Kamis, 07 Maret 2013

INDEKS KEBAHAGIAAN


Suatu saat Gubernur Jawa Timur yang akrap dipanggil Pak De Karwo menjelaskan bahwa proporsi orang miskin di Jawa Timur turun dari 16,68% pada tahun 2009 menjadi 13,08% pada tahun 2012.   Namun beliau mengingatkan setelah mencapai angka sekitar 10% akan sangat sulit untuk menurunkan.  Mengapa?  Kata Pak De Karwo karena itu terkait dengan masalah budaya.  Lantas beliau memberi ilustrasi. 

Ada petani yang namanya Pak “X”.  Dia termasuk petani miskin yang ingin diberdayakan agar terbebas dari kemiskinan.  Petugas dari Pempop Jatim menjelaskan banyak hal yang dia harus lakukan agar tidak lagi miskin dan bisa hidup bahagia.  Pak “X” bertanya: “Apa sih yang disebut hidup bahagia?”.   Pertugas Pemprop menjawab: “Ya biar hidupnya senang, pagi-pagi dapat minum kopi sambil merokok dan tidak dikejar-kejar juragan untuk kerja di sawah”.   Mendengar jawaban itu, Pak “X” menjawab ringan: “Lha kalau itu, sekarang setiap pagi saya sudah minum kopi dan merokok”.  “Saya juga sering tidak mau disuruh kerja oleh juragan”………..

Mendengar uraian itu, saya teringat cerita Mas Widi Pratikto.  Beliau adalah guru besar ITS yang pernah menjadi Dirjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan juga pernah menjadi Sekjen Departemen Kelautan dan Perikanan.   Pada saat menjabat Dirjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil pernah bercerita tentang kegiatan lucu saat melakukan pemberdayaan nelayan di pantai utara Pulau Jawa,

Departemen Kelautan dan Perikanan menemukan bahwa kehidupan para nelayan di pantai utara Pulau Jawa pada umumnya miskin dan terjerat tengkulak.  Oleh karena itu dilakukan upaya pemberdayaan.  Dimulailah dengan survai tentang pola hidup mereka.  Hasilnya menunjukkan bahwa konsumsi rokok di masyarakat nelayan miskin sangat tinggi.  Sebagian besar penghasilannya untuk rokok.  Oleh karena itu dilakukan upaya untuk mencegah rokok, paling tidak mengurangi konsumsi rokok.

Nah, ceritanya terjadi dialog kurang lebih sebagai berikut: “Pak, panjenengan kan penghasilannya kecil”. “Mbok rokoknya dikurangi atau tidak perlu merokok, biar bisa untuk kebutuhan keluarga yang lain”. “Biar ditabung untuk membeli  jaring yang baru”.  Begitu kurang lebih nasihat petugas.   Sang nelayan menjawab: “Bu, saya tidak punya apa-apa”. “Jadi semua ini milik juragan”.  “Jadi penghasilan saya ya kecil sekali”. “Saya tidak bisa ini dan itu seperti orang kaya”.  “Saya hanya bisa menikmati rokok”.  “Kalau merokok juga tidak boleh, terus apa kenikmatan yang boleh saya dapat?”.

Dua cerita di atas menunjukkan ada perbedaan tolok ukur tentang kebahagiaan dan kenikmatan hidup.   Paling tidak perbedaan kebiasaan hidup yang itu telah menjadi “kenikmatan”.  Saya juga pernah mengalami hal lucu seperti itu.  Kira-kita tahun 1980-an, almarhum ayah saya diundang oleh pabrik makanan ternak, karena menjadi juara 1 peternak kecil se Jawa Timur.  Waktu itu memang ayah berternak ayam petelor.  Ingat saya jumlah ayamnya hanya sekitar 300 ekor.

Selama dua hari ayah saya mengikuti “pembinaan” dan diberi penginapan di hotel Mojopahit Surabaya. Tiba-tiba pagi sekali ayah kerumah.  Saya bertanya dalam bahasa Jawa, yang kira-kira terjemahannya: “Lho Bapak, kok pagi-pagi ada apa?”.  “Kan masih ada acara hari ini?”.  Beliau menjawab: “Mau mandi tidak ada ciduknya”.  “Masak disuruh beredam seperti kerbau”. “Mau ke belakang sudah”. 

Jadi, mandi dengan bath tube yang oleh “orang modern” dianggap nikmat oleh almarhum ayah saya dinilai seperti mandinya kerbau.  Closet duduk yang katanya modern dianggap tidak enak.  Sekali lagi, tampaknya baik dan tidak baik, nikmat dan tidak nikmat, itu sangat subyektif.  Tidak dapat digeneralisasi, yang baik untuk si A tentu baik untuk si B.  Yang dianggap nikmat oleh si A belum tentu dianggap nikmat oleh si B.  Apa memang begitu?

Namun saat berkunjung ke besan yang tinggal di Orkney Scotland, saya mendapat informasi bahwa orang yang tinggal di Orkney merupakan the most happiest  people di Inggris Raya. Jadi orang-orang yang tinggal di Orkney paling bahagia dibanding penduduk Inggris lainnya. Nah,  kalau begitu ada ukuran universal kebahagian hidup?  Buktinya dapat mengukur tingkat kebahagiaan orang. Mungkin semacam indeks kebahagiaan orang.  Apa yang ukurannya?

Jujur saya tidak tahu.  Mungkin teman-teman ahli sosiologi atau teman-teman yang mendalami agama atau mendalami religi yang tahu.  Seingat saya Robin Sarma, pengarang buku “The Monk Who Sold His Ferary” menyinggung tentang kebahagiaan hidup.  Buku-buku keagamaan juga banyak yang mengupas hal itu.  Tentu dari perspektif masing-masing.  Namun, sangat mungkin ada faktor-faktor yang bersifat universal.  Jika itu dapat ditemukan, akan dapat dipakai pedoman untuk membuat masyarakat bahagia.

Ketika tinggal selama tiga hari di Orkney, saya mencoba mencari apa yang menyebabkan penduduknya sangat bahagia.  Berikut ini dugaannya saya.  Pertama, secara ekonomi kecukupan.  Menantu saya yang asli Orkney bercerita pada umumnya orang Orkney punya pekerjaan yang pasti dan secara ekonomi berkecukupan.  Dari rumah yang ada di sana tampak tidak mewah, tetapi lingkungannya asri dan tenang.  Rumahnya juga terawat baik, sehingga dapat diduga mereka punya uang untuk merawatnya.

Kedua, tersedia layanan kesehatan yang terjangkau.  Wilayah Orkney kecil, tetapi ada rumah sakit ada  semacam puskesmas dan ada semacam perawat/tenaga kesehatan desa.  Jika ada orang sakit mudah mudah mendapat pelayanan.  Apalagi, memang ada jaminan kesehatan.  Jadi orang tidak perlu membayar.

Ketiga, tersedia layanan pendidikan yang terjangkau.  Sebagaimana bidang kesehatan, pendidikan di Scotland memang gratis sampai S1.  Memang di Orkney tidak ada perguruan tinggi, karena merupakan pulau di sebelah utara Scotland.  Tetapi sampai SMA tersedia sekolah yang  mutunya bagus.  Transportasi ke mainland Scotland juga mudah, sehingga tidak ada masalah bagi yang akan kuliah.

Ketiga, keamanan sangat kondusif.  Ketika di Orkney saya tinggal di rumah di dekat rumah besan yang kebetulan dibuat menjadi home stay.  Besan berpesan, kalau ada perlu apa-apa masuk saja ke rumah, pintu tidak dikunci.  Berarti keamanan sangat bagus.  Di kampung saya di Ponorogo, kalau malam rumah masih dikunci.  Jadi mungkin Orkney lebih aman dibanding di kampung Ponorogo.

Ke-empat, lingkungan tempat tinggal nyaman.  Lingkungan Orkney memang peternakan sapi atau domba.  Hanya saja peternakan kecil yang dimiliki oleh pribadi, jadi bukan perusahaan.  Banyak padang rumput hijau  yang diselingi tanaman Barley.  Semua jalan aspal mulus.  Lalu lintas sepi, hanya ada satu-dua mobil yang lewat.  Kecuali di kotanya yang merupakan kota pelabuhan.  Jadi lingkungan tempat tinggal terasa nyaman.

Mengapa saya mendiskusikan indeks kebahagiaan?  Bukankah salah satu tujuan pendirian negara ini untuk memajukan kesejahteraan umum?  Berarti membuat agar rakyat sejahtera dan bahagia.  Kalau gemerlap kota London tidak mampu membuat penduduknya sebahagia penduduk Orkney, jangan-jangan bukan gemerlap itu yang membuat orang bahagia.  Rasanya kita perlu mencari apa indikator atau indeks kebahagian dan itu yang harus diusahakan agar terpenuhi oleh negara, seperti tujuan yang termuat di pembukaan UUD 1945.  Semoga.

Tidak ada komentar: