Kamis, 09 November 2017

KOORDINASI DAN GRAND DESIGN



Pas lagi ngobrol sebelum acara dimulai, beberapa teman mendikusikan informasi bahwa Presiden Jokowi akan menerbitkan Inpres untuk mencegah para menteri berbeda pendapat dihadapan publik.  Dan memang saya juga pernah membaca itu di koran, baik yang tercetak maun yang digital.  Biasanya saya membaca dan lewat begitu saja, karena memang sering tidak faham substansinya. 

Nah, ketika mendengarkan obrolan teman-teman itu saya jadi tertarik untuk bisa sedikit memahami.  Apalagi ada seorang teman yang membandingkan dengan jaman Pak Harto.  Katanya jaman Pak Harto perbedaan pendapat antar menteri tidak pernah terjadi.  Katanya, hanya ada dua menteri yang biasanya menjadi juru bicara tentang kebijakan pemerintah yaitu Pak Harmoko sebagai menteri penerangan dan Pak Murdiono sebagai menteri sekretaris negara. Teman yang lain mengatakan kepemimpinan Pak Harto sangat efektif.  Dengan mengutip teori tertentu, teman itu menjelaskan walaupun Pak Harto bukan ahli ekonomi, tetapi dengan kepemiminan yang efektif, beliau mampu mengelola (mungkin juga mengendalikan) banyak ekonom dalam satu pandangan dan langkah.

Apakah perbedaan pandangan dan ungkapan ke publik seperti itu hanya terjadi di kabinet?  Menurut saya tidak.  Itu juga terjadi di beberapa organisasi. Bahkan di beberapa lembaga lebih serius, misalnya antar unit tidak saling koordinasi sehingga programnya “tabrakan” atau saling tumpang tindih.  Kadang-kadang satu dengan yang lain seakan berlomba mendahului.  Hanya saja mungkin lembaganya kecil, sehingga tidak terungkap ke publik.

Apakah benar kata teman tadi bahwa fenomena seperti itu akibat kepemimpinan yang kurang efektif?  Mungkin saja.  Namun menurut saya ada satu sebab lain yang tidak kalah penting, yaitu tidak ada grand design (apapun namannya, misalnya program induk) pengembangan organisasi itu yang memandu setiap unit menyusun program jabarannya.  Akibatnya setiap unit menyusun program masing-masing, strategi implementasi masing-masing, sehingga terjadi ovelaping bahkan tabrakan.  Dalam skala besar, mungkin usulan beberapa pakar sebaiknya negara memiliki GBHN atau bahkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), patut dipertimbangkan.  Tidak usah malu kalau kita meniru jaman Pak Harto yang memiliki GBHN dan Rencana Pembanguan Jangka Panjang 25 Tahun.

Namun kalau organisasi memiliki GBHN atau RPJP, diperlukan keikhlasan setiap pemimpin mengikutinya.  Harus dihindari pemimpin yang baru melupakan GBHN atau RPJP yang disusun pada masa kepemimpinan sebelumnya, yang mungkin beda visi.  Harus dipastikan setiap unit dalam organisasi menggunakan BGHN atau RPJP itu sebagau acuan dalam menyusun programnya.  Dengan begitu fungsi pemimpin puncak adalah mengharmoniskan program dari setiap unit kerja, baik dalam penyusunan maupun implementasinya.  Ibarat orchestra, fungsi pemimpin puncak adalah sebagai conductor.  Ibarat pembagunan gedung besar, fungsi pemimpin puncak adalah sebagai contruction manager.

Apakah GHBN dan RPJP tidak dapat diubah atau disempurnakan agar sesuai dengan tuntutan zaman?  Tentu saja boleh dan bahkan secara periodik perlu dilihat dan ditinjau untuk disesuaikan dengan tuntutan zaman yang sangat cepat berubah. Namun, perubahan itu harus tetap dalam wujud kesinambungan dengan yang lama dan bukan menghilangkan atau melupakan yang lama dan menggantikan dengan yang baru sama sekali.

Ibarat membangun sebuah gedung atau pabrik yang besar, desain induk atau masten plan harus ada dahulu.  Desain itulah yang kemudian dibuat desain detailnya yang mungkin nanti setiap bagian dilaksanakan oleh orang/kontraktor yang berbeda dibawah koordinasi contruction manager.  Jika kemudian ada perubahan desain detail suatu bagian, maka harus dilihat kompatibilitas dengan bagian lain.  Mengapa?  Sangat mungkin perubahan desain suatu bagian akan berakibat pada bagian lain.  Nah, harmoniasi antar bagian tetap harus dijaga dalam melakukan perubahan tersebut.

Apa hubungannya dengan fenomena yang disebutkan di awal?  Saya tidak punya kapasitas untuk memastikan.  Namun saya ingat perkataan seorang teman.  Pak Jokowi itu repot ya.  Dengan adanya menteri berasal dari berbagai partai, sehingga dapat terjadi menteri itu “punya dua pimpinan”, yaitu presiden dan partainya.  Mungkin juga pada suatu saat ada menteri lebih tunduk kepada kebijakan partainya dibanding dengan kebijakan presiden.  Apalagi Pak Jokowi bukan pimpinan partai.  Apakah itu yang menjadi sumbernya?  Saya tidak tahu.  Apakah karena sekarang tidakada GBHN sehingga masing-masing kementerian membuat programnya masing-masing?  Saya juga tidak tahu.  Silahkan para pakar yang relevan yang menjelaskan.

Tidak ada komentar: