 Juni 2015 saya ke bandara Juanda pagi sekali. Pesawat Garuda yang jam 06.15 tidak terbang, ada hal harus ikut rapat jam 10.  Mau naik yang jam 07.50 takut terlambat, sehingga naik yang jam 05.25.  Oleh karena itu begitu selesai makan saur saya segera berangkat ke Juanda diantar anak laki-laki saya.

Hari masih gelap, namun ternyata sudah banyak kendaraan yang lalu lalang.  Beberapa kali kami dikejutkan adanya sepeda motor yang lampu belakangnya mati.   Dari jauh tidak terlihat, karena kebetulan melaju di jalur kiri di bawah kerimbunan pohon meneduh jalan.  Sepanjang jalan Ahmad  Yani sampai belok kiri ke jalan raya Juanda, saya hitung tiga kali kami terkenjut karena di depan ada sepeda motor dengan lampu belakang mati.

Setiap kali, menyalip saya menengok untuk melihat apakah lampu depan sepeda motor tersebut hidup. Ternyata ketiganya hidup.  Artinya pengendara tidak terganggu oleh matinya lampu belakang, karena lampu depan menyala.  Memang lampu belakang bukan dimaksudkan untuk penerangan saat pengendara berjalan, tetapi sebagai tanda bagi pengendara lain akan keberadaan sepeda motor itu.  Itulah sebabnya lampu belakang dibuat warna merah, agar orang lain tahu sebagai larangan untuk terlalu dekat.

Saya tidak tahu apakah matinya lampu belakang merupakan bentuk pelanggaran, tetapi yang pasti membahayakan si pengendara maupun kendaraan lain di belakangnya.  Dari pengalaman pagi ini saya membayangkan, kalau ada sopir yang meleng atau ngantuk sementara mobilnya berjalan kencang bukan mustahil menyeruduk motor yang lampu belakangnya mati.  Kalau si pengemudi kaget juga bukan mustahil membanting stir yang dapat saja menimbulkan kecelakaan.

Mungkin kita dapat mengatakan, mematikan atau membiarkan lampu belakang sepeda motor itu kan hak yang si pemilik atau di pengendara.  Motor-motornya sendiri, dikendarai sendiri dan tidak mengganggu orang lain.  Betulkah begitu?  Rasanya tidak sepenuhnya benar.  Pengemudi yang di belakangnya ternyata terganggu seperti yang saya ceritakan tadi.

Saya jadi teringat cerita pertengkaran seorang ibu dengan seorang bapak yang sedang merokok dalam bus kota.   Konon dalam sebuah bus kota kebetulan ada seorang bapak-bapak yang duduk bersebelahan dengan seorang ibu-ibu.  Ketika bapak tersebut merokok, ibu yang duduk di sebelahnya menegur.  Mungkin cara menegurnya akan keras, sehingga si bapak marah, dengan mengatakan kalau tidak mau kena asap rokok ya jangan naik bus kota, naik taksi saja. 

Memang dalam bus kota itu tidak ada tulisan larangan merokok, sehingga secara hukum bapak tadi tidak melanggar aturan.  Jadi dapat diterima nalar ketika bapak tadi berkata, saya menggunakan hak saya untuk merokok.  Sementara si ibu mengatakan ingin menggunakan haknya untuk tidak terganggu asap rokok.  Mana yang benar?  Sulit untuk dijawab.  Yang dapat disebutkan, bahwa di dalam hak kita ada hak orang lain.  Ketika kita menggunakan hak kita untuk merokok, ternyata ada orang lain yang punya hak untuk tidak terganggu oleh asap rokok kita. Keduanya harus disejajarkan dan tidak boleh saling melanggar.  Jangan sampai pelaksanaan hak kita menabrak haknya orang lain.

Mungkin Anda berkomentar, itu mudah dikatakan tetapi tidak mudah dilaksanakan.  Banyak contoh dalam kehidupan sehari-hari.  Antre, membuang sampah, menyeberang jalan, sampai cara kita berkendara saat lalu lintas padat.  Kita merasa sudah berlaku baik karena kita punya hak, namun agak lupa bertanya apakah saat kita menerobos anteran tiket kereta api, menyeberang jalan dan berkendara cepat untuk mengejar waktu itu tidak melanggar hak orang lain.  Seberapa kita berusaha agar seminimal mungkin orang lain terganggu oleh hak kita?

Merenungkan itu saya jadi teringat bagaimana Jepang melatih toleransi anak-anak TK.  Ketika makan kue akan disediakan jumlah kue yang tepat sama dengan jumlah siswa.  Jadi kalau ada anak yang mengambil dua buah tentu ada anak yang tidak kebagian.  Nah, suatu saat ada anak yang ditanya, kuenya enak?  Si anak menjawab, enak sekali.  Ditanya lagi, masih makan lagi, dan si anak menjawab ingin.  Mengapa tidak mengambil dua buah?  Si anak menjawab, kalau mengambil dua buah, nanti kan ada teman yang tidak kebagian.  Ternyata kita masih harus banyak belajar, termasuk ke anak TK itu.

Tidak ada komentar: