Selasa, 26 Maret 2013

ANAK PENJUAL GASING DI ISTANBUL


Ini pertama kali saya ke Turki.  Beberapa kali teman dari Pasiad (lembaga pendidikan Turki yang mengelola beberapa sekolah di Indonesia) menawari saya untuk berkunjung ke Turki.  Namun karena berbagai hal belum juga kesampaian.  Nah, ketika ditawari mampir ke Turki setelah melaksanakan ibadah umrah, saya mengiyakan.  Toh penerbangan dari Jedah ke Istanbul hanya sekitar  2 jam.

Menginjakkan kaki di Istanbul saya harus mengacungkan jempol.  Kotanya bersih, tamannya sangat bagus dan dipenuhi dengan berbagai macam bunga.  Bunga tulip yang sedang mekar tampak sangat indah. Konon setiap tahun, pemerintah kota Istanbul menanam bunga tulip tidak kurang dari 6,6 juta batang untuk mempercantik kota.  Transportasi macet mirip Jakarta dan Surabaya.  Hanya bedanya ada trem yang menolong masyarakat yang harus bepergian dengan tergesa-gesa dalam kota.

Menunjungi peninggalan kesultanan Otoman, Hagia Sophia, Masjid Biru, Masjid Ayub, Masjid Sulaimania membuat saya semakin terkagum.  Peninggalan sejarah itu terpelihara baik dan dijaga keasliannya.  Pengelolaan wisata religi dengan pengunjung ribuan orang juga dilakukan dengan baik.  Tampaknya pariwisara religi telah dikelola dengan bagus dan ditunjang dengan penyediaan sarana dan prasarana yang bagus pula.  Tidak mengherankan jika pengunjungnya ribuan orang dan sampai harus antre panjang untuk masuk.

Ketika berkunjung ke grand bazaar, semacam pertokoan tempat membeli oleh-oleh saya juga kagum.  Saya tidak menemukan penjual yang bukan orang Turki.  Pertokoan sederhana (tidak seperti mal di Indonesia) tetapi mirip dengan Pasar Turi.  Hanya berlantai satu dan konon didirikan abad ke 16. Bersih dan pengaturannya rapi. Yang dijual sangat beragam, tetapi sepertinya memang dikhususkan untuk oleh-oleh (sovernir) bagi wisatawan.

Kalau ada yang kurang pas menurut saya adalah pengaturan masuk masjid.  Di Istanbul masjid-masjid bersejarah berfungsi untuk tempat ibadah, sekaligus untuk tujuan wisata.  Masjid Biru, Masjid Ayub, Masjid Sulaimania berfungsi ganda semacam itu.  Kita dapat sholat di masjid tersebut, tetapi pengunjung non-muslim juga boleh masuk.  Nah, pintu masuknya menjadi satu dan antre, sehingga menjadi “kurang nyaman” bagi orang yang akan sholat.  Bagi yang belum terbiasa, seperti aneh.  Sementara ada orang sholat, tetapi disekitarnya banyak wisatawan yang melihat-lihat masjid.  Mungkin juga ada yang melihat orang sholat.

Di pelataran halaman atau sekitar tempat wisata tersebut banyak “penjual asongan”, yang menawarkan kaos, souvenir, jaket dan sebagainya.  Yang menarik perhatian saya adalah beberapa anak remaja kecil berumur sekitar 12-15 tahunan menawarkan gasing.  Dengan lincahnya beberapa anak itu mendemonstrasikan cara bermain gasing turki sambil menawarkan: “one lira-one lira”. Beberapa anak menurunkan tawarannya: “five lira for six.”  Cara menawarkan sangat agresif dan tampak sudah terlatih.  Demikian pula cara memainkan gasing.

Fenomena itu terjadi di beberapa tempat, sehingga membuat saya bertanya-tanya.  Apakah mereka sedang berjualan betulan.  Artinya mereka berkerja untuk mencari uang dengan berdagang gasing?  Melihat pakaian dan bersihnya anak-anak tersebut, saya menduga mereka dari keluarga cukup berada.  Karena berbeda dengan pedagang asongan dewasa yang sepertinya memang sedang mencari uang.  Bahasa Inggris anak-anak itu juga cukup fasih.  Sayang, saya tidak sempat bertanya kepada mereka karena mereka sibuk menawarkan dagangan dan saya juga tidak punya waktu banyak.

Melihat itu, saya tadi teringat adanya anak-anak remaja di orchard road Singapore yang juga menawarkan berbagai barang.  Saat itu saya mendapat penjelasan bahwa mereka itu siswa sekolah selevel SMP yang melaksanakan salah satu matapelajaran sekolah.  Mungkin mirip pelajaran kewirausahaan di Indonesia.  Konon, target utamanya adalah mampu menjual barang kepada orang yang tidak dikenal.  Oleh karena itu mereka “berjualan” di orchard road yang banyak turisnya.  Konsepnya mampu meyakinkan pihak lain tentang dagangan merupakan salah modal penting dalam berwirausaha.

Tampak sekali Singapore yang ingin menumbuhkan wiraswastawan dengan sungguh-sungguh, memulainya dari sekolah selevel SMP dengan target yang cukup berat itu.  Dan tampaknya hasilnya nyata.  Proporsi penduduk Singapore yang berwiraswasta cukup besar dan kita tahu bagaimana perusahaan-perusahaan di negara kecil itu mampu menancapkan kaki di Indonesia.

Mungkinkah hal yang mirip dilakukan di Turki?  Jadi anak-anak yang menawarkan gasing itu sebenarnya anak sekolah yang berpraktek berwirausaha?  Saya tidak tahu jawaban pastinya.  Namun mengamati keprofesionalan orang Turki dalam mengelola pariwisata dan bagusnya grand bazaar yang penjualkan hanya orang Turki, sangat mungkin dugaan tersebut benar.  Sudah saatnya kita memikirkan dan mau belajar ke negara lain, ketika ingin menumbuhkan wirausahawan di negara ini.  Bukankah kita ingin menumbuhkan semangat wirausaha kepada generasi muda.  Semoga.

Tidak ada komentar: