Jumat, 01 Maret 2013

SERTIFIKASI TIDAK MAMPU MENINGKATKAN MUTU GURU?


Pagi di penghunjung bulan Februari 2013 saya diminta mengisi kuliah umum bagi mahasiswa PPG-SM3T Unesa.  PPG (Pendidikan Profesi Guru) adalah amanah UU no 14/2005 tentang Guru dan Dosen, yang mengamanatkan guru itu harus menempuh pendidikan setingkat S1 atau D4 dahulu, kemudian menempuh program pendidikan profesi guru.  SM3T (Sarjana Mendidik di Daerah Tertinggal, Tepencil dan Terluar) adalah program pengiriman Sarjana Pendidikan untuk selama satu tahun mengajar di daerah 3T.  Sebagai penghargaan, mereka yang telah menyelesaikan program tersebut diberi beasiswa mengikuti PPG.

Ini mahasiswa baru dari program baru, sehingga mereka akan menjadi mahasiswa angkatan pertama.  Dengan senang hati saya memenuhi permintaan tersebut dan ingin memberikan dukungan dan kontribusi agar pada saatnya mereka menjadi guru yang profesional.  Sebagaimana disebutkan dalam UU no 14/2005, guru adalah sebuah profesi.  Lulusan PPG akan memperoleh sertifikat pendidik sebagai bukti formal sebagai guru profesional.

Isi kuliah umum tidak penting saya sampaikan, tetapi justru pertanyaan salah satu mahasiswa yang rasanya perlu dibagi informasinya.  Salah seorang mahasiswa bertanya atau lebih tepatnya meminta pendapat saya.  “Menurut  studi Bank Dunia sertifikasi guru dan tunjangan profesi yang diberikan kepada guru belum mampu meningkatkan kinerja mereka”.  “Guru menganggap sertifikasi dan tunjangan profesi sebagai peningkatan kesejahteraan, bukan peningkatan kinerja”.  Begitu yang disampaikan salah seorang mahasiswa.

Sejak awal persiapan sertifikasi dan pada saat itu saya diminta mengetuai tim sertifikasi di Jakarta, saya meyakini sertifikasi dan tunjangan profesi tidak akan banyak mengubah keadaan guru yang kini sudah di lapangan.  Mengapa?  Pertama, para guru yang sekarang bertugas di sekolah adalah rekruitmen pada saat prestise guru kurang baik di mata masyarakat.  Akibatnya yang masuk ke IKIP/FKIP/LPTK saat itu bukanlah lulusan SLTA yang bagus.  Seringkali yang masuk adalah mereka yang tidak diterima pada perguruan tinggi pilihan pertama.  Bahkan ada kelakar:  “Dari pada tidak kuliah, di IKIP juga tidak apa-apa”.  Ada juga kelakar, kalau punya anak gadis dan agak nakal, diancam: “Awas kalau terus nakal nanti saya kawinkan dengan guru”. 

Ketika memberi pelatihan atau workshop dengan para guru, saya sering bercanda: “Anak dokter biasanya ingin masuk Fakultas Kedokteran”. “Anak jenderal biasanya ingin masuk AKABRI”.  “Anak insinyur biasanya ingin masuk ITB atau ITS”.  “Lha kalau anak guru, inginnya masuk kemana?”.  “Ingin masuk IKIP?”.  Biasanya para guru tertawa.  Dan saya menimpali: “Jangan, yang menjadi guru dan hidupnya pas-pasan, cukup bapak atau ibu saja”.

Pengamatan saya menunjukkan, mereka yang sudah masuk menjadi mahasiswa IKIP/FKIP/LPTK dan berprestasi bagus banyak yang tidak mau menjadi guru. Ada yang bekerja di pemerintah daerah.  Ada yang bekerja di Kementerian.  Ada yang bekerja di perusahaan.  Bahkan ada yang sudah menjadi guru beberapa lama, kemudian pindah ke lembaga lain.  Mungkin mencari pekerjaan yang lebih besar gajinya atau lebih bergengsi di mata masyarakat.

Contoh lain, banyak guru yang pindah menjadi pejabat di Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota/ Propinsi atau dinas-dinas lain di pemerintah daerah.  Namun hampir tidak ada pegawai di Dinas-dinas pemerintah daerah yang pindah menjadi guru.  Bahkan ketika awal desentralisasi pendidikan dan ada ide pegawai Kanwil Pendidikan (sebelum berubah menjadi Dinas Pendidikan Propinsi) dikurangi dan ditugaskan menjadi guru, banyak yang tidak mau dan memilih pindah ke Dinas lain.

Apa artinya semua itu?  Guru belum menjadi pilihan profesi bagi anak-anak atau orang-orang terbaik.  Pekerjaan sebagai guru seakan “dihindari” dan mau kalau sudah terpaksa.  Akibatnya yang menjadi guru adalah mereka yang tidak memperoleh kesempatan di tepat yang lebih baik.  Tentu tidak semua seperti itu.  Banyak orang pandai yang memang ingin mengabdikan diri sebagai guru.  Namun harus diakui jumlah “pahlawan pendidikan” seperti itu tidak banyak.  Kelakarnya “kita ini manusia biasa, ya ingin mendapatkan pekerjaan yang bergengsi sekaligus gajinya besar”.

Kedua, guru merupakan pekerjaan yang relatif sulit untuk berubah dengan cepat.  Guru selalu berhadapan dengan siswa yang posisinya “dibawah”.  Guru pada umumnya merasa pandai karena yang dihadapi siswa.  Guru pada umumnya merasa apa yang dilakukan selama ini sudah tepat.  Ketika mengajar di kelas, tidak ada orang lain yang mengawasi guru.  Kecuali waktu ada pengawas atau program tertentu.  Dengan begitu pada umumnya guru yakin sudah menerapkan cara mengajar yang paling cocok dengan siswanya.  Sudah berusaha agar siswanya menguasai materi yang diajarkan.  Ibarat momen inersia, posisi guru sudah mapan dengan titik berat di posisi terendah, sehingga susah untuk digoyang.

Kalau sertifikasi dan tunjangan profesi tidak mampu meningkatkan kinerja guru, lantas apa manfaatnya?  Manfaatnya adalah untuk guru di masa datang.  Dengan adanya sertifikasi dan guru mendapat tunjangan profesi, pelamar masuk IKIP/FKIP/LPTK meningkat tajam.  Di Unesa ada program studi yang perbandingan pendafar dan yang diterima 40 : 1.  Artinya untuk 40 pelamar hanya 1 orang yang diterima.  Dengan situasi seperti itu, yang diterima tentu lulusan SLTA dengan nilai bagus.  Prof Suyono, Dekan FMIPA Unesa pernah mengatakan mahasiswa Kependidikan di MIPA lebih baik dibanding mahasiswa non Kependidikan.  Yang masuk menjadi calon guru Matematika lebih baik akan masuk akan menjadi Matematikawan.

Namun mereka itu baru lulus S1 sekitar tahun 2014 atau 2015.  Saat itu kita dapat berharap muncul SPd-SPd yang mutunya bagus.  Jika mereka kemudian mengikuti program PPG, mulai tahun 2015 kita akan memiliki calon guru profesional yang bermutu bagus.  Masih beberapa tahun lagi, tetapi harapan itu sangat besar.

Menjelaskan kepada mahasiswa, saya membagi informasi dari para senior.  Konon tahun 1950-an profesi guru sangat bergengsi.  Hanya lulusan SD dengan nilai bagus yang dapat masuk SGB.  Ketika SGA dibuka, hanya lulusan SMP yang nilainya bagus yang dapat masuk SMA.  Konon Ir. Abdul Kadir Baraja, pensiunan dosen ITS yang membidani sekolah Al Himah dan beberapa sekolah lain, dulu ingin mauk SGA tetapi tidak diterima.  Akhirnya masuk SMA dan kemudian kuliah di ITS, seterusnya menjadi dosen ITS.  Lulusan SGB/SGA era lalu banyak yang menjadi tokoh pendidikan, seperti Prof Rakajoni (almarhum), Prof Tilaar dan sebagainya.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof Mohammad Nuh sering menggambarkan keadaan guru saat ini seperti air dalam tangki.  Airnya tidak seberapa jernih.  Untuk itu, saat ini dilakukan upaya penjernihan sambil pelan-pelan ada yang luber, alias pensiun.  Yang lebih penting setiap tahun diharapkan dimasukan air baru yang jernih (guru baru bermutu bagus).  Dengan begitu pelan tetapi pasti kondisi air di tangki akan semakin jernih.  Dengan serifikasi dan khususnya masukkan guru baru hasil PPG, kondisi guru di Indonesia akan semakin baik.  Semoga.

Tidak ada komentar: