Sabtu, 28 Juni 2014

BELAJAR DARI SMP LAB SCHOOL NAGOYA



Nama resmi sekolah tersebut Nagoya Junior High School: Affiliated to Aichi University of Education (saya tidak ingat dalam Bhs Jepangnya), namun karena merupakan binaan Aichi University of Education (AUE), maka kepada kami dikenalkan sebagai SMP Lab School AUE di Nagoya.  Memang lokasinya di kota Nagoya.  Jadi agak jauh dari kampus AUE yang terletak di luar kota.

SMP Lab School AUE di Nagoya memiliki 501 siswa dengan guru sebanyak 32 orang.  Kepala sekolahnya dosen aktif di AUE, sehingga yang sehari-hari memimpin sekolah adalah Wakil Kepala Sekolah.  Seperti biasanya SMP di Jepang, siswa memakai seragam dan siswa laki-laki memakai celana panjang.  Di sekolah siswa (dan juga guru) memakai sepatu dalam, yaitu sepatu ket yang hanya dipakai di dalam sekolah.  Begitu siswa tiba di sekolah, mengganti sepatu yang dipakai dari rumah dengan sepatu dalam yang disimpan dalam loker masing-masing.

Sebagai Lab School, SMP Lab School Nagoya memiliki fungsi: (1) sebagai tempat melakukan penelitian dan pengembangan serta inovasi pembelajaran, (2) sebagai tempat belajar/praktek bagi mahasiswa AUE, (3) sebagai sekolah bagi anak-anak Jepang yang baru pulang dari negara lain.  Maksudnya anak-anak yang sekian lama mengikui orang tua atau hal lain, sehingga lama tinggal di luar negeri dan memerlukan penyesuaian untuk kembali bersekolah di Jepang.

Dalam pembelajaran digunakan prinsip: (1) menekankan proses dan bukan produk, sehingga proses berpikir siswa menjadi perhatian utama, dan (2) menerapkan konsep bahwa siswa dan guru belajar bersama-sama.   Setiap tahun siswa melakukan out bond selama 3 hari+2 malam untuk membangun kebersamaan, sekaligus untuk mengenalkan siswa kepada masalah nyata di masyarakat.

Jumlah siswa dalam setiap kelas 40 orang (standar di Jepang).  Namun karena berbagai hal, khususnya turunnya angka kelahiran di Jepang banyak kelas yang siswanya kurang dari 40 orang. Tetapi semua kelas yang kami kunjungi rata-rata siswanya 36-39 orang.  Banyak siswa dari Brasil.  Sebagian besar mereka adalah anak-anak orang Jepang yang dahulu migrasi ke Brasil, menikah dengan orang setempat dan sekarang kembali bekerja di Jepang.   Jadi pada umumnya mereka berdarah campuran.

Bangku terdiri dari meja dan kuri yang tingginya dapat diatur sesuai tinggi tubuh siswa.  Duduk siswa dibuat selang-seling.  Anak laki-laki jejer dengan anak perempuan.  Informasi yang saya dapat setiap bulan posisi duduk diganti, dengan maksud setiap siswa punya pengalaman duduk jejer dengan banyak teman.  Maksudnya agar mereka belajar berkomunikasi dan berinternasi dengan teman yang berbeda.

Papan tulis berwarna hijau dan dibuat melengkung, mungkin agar pandangan siswa yang duduk di pinggir tetap bagus.  Papan merupakan magnetik dan guru dapat menempelkan clip pemegang kertas di papan tulis.  Di dinding sebelah papan tulis terdapat jadwal pelajaran dan beberapa hasil karya siswa yang ditempel dengan pines.

Sepertinya siswa sudah biasa dikunjungi tamu, sehingga tidak merasa terganggu dengan kehadiran kami.  Kami mengunjungi beberapa kelas, antara lain Kelas Matematika, Kelas Home Economis dan Kelas IPS.  Pada Matematika sepertinya guru sedang mengajarkan menemukan rumus, secara induktif.  Siswa diminta maju untuk mengerjakan soal dan teman lain menanggapi.  Namun kesan saya kelas tidak begitu aktif.  Masing-masing siswa sibuk, mungkin mengerjakan pada bukunya masing-masing

Pada kelas Home Economics, sepertinya sedang membahas gisi beberapa jenis masakan.  Guru menjelaskan kandungan gisi beberapa jenis makanan dan menanyakan kepada siswa beberapa jenis bahan makanan yang mereka biasa makan di rumah.  Setelah itu diindentifikasi kandungan gisi.  Setelah iti guru mengajak siswa untuk menyimpulkan apakah makanan yang mereka makan di rumah cukup memenuhi gisi yang diperlukan oleh badan.  Menurut Wakil Kepala Sekolah, seringkali kelas Home Economics dipadu dengan kelas Industrial Arts dan kelas Olahraga dan Kesehatan.

