Sabtu, 25 November 2017

BANJIR



Jum’at 24 Nopember 2017 terjadi banjir pada berbagai daerah di kota Surabaya.  Hujan lebat yang turun sejak pukul 10an sampai sore dibarengi dengan air laut yang sedang pasang, konon menjadi penyebab terjadinya banjir tersebut.  Akibat banjir, terjadi macet dimana-mana.  Rasio Suara Surabaya (SS) menyiarkan laporan dari banyak pendengar yang mengeluhkan tentang kemacetan.  Ada juga yang berkelakar dengan mengatakan “untung di mobil ada coton bath dan alat potong kuku, sehingga ketika macet sempat membersihkan telinga dan meotong kuku”.  Saya sendiri kejebak macet dari kampus yang biasanya hanya sekitar 20 menit, 90 menit baru sampai rumah.  Itupun harus “berjuang” menyopir di jalan dengan banjir separuh ban mobil.

Mengapa terjadi banjir seperti itu? Tampaknya perlu dikaji secara mendalam.  Saya membayangan jika jumlah mobil yang terjebak macet berjumlah 5.000 buah dan masing-masing terjebak macet selama 90 menit dan rata-rata dalam waktu 90 menit itu menghabiskan premium 5 liter dengan harga 7.000 rupiah/l, maka kemarin 5.000 x 5 x 7.000 = 175 juta rupiah hilang hanya dari premium saja.  Belum dari yang lain.  Jika semua kerugian akibat banjir sore kemarin, misalnya adanya barang rusak akibat kerendam air dan sebagainya, dugaan saya di atas 1 milyar rupiah.

Kita tidak boleh menyalahkan siapa-siapa dan tulisan ini juga bukan untuk mencari kambing hitam, tetapi untuk menjadikan banjir kemarin sebagai sebuah pelajaran berharga.  Saya ingjn mengambil contoh kecil di kampus Unesa Ketintang.  Ketika hujan terjadi sekitar 2 jam, kampus bagian selatan banjir.  Beberapa teman mengatakan, sangat mungkin petugas lupa mengosongkan busem sebelum hujan, sehingga busem tidak mampu menampung air hujan.  Mungkin juga petugas tidak tahu atau tidak membayangkan akan terjadi hujan lebat, sehingga tidak mengosongkan busem.

Atisipasi kita terhadap kejadian seperti itu, termasuk kepekaan kita terhadap kerugian yang diderita orang lain tampaknya belum baik.  Perbaikan jalan mungkin dapat menjadi contoh sederhana.  Seringkali kita menjumpai perbaikan jalan yang sebenarnya kecil nilainya tetapi menyebabkan macet panjang dan berhari-hari.  Sangat mungkin pemborosan akibat macet itu sebanding atau bahkan lebih besar sari nilai pekerjaan perbaikan jalan itu.  Namun karena yang macet orang lain dan kita belum terbiasa berhitung efisiensi kejadian seperti itu sekan menjadi hal sepele.

Kita juga belum terbiasa melakukan antisipasi terhadap cuaca.  Walaupun BMKG secara periodik menyiarkan prakiraan cuaca, tetapi tidak banyak yang memperhatikan.  Ketika kita mau bepergian kita juga belum terbiasa memperhitungan apa yang akan terjadi di jalan dan apa persiapan kita menghadapi itu.  Saya juga termasuk yang tidak melakukan antisipasi.  Saat akan sholat Jum’at saya kebingunan mencari payung.  Pada hal sudah tahu kalau ini musim hujan dan sudah tahu  ketika mau ke kampus juga sudah hujan gerimis.  Toh saya tidak membawa payung di dalam mobil.

Toleransi dan kepedulian kita terhadap kepentingan umum juga kurang tinggi.  Waktu terjebak banjir kita justru berebut dan saling mendahului, sehingga malah macet.  Di peremapatan jl Ketintang dekat rel kereta api menjadi contoh.  Semua ingin dahulu lewat, sehingga justru mobil dan motor saling “mengunci”.  Semua tidak dapat maju karena di depannya ada mobil yang juga tidak dapat maju.  Untung dan kita bersyukur ada dua orang anak muda “pahlawan” yang ditengah hujan dan banjir mau mengatur lalu lintas, sehingga akhirnya kemacetan setahap demi setahap terurai.

Memikirkan itu, saya jadi teringat cerita seorang teman yang lagi menempuh S3 di luar negeri dengan membawa serta dua orang anaknya yang masih usia SD.  Ketika menerima raport, dia kaget karena anaknya mendapat nilai bagus-bagus.   Dia memberanikan diri bertanya kepada gurunya: “Betulkah anaknya mendapatkan nilai sebagus itu?”. “Terus di kelasnya dia ranking berapa?”.  Gurunya yang kaget dan ganti bertanya: “Mengapa Anda menanyakan itu?”.  Akhirnya sang guru menjelaskan bahwa nilai yang diberikan itu menunjukkan prestasi bagi dirinya, prestasi atas upayanya sebagai anak pindahan dari Asia.  Tidak dapat dan tidak perlu dibandingkan dengan anak lainnya.  Di sekolah itu (setingkat SD) yang ditumbuhkan adalah kemampuan bersosialisasi, kemampuan mengajukan pendapat secara logis, kepedulian kepada orang lain dan kewajiban sebagai warga masyarakat.   Kompetisi tidak (atau belum saatnya?) diajarkan, karena yang dipentingkan kemampuan kerjasama dan kepedulian membantu orang lain.  “What can I do for you” adalah ungkapan yang ditumbuhkan di sekolah itu.

Nah, apakah fenomena rebutan ketika macet itu hasil pendidikan kita yang mengutamakan “kompetisi” tanpa diimbangi dengan kebersamaan ya?  Jika orang barat yang dikenal dengan sikap individualistik justru menumbuhkan semangat “what can I do for you”, lantas apa yang seharusnya kita tumbuhkan sebagai bangsa yang terkenal dengan semanat gotong royong?  Semoga para pendidik memikirkannya.

Tidak ada komentar: