Senin, 11 Maret 2013

MENGAPA KEMAMPUAN MENULIS MAHASISWA KITA SANGAT RENDAH?


Sebagai guru besar, saya memiliki kuwajiban membimbing mahasiswa S1/S2/S3 saat menyusun skripsi, tesis dan disertasi.  Saya juga sering menguji kelayakan proposal tesis dan disertasi, serta menguji tesis dan disertasi sebagai bagian akhir mahasiswa menempuh program S2/S3.  Kadang-kadang saya juga diminta menguji kelayakan proposal tesis atau disertasi di beberapa universitas lain.  Ketika memberi kuliah saya juga selalu memberi tugas kepada mahasiswa untuk menyusun makalah. 

Dari pengalaman tersebut, salah satu kekurangan mahasiswa, baik jenjang S1, S2 maupun S3 adalah kemampuan menyusun kalimat.  Awalnya saya mengira kalau itu penilaian subyektif saya, tetapi saat berdiskusi dengan sesama dosen penguji mereka juga memiliki penilaian yang sama.  Bahkan seringkali, ketika ujian kelayakan proposal dosen penguji berseloroh: “Kalimat ini seperti tidak selesai”. “Kalimat ini membuat kita sakit kepala”. “Kalimat ini kok tidak punya subyek ya”.  Dan sebagainya.  Intinya banyak kalimat dalam proposal tersebut yang terasa janggal, sulit dimengerti dan tidak memenuhi kaidah bahasa Indonesia.

Pada awalnya saya mengira kalau kejadian seperti itu hanya pada mahasiswa S1. Maklum belum terbiasa harus membuat karya tulis ilmiah. Tetapi ternyata juga terjadi pada mahasiswa S2 dan bahkan beberapa mahasiswa S3.  Saya juga pernah menguji kelayakan disertasi mahasiswa S3 dari PTN lain, ternyata bahasanya juga sulit difahami. Berarti masalah iyu tidak hanya terjadi di Unesa.  Dan akhir-akhir ini saya juga membimbing tesis beberapa guru yang sedang kuliah di program S2 Unesa.  Ya ampun, beberapa juga cukup parah kalimatnya.

Mengapa ya?  Bukankah mereka itu sudah mendapat pelajaran Bahasa Indonesia mulai dari SD, SMP, SMA, S1 dan sebagainya?  Bukankah mereka sudah ujian matapelajaran Bahasa Indonesia dan lulus UN SMP, UN SMA.  Bukankah mereka juga menempuh matakuliah bahasa Indonesia di perguruan tinggi?  Bukankah guru yang sedang menempuh S2 setiap hari mengajar dan tentunya menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar?

Saya sempat berseloroh kepada teman-teman dosen jurusan Bahasa Indonesia, mungkin ini perlu diteliti.  Dikaji secara diagnostik untuk dicari penyebabnya.  Konon keruntutan struktur tulisan dan ucapan, menggambarkan keruntutan cara berpikir.  Orang yang bicaranya runtut berarti jalan pikirannya juga runtut.  Orang yang tulisannya runtut berarti jalan pikirannya runtut.  Berdasar asumsi itu, berarti banyak mahasiswa S1/S2 dan bahkan ada mahasiswa S3 yang berpikirnya tidak runtut.  Dan jika itu benar, merupakan pekerjaan besar untuk mengevaluasi pendidikan kita.  Bukankah salah satu tugas pendidikan adalah membangun kemampuan berpikir logis.  Berarti harus runtut.

Ada teman memberi komentar karena pelajaran mengarang tidak lagi banyak dilakukan di sekolah.   Dengan begitu siswa/mahasiswa tidak terbiasa membuat karangan.  Namun, bukankah ada pelajaran bahasa Indonesia yang tentunya ada pokok bahasan “menulis”?.  Bukankah siswa dan mahasiswa juga membuat laporan saat praktikum?  Bukankah mereka juga membuat laporan ketika melakukan kegiatan ekstra kurikuler?

Seorang teman yang kebetulan guru Bahasa Indonesia memberi penjelasan.  Walaupun terkesan membela diri, namun penjelasannya patut direnungkan.  Teman tersebut menjelaskan bahwa, memang ada pokok bahasan menulis, tetapi itu hanya bagian kecil dari apa yang dibahas dalam matapelajaran bahasa Indonesia.  Dan itu tidak mendapat penekanan karena tidak ada dalam ujian, baik Ujian Nasional, Ujian Sekolah dan bahkan dalam ulangan-ulangan di akhir semester.

Memang dalam ulangan atau Ujian Sekolah, ada bagian soal yang siswa harus membuat isian dalam bentuk kalimat.  Namun hanya kalimat-kalimat pendek dan tidak berupa rangkaian suatu alur cerita.  Itulah sangat sedikit proporsinya dalam keseluruhan soal.  Memang dalam ulangan, UJian Sekolah maupun Ujian Nasional, ada soal-soal “membaca”.  Namun biasanya bentuk soal dari bacaan itu berupa pilihan ganda.

Tidak puas dengan informasi tersebut, saya mencoba mencari tahu ke guru Kimia.  Jawabannya hampir sama.   Laporan praktikum Kimia tidak banyak membuat kalimat.  Biasanya sudah ada format yang disediakan dan mahasiswa tinggal mengisi.  Mengapa begitu?  Guru Kimia menjelaskan, yang dipentingkan apakah tahapan praktikum yang dilakukan betul.  Apakah hasil pengamatan dan pengukurannya betul.  Dan, apakah kesimpulan yang dibuat betul.  Jadi penyusunan kalimat tidak menjadi perhatian dalam laporan seperti itu.

Belum puas, saya mencoba bertanya dengan guru PPKn.   Apakah dalam matapelajaran PPKn tidak ada tugas membuat laporan atau sejenis, yang memaksa siswa menuliskan kegiatan dengan cukup intens?  Kembali jawaban yang saya peroleh tidak memuaskan.  Ada tetapi tidak banyak.  Yang banyak, siswa harus membaca sehingga mengerti.  Kalau ulangan, sebagian besar bentuk soal berupa pilihan ganda. Kalau toh ada yang isian hanya sangat sedikit.  Ujian Sekolah dan UN soalnya semua pilihan ganda.

Mendapat gambaran dari tiga guru tersebut saya bepikir, apakah karena soal dalam ulangan, Ujian Sekolah dan Ujian Nasional bentuknya pilihan ganda ya?  Apakah karena soalnya seperti itu, guru tidak mementingkan siswa membuat karangan, membuat laporan yang lengkap dan sejenis itu?

Saya jadi teringat peristiwa tahun 1992-an.  Saat itu saya menjadi anggota Tim Peneliti (diketuai Prof Mohamad Nur) melakukan penelitian pola pembelajaran di SMA.  Saya bertugas ke Pekanbaru dan kebetulan mengamati pembelajaran Kimia dan dilanjutkan berdiskusi dengan gurunya.  Nah, saat diskusi saya menanyakan, mengapa praktikum tidak intens pada hal labnya lengkap.  Jawabannya sungguh mengejutkan.  Pak, kami menyiapkan anak-anak agar sukses dalam UN (seingat saya waktu itu namanya Ebtanas).  Soal-soal UN tidak terkait banyak dengan praktikum.  Lantas apa perlu saya menghabiskan waktu banyak untuk praktikum.  Jangan-jangan, nanti siswa malah gagal dalam Unas.

Kalau, argument empat guru tadi dirangkai tampak sekali bahwa ungkapan “teaching for the test” terjadi di Indonesia.  Artinya, guru akan mengajar apa yang nanti diujikan.  Bentuk dan jenis soal akan menggiring pola pembelajaran.  Dan tampaknya bentuk dan jenis soal-soal UN menjadi kiblat penyusunan Ujian Sekolah maupun ulangan di akhir semester.  Sudah saatnya kita memikirkan bentuk soal UN, US maupun ulangan agar mampu mendorong siswa terbiasa menulis.  Bukankah komunikasi bagian penting dalam kehidupan, dan tentunya termasuk komunikasi dalam bentuk tulisan.  Bukankah menulis dapat mengasah keruntutan berpikir. Semoga.

Tidak ada komentar: