Senin, 06 November 2017

COMMODITY BASED VOCATIONAL SCHOOL DEVELOPMENT



Misi utama sekolah kejuruan di Indonesia adalah menghasilkan tenaga kerja terampil tingkat menengah.  Tentu saja jenis tenaga kerja itu harus sesuai dengan kebutuhan DUDI, baik pekerjaan sektor formal, informal dan bahkan yang berwiraswasta.  Jadi ukuran keberhasilan pendirian sekolah kejuruan seharusnya diukur dari tingkat kebekerjaan lulusannya.  Tidak sekedar bekerja, tetapi apakah pekerjaan yang ditekuni itu terkait dengan bidang kejuruan yang dipelajari.  Keberhasilan pendirian SMK sebaiknya tidak dikaitkan dengan banyaknya peminat masuk, APK dan persentase lulusan yang melanjutkan ke perguruan tinggi.

Jika logika di atas digunakan maka pendirian SMK dapat dan bahkan seharusnya dikaitkan dengan potensi unggulan daerah dan arah pengembangan industrinya.  Seingat saya, Indonesia pernah menyusun MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia) yang dapat menjadi panduan pengembangan industri di wilayah Indonesia.  Dapat juga setiap kabupaten/kota/propinsi menyusun pengembangan industri di wilayahnya.  Nah, pendirian SMK sebaiknya dikaitkan itu, sehingga terjadi sinergi antara DUDI dan SMK.

Misalnya di daerah Papua Selatan akan diarahkan menjadi lumbung pangan untuk wilayah Indonesia Timur, tentu di daerah itu akan tumbuh industri yang terkait dengan pertanian, mungkin peternakan dan perikanan.  Jika benar di Maluku Utara akan dijadikan pusat perikanan, tentulah di daerah itu akan tumbuh industri yang terkait dengan perikanan. Nah, sebaiknya SMK bidang kejuruan itulah yang dikembangkan di Papua Selatan dan di Maluku Utara. Dengan demikian, di satu sisi SMK akan mudah mendapatkan partner DUDI untuk penyelarasan kurikulum dan juga pelaksanaan prakerin.  Di lain pihak, DUDI juga akan mudah mendapatkan tenaga kerja yang memiliki kompetensi yang sesuai dengan yang diharapkan.

Pemikiran tersebut dapat dikaitkan dengan amanat  UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pasal 50 ayat (5) yang menyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.  Amanat tersebut sangat cocok sebagai dasar pengembangan SMK.  Disebut Kabupaten/Kota, karena pada saat UU Sisdiknas terbit, semua sekolah (dari TK sampai dengan SMA/SMK) dibawah pengelolaan kabupaten/kota.  Ketika sekarang pengelolaanya dibawah propinsi, tentu saja amanat tersebut dapat dimaknasi bahwa pemerintah propinsi berkuwajiban mengembangkan SMK berbasis keunggulan lokal di setiap kabupaten/kota.

Bagaimana dengan kabupaten/kota dengan banyak keunggulan, seperti Surabaya, Sidoarjo, Gresik dan sebagainya?  Tentu dipersilahkan memilih satu, dua atau beberapa bidang kejuruan sesuai dengan potensi daerah, arah pengembangan industri serta kemampuan propinsi/kabupaten/kota serta masyarakatnya.  Dapat dilakukan pembagian, siapa yang mengembangkan apa, dengan melibatkan juga pihak DUDI dan masyarakat pada umumnya.

Apakah dengan demikian propinsi/kabupaten/kota/masyarakat tidak boleh mengembangkan bidang kejuruan lain di SMK?  Bukankah merupakan hak seseorang untuk belajar tertentu, misalnya anak Merauke tetapi ingin belajar multimedia yang merupakan unggulan daerah Yogyakarta.  Tentu saja boleh, namun yang diamanatkan oleh UU Sisdiknas tentunya menjadi prioritas.  Ibaratnya itulah yang hukumnya wajib, sedangkan yang sunah apalagi mudah sebaiknya dilakukan setelah yang wajib dilakukan.   Jika anak Yogyakarta tetapi ingin belajar perikanan dipersilahkan belajar ke daerah yang mengembangkan bidang kejuruan itu.

Pola pengembangan itu akan mengarah kepada Commodity Based Vocational School Development (CBVSD).  Artinya pengembangan SMK didasarkan pada komoditi yang dikembangkan di daerah setempat.  SMK tidak merupakan entitas yang terpisah, tetapi merupakan bagian dari pegembangan wilayah dan komoditas di wilayah tersebut.

Tidak ada komentar: