Selasa, 30 Juni 2015

PENDIDIKAN GURU MASA DEPAN



Sejak selesai menjabat rektor Unesa saya ingin sekali kembali ked dunia akademik, dunia yang sudah sekitar 8 tahun saya tinggalkan sejak menjadi PR-4 dan kemudian menjadi Direktur Ketenagaan dan terakhir menjadi Rektor Unesa.  Jika sebelumnya saya sering terlibat dalam penelitian dan kegiatan akademik lainnya, saat menjabat di birokrasi waktu untuk itu hampir tidak ada.  Paling banter hanya ikut seminar.  Buku yang dibelipun seringkali tidak sempat membaca secara tuntas.

Hari ini, tanggal 30 Juni 2015 keinginan itu mendapat pintu, dengan mengikuti seleksi proposal penelitian IDB di Unesa.  Saya lebih gembira karena reviewer-nya bukan dosen Unesa, tetapi satu orang dari UM dan satu orang dari Universitas Jember.  Jika reviewer-nya dari Unesa mungkin saling sungkan. Reviewer mungkin sungkan menguji saya, karena pernah menjadi rektor dan ikut mencarikan dana IDB.  Saya juga sungkan, masak mantan rektor kok ikut kompetisi proposal yang diuji oleh orang Unesa sendiri.

Saya juga sangat gembira ketika gagasan yang ajukan mendapat respons positif, walaupun belum tentu diterima.  Saya mengajukan proposal penelitian tentang Pengembangan Model Pendidikan Guru di Era Digital.  Saya jelaskan bahwa saya pernah memberi kuliah dan ada mahasiswa yang sibuk membaca lap top.  Ketika saya tanya apa yang sedang dibaca, mahasiswa tersebut menjawab sedang membaca topik yang saya jelaskan, tetapi dari sumber lain. Dia menjelaskan ada teori lain yang berbeda dengan apa yang saya jelaskan.

Saya sangat senang dengan repons mahasiswa tersebut dan kemudian saya minta dia menjelaskan apa yang dia baca. Sungguh mengagetkan, ternyata sudah membaca dua sumber ketika saya menjelaskan dalam kelas itu. Saya membayangkan kalau semua mahasiswa seperti dia, maka dosen tidak perlu menerangkan.  Saya menduga era digital yang kini melanda generasi muda akan membuat mahasiswa yang berperilaku seperti mahasiswa tadi semakin banyak. 

Nah kalau sudah banyak yang seperti itu tentu pola perkuliahan seperti sekarang ini tidak lagi cocok.  Jika ada dosen yang masih bertahan, dapat saja mahasiswa nggerundel dengan berguman, lha kalau itu sih saya bisa baca sendiri.  Atau malah berguman, lha itu sih teori kuno, nih yang lebih baru dapat dibaca di web ini.  Dan sebagainya.

Sekarang juga sudah berkembang MOOC (masive open online courses), dimana bahan kuliah dapat diakses secara bebas di internet.  Siapa saja dapat membaca bahan kuliah perguruan tinggi besar, seperti Harvard, MIT dan sebagainya.  Nah, kalau bahan kuliah dapat diperoleh dengan mudah, apa dosen masih menerangkan secara detail?  Apa tidak bisa, langsung memulai dengan problem based, yaitu memberikan masalah yang harus dipecahkan secara bersama?

Saya menduga pengalaman saya ketika memberi kuliah tadi juga dialami oleh teman-teman guru.  Bukankah anak-anak sekarang, mulai dari siswa SD sudah terbiasa dengan gatget.  Bukankah mereka justru lebih pandai dari kita, karena konon mereka itu native sementara kita ini imigran dalam dunia gatget. Jadi yang memerlukan perbuahan pola tidak perkuliahan, tetapi juga pembelajaran di sekolah

Jika demikian, berarti kompetensi guru atau dosen juga harus dipikirkan kembali.  Jika guru dan dosen harus mampu melaksanakan kuliah dengan model problem based, tentu memerlukan bekal yang berbeda dengan mereka yang memberi kuliah seperti yang sekarang ini berjalan.  Jika problem yang ingin dipecahkan adalah sesuatu yang kontekstual dengan lingkungan dan lintas disiplin, maka bekal dosen tentu juga harus seperti itu.

Lebih lanjut fokus pada guru, jika kita memerlukan perubahan kompetensi guru agar mampu mengasuh pembelajaran di era digital ini, tentu pola pendidikan guru juga harus berubah.  Itulah yang saya ajukan untuk diteliti dan dikembangkan.  Seperti apa modelnya?  Saya sendiri belum tahu, karena masih akan diteliti .

Tidak ada komentar: