Minggu, 21 Juni 2015

PROFESOR LAGI



Ketika mengikuti acara di Iran akhir Mei lalu, ketemu dengan teman lama dari Sulawesi.  Beliau menanyakan nasib temannya yang mengusulkan jabatan akademik ke guru esar tetapi tidak turun-turun.  Saya jawa kalau saya tidak tahu.  Meskipun saya menjadi anggota tim penilai kenaikkan jabatan akademik di Dikti, tetapi pemeriksaan dilakukan secara online dan sesuai dengan bidang keahlian.  Jadi tentu saya tidak memerikan usulan teman yang kebetukan bidang keahliannya berbeda dengan saya.  Dan saya tidak tahu, karena hasil penilaian secara otomatis masuk ke file Dikti dan yang bisa tahu hanya si penilai dengan koordinator.  Jadi saya tentu tidak tahu, kecuali hasil penilaian saya sendiri.

Tampaknya teman yang bertanya tadi tidak puas dengan jawaban saya dan terus bertanya bagaimana Bapak “X” itu dapat menjadi profesor, pada hal dia bukan dosen.  Juga ada Bapak “Y” yang walaupun konon dosen tetapi selama ini ebih aktif di bidang politik.  Apa betul Bapak “Y” tersebut memiliki kredit point yang cukup untuk ke guru besar.  Sepertinya teman tadi pernah membaca blok saya, sehingga setelah panjang lebar menggerutu beliau komentar, “Pak Muchlas kan penah menulis di blok bukan Oktober 2104 yang mempertanyakan keabsahan seorang yang bukan dosen mendapat jabatan akademik profesor”. “Kon sekarang mucul lagi”.

Saya tidak berani menjawab atau memberi komentar terhadap gerutuan teman tadi, karena memang saya tidak mengetahui duduk masalahnya.  Namun setelah berpisah, diam-diam saya juga bertanya dalam hati, bagaimana ceritanya Bapak “X” dan Bapak “Y” mendapat jabatan akademik profesor.  Memang Undang-undang nomer 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi memberi peluang kepada Menteri untuk memberi jabatan akademik profesor kepada seseorang yang memiliki keahlian luar biasa.  Tetapi betulkah Bapak “X” memiliki keahlian luar biasa?  Apa ukurannya?

Tentang Bapak “Y”, saya dengar memang seorang dosen tetapi bukan dosen tetap, karena beliau lebih sebagai seorang politisi.  Saya tidak tahu apakah beliau memiliki kredit yang mencukupi untuk menjadi profesor.  Saya mencoba menghitung-hitung.  Untuk menjadi profesor itu harus mengumpulkan kredit minimal 850 dengan ketentuan (pola lama), 25% minimal dari pendidikan/pengajaran dan minimal 25% dari karya ilmiah.  Apa beliau punya cukup waktu untuk memenuhi kredit point itu ya.

Jujur saya ragu-ragu.  Seingat saya kewajaran dosen itu hanya dapat mengumpulkan kredit point A sekitar 15 kredit per semester atau 30 kredit setahun.   Jadi untuk mengumpulkan kredit pendidikan/pengajaran sebanyak 25% dari 850 atau 212,5 diperlukan waktu 7 tahun.  Itu kalau yang bersangkutan bertugas sebagai dosen full time sehingga dapat mengumpulkan kredit maksimal.

Bagaimana dengan kredit point karyawa ilmiah?  Saya juga ragu-ragu, karena jika karyanya berupa artikel di jurnal nasional atau bahkan internasional, apakah beliau punya waktu untuk menulisnya.  Apalagi aturan sekarang, karya ilmiah di jurnal baru dinilai kalau jurnal memiliki ISSN dan artikel bersama jurnak tersebut dapat dilacak secara online.  Jika tidak, maka artikel tersebut dianggap sebagai karya ilmiah yang tidak dipublikasian dan nilai maksimalnya hanya 3.

Akhirnya saya hanya dapat berdo’an mudah-mudahan jabatan akademik profesor Bapak “X” dan Bapak “Y” tersebut diperoleh dengan memenuhi kriteria yang berlaku.  Sebab jika tidak justru akan menurunkan kewibawaan beliau.  Bayangkan, jika ternyata persyarata profesor beliau tidak terpenuhi dan pemberian jabatan itu, orang akan berkomentar “ah jabatan profesornya itu diragukan”.

Tidak ada komentar: