Selasa, 14 November 2017

MIMPI SEMALAM



Beberapa minggu lalu saya terlibat dalam diskusi kecil yang tentang syarat untuk jabatan tertentu. Ceritanya di suatu instansi pemerintah ada jabatan kosong dan menurut Undang-undang ASN pengisian jabatan level itu harus dilakukan melalui “lelang terbuka”.  Artinya harus dilakukan pendafataran secara terbuka untuk mengisi jabatan tersebut.  Untuk itu diperlukan persyaratan apa saja bagi orang yang akan mendaftar.

Ternyata diskusinya sangat menarik, karena peserta diskusi berasal dari latar belakang yang berbeda-beda.  Seorang teman yang berasal dari TNI menyarankan persayaratan yang rinci dengan diembel-embeli contoh di TNI.  Katanya di TNI sudah ada persyaratan baku untuk menduduki jabatan tertentu.  Persyaratan itu diketahui semua anggota TNI, sehingga dapat mempersiapkan diri jika ingin menggapai jabatan itu. Beliau memberi contoh, untuk menjabat “X”, seseorang harus memiliki pangkat minimal “A”, pendidikan/pelatihan minimal “B” dan seterusnya.

Teman lain yang pernah menjabat di lingkungan pemerintahan menyarankan, pelamar harus pernah memangku jabatan satu level dibawah jabatan yang ditawarkan, minimal 2 tahun.  Pelamar juga harus pernah mengelola bidang yang sama dengan yang dilamar minimal 5 tahun.  Pelamar harus berpendidikan minimal S2, sudah mengikuti kursus kepemimpinan “Y” dan usia maksimal  “Z” tahun.  Teman tersebut juga memberikan contoh, kalau di lingkungan beliau bekerja untuk menjabat eselon tertentu apa pelatihan yang sesuai.  Pada umumnya, mereka yang potensial untuk dipromosikan akan diikutkan pelatihan tersebut, sehingga pada saatnya siap dipromosilkan ke jenjang yang lebih tinggi.

Teman berikutnya berlatarbelakang swasta mengajukan gagasan yang berbeda.  Beliau mengatakan yang penting itu visinya.  Menurut beliau, untuk jabatan selevel itu keterampilan teknis tidak penting. Yang lebih penting adalah visi ke depan, kemampuan manajerial dan kemampuan membuat terobosan.  Teman dari swasta itu kemudian memberi beberapa contoh, seorang direktur utama perusahaan bidang “X” kemudian pindah menjadi direktur utama perusahaan bidang “Y” yang berbeda, dan ternyata sukses.  Kemampuan teknis dapat diserahkan kepada eselon di bawahnya.

Diskusi semakin seru karena masing-masing teman mengajukan argumentasi, disertai dengan contoh-contoh di tempat mereka bekerja.  Bahkan teman yang berlatarbelakang TNI menggambarkan bagaimana kaderisasi di TNI.  Beliau menjelaskan sejak perwira pertama, TNI itu sudah dipetakan: siapa, memiliki potensi apa, cocoknya menangani apa, kira-kira mencapai jenjang apa, dan untuk itu harus ikut pendidikan apa serta memiliki pengalaman lapangan apa saja.  Konon sejak TNI itu lulus Akademi dan mulai berkarir pada level perwira pertama (letda-kapten) sudah dapat diprediksi karier puncaknya, sehingga dukungan dapat diberikan sejak awal.

Mendengarkan diskusi yang seru itu, saya jadi ingat pengalaman pribadi meniti karier sebagai dosen yang kebetulan pernah menjabat sebagai birokrat.  Jabatan struktural di perguruan tinggi itu seperti mimpi semalam.  Mengapa? Karena di perguruan tinggi tidak dikenal pelatihan jabatan struktural bagi dosen.  Syarat untuk jabatan struktural biasanya berupa tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan jabatan akademik.  Pada hal ketiganya tidak terkait langsung dengan pengalaman manajerial.  Seorang menjadi lektor, lektor kepala atau profesor didasarkan atas karya tridarma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat) dan bukan karena pengalaman menjabat struktural.  Dapat terjadi seorang menjadi profesional, tanpa pernah menjabat struktural.

Ketika ada pemilihan ketua jurusan, dekan, rektor dapat saja terjadi seseorang terpilih menjadi dekan atau bahkan rektor walaupun sebelumnya tidak pernah menjabat jabatan struktural.  Yang bersangkutan juga belum pernah mengikuti pelatihan manajemen dan atau kepemimpinan.  Jadi karena mendapat suara terbanyak dalam pemilihan, jadilah seseorang menjadi ketua jurusan, dekan atau bahkan rektor.  Jadi seperti mimpi saja.

Apakah artinya penyiapan karier tidak terjadi di perguruan tinggi?  Ada dan bahkan sangat baik, namun untuk karier sebagai akademisi yang jenjangnya mulai dari asissten ahli, ke lektor, ke lektor kepala dan ke profesor.  Nah pelatihan yang dilakukan juga terkait dengan ketiga kegiatan tersebut.  Bukan dan bahkan jauh dari hal-hal yang terkait dengan manajerial dan kepemimpinan.  Lantas bagaimana mereka belajar mengelola jurusan, fakultas dan universitas?  Umumnya mereka belajar dari pengalaman semata atau sebagian melalui organisasi lain.

Nah karena kemampuan pejabat struktural juga berpengaruh besar terhadap kemajuan perguruan tinggi, sudah saatnya dipikirkan bagaimana menyiapkan pejabat tersebut.  Mungkin perlu pelatihan manajemen dan kepemimpinan bagi dosen yang berminat dan atau berpotensi untuk menjabat struktural.  Mungkin juga perlu penjenjangan misalnya untuk menjadi dekan perlu pengalaman sebagai ketua jurusa atau sejenisnya.  Untuk menjadi rektor perlu pengalaman menjadi dekan atau sejenisnya.

Tidak ada komentar: