Jumat, 12 Juni 2015

MENDIKBUD: 80% SMPN LAKUKAN KECUNGAN UN



Judul di atas adalah running text di Metro TV tanggal 11 Juni 2015 sekitar pukul 18.30.  Jika itu benar, menurut saya merupakan lampu kuning pada pendidikan atau bahkan perilaku kita.  Bayangkan 80%, artinya jika ada sepuluh sekolah, delapan diantaranya curang.  Jika ada sepuluh anak kelas IX SMPN yang ikut UN maka delapan diantaranya curang.  Dengan Asumsi perilaku itu juga terjadi di SMP Swasta, dan jika tahun ini ada 4 juta anak kelas IX SMP yang ujian, maka 3,2 juta diantaranya curang.

Kita baru saja disuguhi kehebohan ijasah palsu dan ijasah aspal (asli tapi palsu) yang konon melibatkan banyak tokoh, pejabat dan pengusaha.  Sekarang disusul berita yang menurut saya tidak kalah buram.  Jika ijasah palsu merupakan indikator kalau banyak tokoh, pejabat dan pengusaha yang tidak dapat dipercara, kecurangan UN yang masif di SMPN dapat merupakan indikator sangat banyak generasi penerus tidak dapat dipercaya. Bukankah itu lampu kuning bagi perkembangan bangsa ini.

Mencari siapa yang salah sehingga itu terjadi bukankah sesuatu yang penting.  Jika itu disebut “penyakit”, yang penting adalah mengapa gejala itu muncul dan bagaimana menyebuhkannya. Namun sebelum itu kita perlu mendapatkan informasi apakah kecurangan semacam itu hanya terjadi pada UN atau juga terjadi pada ulangan dan pengisian raport siswa.  Pembaca yang kebetulan berprofesi sebagai guru perlu bertanya kepada diri sendiri, seandainya melaksanakan ulangan dan tidak ditunggui, berapa persen kira-kira siswa yang menyontek.  Pembaca yang kebetulan berprofesi sebagai kepala sekolah perlu bertanya kepada diri sendiri, apakah nilai yang diisikan dala rapor itu mengambarkan nilai sebenarnya.  Apakah nilai rapor siswa kelas 3 SMA/SMK yang dimasukkan ketika pendaftara SNMPTN itu nilai sebenarnya.

Saya takut jawaban terhadap ketiga pertanyaan itu tidak jauh berbeda dengan statemen yang disampaikan oleh Mendikbud.  Saya pernah bertanya kepada mahasiswa saya di Pascasarjana Unesa yang kebetulan guru, jika mengadakan ulangan dan tidak dijaga berapa persen yang nyontek.  Jawabnya sungguh mengejukan, katanya hampir semua menyontek.  Bahkan seorang mahasiswa yang kebetulan seorang suster mengatakan banyak sekolah yang ketika melaksanakan UN, siswa diajari oleh guru.  Jadi kecurangan bukan hanya di UN tetapi juga di ulangan, kecurangan bukan saja oleh murid tetapi malah dipandu oleh guru.

Bagaimana dengan rapor?  Apakah itu gambarasan yang sesungguhnya dari prestasi murid?  Pengalaman memerikan rapor yang dikirimkan sekolah saat siswa SMA/SMK mendaftar SNMPTN sungguh membuat geli.  Nilai 90an adalah nilai paling favorit.  Memang sangat sedikit yang memberikan nilai100, tetapih hampir tidak ada yang memberikan nilai di bawah 75.  Mungkin itu didasari batas ketuntasan hasil belajar adalah 75, sehingga logikanya anak yang sementer 2 kelas IX tentunya mendapatkan nilai di atas 75.

Masuk akal juga.  Namun jika dibandingkan dengan nilai UN kakak kelasnya yang lulusan tahun lalu, sungguh sangat lucu.  Sekolah yang nilai UN-nya rendah justru cenderung tinggi nilai rapornya.  Seorang teman berkelakar, seandainya boleh memberikan nilai di atas 100 mungki banyak yang memberi nilai muridnya 120, dengan maksud agar berapapun nilai UN yang diperoleh hasil gabungannya tetap di atas batas lulus.   Jadi tidak hanya murid dan guru yang curang, tetapi kepala sekolah juga curang.

Jika sudah masif dan sistemik semacam itu, apa yang harus dilakukan agar kecurangan itu dapat digeser oleh kejujuran?  Saya sendiri tidak tahu jawabnya yang pas.  Mungkin teman-teman dari psikologi atau sosiologi lebih tahu jawabannya. Yang saya bayangkan dilakukam dari tiga arah.  Pertama, kebijakan yang dapat memandu bagaimana seharusnya melaksanakan pendidikan yang jujur dan dilakukan secara konsisten.  Kebijakan itu yang dapat membuat orang berlaku jujur dan mudah diketahui jika tidak jujur.  Misalnya, setiap ulangan atau ujian, soal maupun hasil pekerjaan harus disimpam sebagai dokumen yang dapat diverifikasi oleh pihak yang berwenang.  Misalnya setiap guru wajib memiliki buku catatan (teacher note), buku tulis biasa yang digunakan untuk mencatat kegiatan sehari-hari.  Buku itu harus diisi setiap hari walaupun hanya catatan pendek, tentang hal-hal penting dalam bekerja.  Dengan begitu dapat digunakan untuk validasi silang dg hasil ulangan dsb.  Jika pola itu dilakukan oleh guru dan juga kepala sekolah, semua akan terdorong berlaku jujur karena semua terekam.

Kebijakan kedua adalah aturan yang jelas atau bahkan statement dari pejabat yang berwenang kalau kejujuran itu penting dalam pendidikan.  Saya bangga dengan Walikota Surabaya yang di depan publik menyatakan, lebih bangga murid-murid jujur walaupun nilai UN-nya tidak bagus, daripada Unnya tinggi tetapi tidak jujur.  Pernyataan yang disampaikan di depan rapat kepala sekolah se Surabaya ternyata membuat kepala sekolah tidak tertekan dan tidak berbuat aneh-aneh agar siswanya lulus.  Jika kebijakan seperti itu dapat dilakukan secara konsisten, rasanya akan membuat sekolah yang me mark up nilai.

Kedua, keteladan dari tokoh dan pimpinan.  Jujur saya ngeri dengan kasus ijasah palsu yang melibatkan banyak tokoh.  Saya juga risi mendengar rasan-rasan adanya tokoh yang menerima Dr (HC) yang ternyata membayar.  Saya juga sedih ketika mendengar selentingan tokoh yang mengambil kuliah S2/S3 tetapi tugas-tugas dan bahkan tesis/disertasinya dibuatkan orang lain.  Saya juga sagat galau ketika mendengar tokoh mendapatkan jabatan profesor pada hal syaratnya sebagai dosen dengan angka kredit tertentu tidak terpenuhi.  Mari kita semua, yang merasa sebagai pemimpin sekecil apapun levelnya memberi contoh kepada sekitar.  Saya kawatir kebijakan menjadi mancan ompong ketika para tokoh sendiri yang melanggarnya.

Ketiga, penegakan aturan yang konsisten.  Seringkali pelanggaran besar itu berasal dari pelanggaran kecil yang dibiarkan sehingga menjadi sebuah kebenaran.  Jika pelanggaran atau sebutlah penyimpangan kecil itu segera ditertibkan, rasanya tidak akan menjadi besar.  Kata orang bijak, katakanlah atau lakukanlah berulang-ulang dan kalau itu tidak ada yang menyalahkan, lama-lama akan menjadi kebenaran.

Semoga lampu kuning pendidikan kita segera menjadi hijau.

1 komentar:

Rikard mengatakan...

Ulasan yang sempurna Prof.
Saya juga melihat bahwa kecurangan masif yang terjadi pada penyelenggaraan UN SMP tahun ini adalah memudarnya sosok panutan dalam keluarga. Ketika orang tua kurang memberikan perhatian (ajaran moral, agama,kejujuran, dll) dalam keluarga maka anak-anak (apalagi pada jenjang SMP yang nota bene masih sangat labil dalam segala hal)tidadk mampu memberikan perlawanan terahdap kejahatan "nyontek". Sekiranya mereka memiliki integritas yang dibangun dalam keluarga dan bersama keluarga, maka saya yakin mereka tidak mudah untuk ikut dalam kecurangan masif tersebut, sekalipun sistemnya (yang sudah di"baku"kan oleh segelintir orang dalam dunia pendidikan) tetap memberi peluang untuk itu. Dengan demikian, menurut saya yang tidak kalah penting adalah membangun karakter, kepribadian dan integritas anak sedini mungkin dengan mengoptimalkan peran keluarga sebagai ruang belajar pertama anak-anak.