Selasa, 07 November 2017

UANG PANGKAL TK 33 JUTA



Beberapa hari lalu anak bungsu saya menilpun dan bercerita kalau Freya-anaknya- telah lulus tes psikologi di sebuah TK.  Freya diterima masuk Play Group (PG) mulai bulan Juli 2018, karena sekarang baru berusia 2 tahun 7 bulan.  Sekolah sangat bagus dengan sarana yang lengkap, dengan bahasa pengantar bahasa Inggris, ada pelajaran serta bimbingan ngaji.  Saya juga dikirimi rekaman bagaimana saat Freya menjalani tes psikologi dengan menonton beberapa kegiatan siswa di sana.  Kesan saya sekolahnya bagus. Freya tampak senang sekali bermain di sekolah itu.

Anaknya bertanya apakah worthed bersekolah disitu, karena biayanya mahal sekali.  Untuk masuk PG sampai dengan selesai TK, siswa dikenakan uang pangkal 33 juta, uang sekolah per tahun 2,5 juta dan uang sekolah per bulan 1,6 juta.  Karena sudah lulus tes psikologi, orangtua Freya diharapkan segera melunasi biaya tersebut. Itulah yang membuat anak saya bingung. Sekolahnya memang bagus, tetapi biayanya kok mahal sekali.

Walaupun sudah tahu kalau biaya sekolah mahal, mendengar berita tersebut saya kaget juga.  Begitu mahalkah biaya sekolah sekarang ini?  Lantas siapa yang dapat memasukkan ke sekolah semacam itu?  Ternyata menurut anak saya yang mendaftarkan sangat banyak.  Apakah ada sekolah yang lebih mahal?  Ternyata ada.  Sekolah lain ada yang uang pangkalnya 60 juta.  Apa ada yang masuk ke sekolah mahal seperti itu?  Ternyata banyak.

Sebenarnya informasi seperti itu bukankah baru.  Pada akhir tahun 1980 tulisan saya tentang itu menjadi perdebatan.  Beberapa teman menuduh saya mendorong orang untuk membisniskan pendidikan. Untung ada yang membela, dengan menyebutkan pada saatnya pendidikan memang akan menjadi noble business.  Artinya pendidikan dikelola secara bisnis tetapi dengan tujuan mulia.  Pendirian sekolah bukan semata-mata mencari keuntungan seperti bisnis pada umumnya, tetapi untuk menyiapkan anak didik menghadapi masa depan. Dan tentu saja, sebagai entitas bisnis sekolah semacam itu harus ada “keuntungan” untuk mengembangkan diri.

Sejak tahun 2000 awal saya mengamati banyak SD Negeri yang kekurangan murid.  Mungkin karena KB yang sukses, sehingga populasi anak usia SD menurut.  Namun, muncul gejala lain, yaitu munculnya SD swasta dengan berbagai label, berbiaya mahal tetapi dibanjiri pendaftar. Tampaknya orangtua sekarang ingin betul mendapatkan pendidikan yang terbaik bagi anaknya.  Oleh karena itu walaupun ada SD yang gratis, tetapi memiliki SD yang mahal karena diyakini memiliki kualitas yang baik.  Gejala seperti itu tampaknya telah sampau jenjang SMA.  Kita dapat mengamati banyak SMA swasta yang mahal tetapi diminati orangtua, sementara SMA negeri banyak yang peminatnya sedikit.

Merenungkan fenomena itu dalam hati saya gembira tetapi juga khawatir.  Gembira karena semakin banyak orang yang menyadari bahwa pendidikan merupakan inverstasi penting bagi anak-anak kita, bagi generasi mendatang.  Oleh karena itu semakin banyak orangtua yang rela mengeluarkan biaya mahal untuk menyekolahnya anaknya.  Bahkan jika di daerahnya tidak ada sekolah yang dianggap baik, banyak orangtua mengirim anaknya untuk bersekolah di kota atau daerah lain.

Fenomena seperti itu kemudian ditangkap oleh orang untuk mendirikan sekolah yang salah satunya seperti TK tempat cucunya saya-Freya-didaftarkan.   Semoga saja, pendirian sekolah seperti itu, betul-betul sebagai bentuk noble business seperti dijelaskan teman pada tahun 1980an.  Bukan merupakan bisnis biasa yang mengejar keuntungan.  Semoga saja , pendirian sekolah-sekolah seperti itu merupakan bagian dari peran serta masyarakat untuk ikut mencerdaskan bangsa, menyiapkan generasi muda Indonesia.

Namun juga ada yang merisaukan.  Kalau karena biaya mahal maka tentu hanya mereka yang kaya yang mampu masuk ke sekolah seperti itu.  Lantas bagaimana bagi anak-anak keluarga yang kurang mampu?   Jangan sampai, anak-anak keluarga kaya mendapatkan pendidikan baik sehingga pandai, diberi modal cukup, sehingga pada akhirnya memiliki pekerjaan bagus dan menjadi kaya seperti orangtuanya.  Sementara itu anak-anak keluarga kurang mampu, bersekolah di sekolah yang kurang baik, akhirnya kurang pandai dan tidak memiliki modal yang cukup, akhirnya hidup miskin seperti orangtuanya.

Lantas?  Menurut saya, disitulah peran pemerintah untuk mengurangi atau mempersempit gap/kesenjangan tersebut.  Pemerintah seharusnya membantu orangtua kurang mampu agar anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang baik.  Misalnya mengupayakan agar sekolah negeri yang gratis itu bermutu baik, sehingga dapat dinikmati oleh anak-anak keluarga kurang mampu.  BOS dan biaya lainnya diarahkan untuk membantu sekolah tempat anak-anak keluarga kurang mampu.  Sementara biarkan keluarga kaya dan sekolah tempat anak-anak mereka bersekolah “membiayai” dirinya sendiri.

Apakah jika itu dilaksanakan, pemerintah tidak dianggap tidak adil?  Menurut saya, adil itu tidak berarti sama rata, semua orang menerima hal yang sama.  Adil adalah semua orang menerima hak dan kuwajiban sesuai dengan kemampuannya.  Seperti halnya di keluarga, anak yang masik bayi disuapi, dimandikan, sementera kakaknya yang sudah agar besar makan dan mandi sendiri.  Semoga.

Tidak ada komentar: