Kamis, 02 November 2017

ABDURRAHMAN GINTING




















    Saya sudah cukup lama mengenal teman ini. Namanya Abdurrahman Ginting. Saya tidak ingat kapan pertama kali bertemu, tetapi kira-kira semenjak terlibat di kegitan SMK.  Seingat saya ketika pertama bertemu beliau sudah sebagai pejabat di P4TK dan menurut informasi sebelumnya di Dit Pembinaan SMK (saat itu bernama Dit Dikmenjur).  Sekarang sudah beralih menjadi dosen di suatu PTS di Bandung dan sudah menjadi profesor.

Walaupun sudah lama di Jawa, ciri khas sebagai orang Tapanuli masih kental.  Sebenarnya logat Bataknya sudah tidak terlalu kental, tetapi kerasnya dalam berbicara masih sangat terasa.  Orangnya periang dan banyak sekali punya jokes yang membuat pertemuan dengan beliau menjadi segar.  Yang menarik, walaupun orang Batak Pak Abdor-begitu beliau biasa dipanggil-sering membuat jokes tentang orang Batak.  Ada-ada saja jokesnya.

Akhir-akhir ini saya sering bekerja bareng beliau, khususnya ketika ada kegiatan yang terkait dengan guru SMK.  Nah beberapa hari lalu, saya dan Pak Abdor terlibat dalam mereview Standar Kompetensi Guru (SKG) SMK yang baru, untuk menggantikan SKG tahun 2007. SKG ini sudah lama ditunggu dan bahkan sebenarnya sudah terlambat, karena kedahuluan terbitnya Standar Pendidikan Guru (SPG).  Pada hal logikanya, SKG lahir dulu baru disusul dengan SPG.  Bukankah SPG merupakan panduan bagaimana mendidik calon guru agar kompetensinya seperti yang diminta oleh SKG.  Lha, kalau SKG belum ada lantas apa landasan menyusun SPG?  Tetapi, ya sudahlah.  Konon penyusunan SPG memang berjalan lebih dahulu dibanding penyusunan SKG.  Kok bisa begitu?  Konon karena penyusunan SPG itu “wilayah Badan Sandar Nasional Pendidikan (BSNP) bersama Kemenristek Dikti”, sedangkan penyusunan SKG itu “wilayah BSNP bersama Kemendikbud”.  Kemenristek Dikti segera memerlukan SPG untuk landasan melaksanakan PPG, sehingga tidak dapat menunggu SKG.

Ketika mereview draft SKG untuk SMK, kami terlibat dalam diskusi yang lucu dan menarik. Sebagaimana diketahui salah satu hal baru dalam SKG (masih draft) adalah adanya penjenjangan untuk membedakan kompetensi guru pertama, guru muda, guru madya dan guru utama.  Kira-kira sama dengan dosen yang memiliki jenjang asisten ahli, lektor, lektor kepala dan guru besar. Nah ketika mendiskusikan beda kompetensi setiap jenjang itulah tejadi kelucuan tetapi sebenarnya serius.

Pada draft yang ada pada intinya ke-empat jenjang jabatan buru dibedakan sebagai berikut. Guru pertama “mampu melaksanakan sesuatu”, guru muda “mampu mengevaluasi pelaksanaan yang dilakukan oleh guru pertama”, guru madya mampu “mengembangkan instrumen evaluasi yang dilakukan oleh guru muda”, guru utama “mampu membimbing pengembangan instrumen yang dilakukan oleh guru madya”.  Seingat saya, kerangka pikir itu merupakan kesepakatan pada beberapa kali rapat terdahulu.

Ketika pertemuan beberapa hali lalu, saya mempertanyakan “kalau rumusan seperti itu berarti kompetensi bidang keahlian guru tentang materi ajar (dalam UU Guru dan Dosen disebut kompetensi profesional) tidak meningkat lagi sejak menjadi guru muda”.  Memang orang yang mampu mengevaluasi pekerjaan orang lain, tentu memiliki kemampuan lebih tinggi dibanding yang dievaluasi.  Jadi kompetensi profesional guru muda lebih tinggi dibanding guru pertama.  Jadi rumusan pada draft itu sudah cocok. Namun rumusan kemampuan guru madya tidak secara jelas harus lebih tinggi dibanding guru muda.  Mengapa?  Karena kemampuan menyusun instrumen evaluasi itu tidak secara jelas menggambarkan kemampuan tentang bidang keahlian yang dievaluasi.  Yang jelas lebih tinggi adalah kemampuan tentang “teori/konsep” pengukuran atau pengembangan instrumen. Ahli menyusun instrumen kinerja membubut tidak otomatis memiliki kemampuan membubut yang lebih tinggi dari mereka yang tugasnya menggunakan instrumen itu.  Yang pasti yang bersangkutan memiliki keahlian measurement yang lebih tinggi, tetapi tidak otomatis memiliki keahlian membubut lebih tinggi.

Mendengar pertanyaan itu, dengan gaya dan suara khasnya Pak Abdor menjelaskan bahwa “sudah menjadi kesepakatan bahwa kemampuan bidang studi (dalam bahasa UU Guru disebut kompetensi profesional) guru pertama, guru muda, guru madya dan guru utama itu sama.  Yang berbeda adalah kemampuan sebagai guru (mungkin yang dimaksudkan kompetensi pedagogik dalam UU Guru).  Ketika saya kejar, “apakah logika itu betul?”. “Bukankah seharusnya yang meningkat tidak hanya kompetesi pedagogik tetapi juga kompetensi profesional?”.

Terhadapat pertanyaan itu, reaksi Pak Abdor sangat lucu.  Sambil berdiri dan tertawa lebar beliau mengatakan “lho itu kan yang saya tanyakan saat pertemuan dahulu”. Tetapi kan saya dijawab: “Bang sudah sejak pagi kita sudah membahas itu dan sudah sepakat bahwa sejak pertama diangkat kemampuan bidang studnya tetap sampai pensiun. Yang bertambah adalah kompetensi sebagai guru”.  Saya kejar lagi: “Jadi kalau menggunakan terminologi UU Guru dan Dosen yang meningkat kompetensi pedagogik saja, sedangkan kompetensi profesional tidak?”.  “Hahaha dahulu pas saya dibabat oleh Pak XXXX, tidak ada teman yang membela”.

Perdebatan terus berlansung dengan riang dan penuh tawa.  Akhirnya kami, Pak Abdor, saya, Pak Sajidan, Pak Dedi dan teman lain sepakat bahwa sebenarnya kompetensi profesional juga harus meningkat seiring dengan peningkatan jenjang guru.  Pak Abdor dengan gaya kocaknya memberi contoh, ibarat tukang las pada guru pertama hanya dapat mengelas begini (dengan tangan ke depan) tetapi ketika menjadi guru muda, guru madya, guru utama, yang bersangkutan dapat mengelas dengan begini-begini (Pak Abdor memeragakan mengelas dengan tangannya dibawah kami, di belakang badan dan sebagainya).  “Ya kita sudah sepakat, namun harus mencari istilah yang dapat menampung keinginan kita”.
 

Tidak ada komentar: