Jumat, 06 Juni 2014

INTERNASIONALISASI PENDIDIKAN ITU SEBUAH KENISCAYAAN



Kita dapat melihat hubungan pendidikan dengan kehidupan di masyarakat dari dua sudut pandang.  Seringkali kita mendengar ungkapan pendidikan sebagai wahana pengembangan sumberdaya manusia pembangunan.  Ungkapan itu menunjukkan pandangan bahwa pendidikan ibarat pedati yang ditarik kuda.  Kudanya adalah pembangunan sedangkan pedatinya adalah pendidikan.  Artinya pendidikan difungsikan untuk memenuhi tuntutan pembangunan. 

Kita juga dapat berpikir dari sudut pandang yang lain, yaitu justru pendidikan yang menjadi kudanya sedangkan pembangunan sebagai pedatinya.  Agar pembangunan mengarah ke sektor pertanian yang maju, maka langkah awal justru kita siapkan tenaga ahli di bidang itu.  Dengan adanya ahli bidang pertanian diharapkan, pembangunan akan bergeser ke arah pertanian modern.  Pola ini juga sering disebutkan bahwa pendidikan sebagai bentuk rekayasa sosial.  Termasuk pandangan ini mereka yang mengatakan bahwa pendidikan itu merupakan wahana pembebasan.  Artinya melalui pendidikan dikembangkan manusia yang bebas untuk dapat megembangkan diri sesuai dengan keinginannya.  Bukan sekedar sebagai “alat” pembangunan. 

Sebenarnya dua sudut pandang itu bukanlah sesuatu akan betul-betul beda (mutually exclusive), tetapi hanyalah berbeda dalam penekanan.  Keduanya sama-sama memahami bahwa pendidikan sebagai wahana “membantu menyiapkan orang untuk menghadapi masa depannya”.  Bedanya, pandangan pertama masa depan mereka adalah bagian atau lebih kasar disebut sebagai komponen pembangungan bangsa.  Pandangan kedua memahami masa depan mereka adalah suatu kebebasan, sehingga setiap orang dapat memilih apa yang diinginkan.

Terlepas dari perbedaan itu, satu hakekat yang sama, adalah keduanya menginginkan agar pendidikan dapat membantu orang menyiapkan diri sukses memerankan dirinya sesuai dengan situasi yang dihadapi.  Jadi salah satu kata kunci yang harus diperhatikan dalam mendesain pendidikan adalah “situasi yang akan dihadapi orang/anak yang telah lulus/tamat”.  Meminjam ungkapan Trilling & Fadel (2009) langkah awal dalam mendesain pendidikan adalah menggambarkan situasi  masyarakat/dunia kerja 20 tahun ke depan ketika siswa sudah lulus dan terjun ke masyarakat.  Berangkat dari gambaran tersebut, selanjutnya merumuskan/ memastikan kemampuan/kompetensi apa yang seharusnya dimiliki lulusan agar sukses menghadapi situasi tersebut.  Nah, kemampuan itulah yang seharusnya dikembangkan di sekolah/lembaga pendidikan.

Mari kita banyangkan seperti apa situasi Indonesia 20 atau 30 tahun yang akan datang.  Saya yakin sudha jauh berbeda.  Kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi akan menyebabkan era global akan datang lebih cepat.  Asean Economic Community (AEC) yang akan dimulai tahun 2015, disusul dengan yang lain-lain akan mempercepat era itu.  Sekarang saja, kita sudah dihadapkan kenyataan bahwa buah-buahan yang dijual di pasar berasal dari berbagai negara.  Demikian pula pernik-pernih pakaian.  Sebaliknya kita juga menjumpai kopiah dan perlengkapan haji di Saudi Arabia ternyata buatan Gresik dan Bangil.  Indomie sudah membangun pabrik sangat besar disana.  Baju-baju dari Bandung dan Pekalongan sudah menumpuk di Australia.   Begitu banyak tenaga asing bekerja di Indonesia, sebaliknya kita juga melihat banyak orang Indonesia yang sekarang bekerja di negara lain.  Kita sudah tidak mengetahui dengan jelas, air mineral merk aqua itu milik siapa, sementara peternakan sapi besar di Autralia ternyata dimiliki orang Indonesia.

Barang-barang begitu mudahnya melintas batas negera, begitu banyaknya tenaga kerja melintas negara dan begitu mudahnya kepemilihan perusahaan berpindah tangan antar warga negara yang berbeda, maka internasionalisasi sudah dihadapan kita.  Dengan demikian pendidikan harus dapat menyiapkan diri menghadapi situasi yang bernuasan internasional itu.  Jadi internasionalisasi pendidikan menjadi sebuah keniscayaan.

Internasionalisasi pendidikan bukan dimaksudkan kita mengimpor pola pendidikan asing, menggunakan kurikulum asing apalagi mengimpor guru dari negera lain.  Tetapi pendidikan yang dapat memastikan bahwa lulusannya dapat berkompetisi dan sekaligus bekerjasama dengan orang dari negara lain dengan posisi setara.  Tidak menghasilkan lulusan yang nanti hanya menjadi orang yang disuruh-suruh oleh orang asing yang bekerja di negeri ini.

Kalau para lulusan bekerja di negara lain, mereka seharusnya juga setara dengan orang setempat dan warga negara lain.  Tentu sesuai dengan profesi yang dipilih.  Namun harus dipastikan bukan sekedar menjadi tenaga kerja kasar yang disuruh-suruh.

Bagaimana sistem pendidikan, bagaimana kurikulum dan proses pembelajaran untuk menghasilkan lulusan seperti tersebut di atas?  Itulah yang harus dipikirkan oleh mereka yang menyebut diri sebagai pakar pendidikan, praktisi pendidikan, pemerhati pendidikan dan birokrasi pendidikan.  Semoga kita semua tergerak untuk membantu mereka.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Assalamualaikum Pak,
Mohon ijin untuk share tulisan Bapak di fan page kami :
https://www.facebook.com/intoffice.dj?ref_type=bookmark

Salam kenal dari IBI Darmajaya Lampung.

Terima kasih.