Kelas IPS sangat menarik.  Siswa dibagi dalam kelompok masing-masing 3 orang atau 4 orang.  Jadi ada 12 kelompok.  Kepada mereka diajukan pertanyaan kira-kira.  Bagaimana pendapat Anda tentang sebaiknya posisi tentara Bela Diri Jepang.  Empat kelompok ditugaskan untuk dalam posisi pendapat “tidak setuju Jepang punya tentara untuk tugas apapun”.   Empat kelompok ditugasi untuk posisi pendapat “setuju Jepang punya tentara Bela Diri tetapi hanya untu kepentingan keamanan dalam negeri”.  Empat kelompok ditugaskan untuk posisi pendapat “setuju Jepang punya tentara Bela Diri termasuk untuk menjaga keamanan dan hak-hak orang Jepang di luar negeri”.

Sebelumnya guru menjelaskan posisi tentara Bela Diri Jepang sekarang banyak menjadi perdebatan. Apalagi ketika terjadi perang Irak, Amerika Serikat meminta Jepang untuk mengirimkan tentara Bela Diri bersama tentara dari negara lain bertugas di Irak.  Nah, masing-masing kelompok diminta mengajukan argumentasi terhadap posisi pendapat yang ditugaskan.  Setelah mendiskusikan dalam kelompok, setiap kelompok menuliskan pendapat (argument) tersebut di papan kecil magnetik dan kemudian ditempelkan di papan tulis.  Jadi di papan tulis terdapat 12 papan kecil yang masing-masing berisi pendapat kelompok.  Acuan dasar yang digunakan adalah Hak Asasi Manusia.

Beberapa kelompok diminta menjelaskan apa yang ditulis di papan kecil miliknya.  Setelah itu antar kelompok yang berbeda pendapat diminta untuk berdiskusi.  Setelah berdiskusi mereka dibolehkan berubah pendapat atau menyatukan pendapat.  Pendapat hasil diskusi itu dituliskan lagi di papan kecil magnetik, tetapi dengan spidol warna merah (pendapat pertama ditulis dengan spidol warna hitam).  Kemudian papan kecil dengan tulisan merah ditempel di papan.

Setelah ditempel, setiap kelompok gabungan yang punya diminta menjelaskan argumennya dan kelompok lain diundang untuk mengomentari.  Juga diundang mereka untuk mensinergikan antar kelompok yang berbeda pendpat.  Namun tetap dibiarkan jika mereka tetap berbeda pendapat.

Saya melihat orientasi kepada proses benar-benar diterapkan.  Saat melihat Kelas Matematika dan Home Economics, saya sudah belajar bagaimana menerapkan “keterampilam proses” di matapelajaran Matematika dan Kesehatan.  Di Kelas IPS (nama topiknya Peace Education) saya lebih banyak belajar lagi.  Belajar bagaimana mendorong siswa untuk mengajukan pendapat, bagaimana mendorong siswa untuk berdebat dan juga mensinergikan pendapat. Mendorong siswa untuk tetap menghormati orang lain, walaupun tetap berbeda pendapat sampai pelajaran selesai.  Ada kesan kuat, siswa dilatih untuk menyiapkan diri mengambil keputusan, sembari belajar hidup bermsyarakat yang heterogen. 

Sayang sekali, saya tidak faham bahasa Jepang sehingga tidak mengerti inti pembicaraan guru maupun siswa. Namun dari tulisan (angka) dan bahasa tubuh mereka, saya menduga diskusi mengarah kepada high order thinking (HOT).  Khusus pada matapelajaran IPS (Peace Education) diterapkan problem based learning sekaligus juga cooperative learning.  Maksudnya siswa didorong untuk bekerjasama, tetapi untuk memecahkan masalah yang memang sedang terjadi di masyarakat.  Dalam kelas Home Economics yang dibahas makanan sehari-hari di Jepang, dan dalam kelas IPS tentang kontroversi tentara Bela Diri di Jepang.

Tampak sekali, guru mempersiapkan bahan dengan baik.  Bahan yang digunakan dijepit dengan clip yang ditempelkan di papan tulis.  Guru juga selalu melihat lembaran bahan yan sepertinya sudah dipersiapkan.  Siswa juga menerima seperti LKS yang harus digunakan untuk mengikuti pelajaran.  Semoga kita dapat belajar dari mereka.

Tidak ada komentar: