Minggu, 29 Juni 2014

IF YOU FAIL TO PLAN, YOU PLAN TO FAIL



Selama 4 hari di Jepang serta berinteraksi dengan kolega di Aichi University of Education dan di Hokuriku Uniersity, termasuk dengan sopir dan kru bis yang mengantar kami dalam perjalanan Nagoya-Kanazawa-Nagano-Nagoya, saya mendapat kesan kuat bahwa semua kegiatan dirancang secara detail.  Semua serba well planed.  Semua rencana dibuat dengan detail dan konon sudah disiapkan sejak sebulan lalu.

Mengamati fenomena itu saya jadi teringat ungkapan “if fou fail to plan-you plan to fail”.   Ungkapan itu sering menjadi jargon pada matakuliah atau buku-buku tentang perencanaan.  Seingat saya ada buku Eductaional Planning terbitan IEIP (International Institute of Educational Planning, saya lupa pengarangnya) yang membahas ungkapan tersebut.  Kurang lebih isinya adalah nasehat bahwa setiap kegiatan harus dirancang dengan baik.  Jika kita gagal membuat perencanaan yang baik, iu sama artinya kita sedang merencanakan kegagalan.  Rasanya prinsip itu benar-benar dilaksanakan di Jepang.  Paling tidak oleh orang-orang yang saya jumpai selama 4 hari saya di Nagogya dan Kanazawa.

Sebelum berangkat, saya disodri draft acara selama 2 hari di Nagoya, hari pertama di Aichi University of Education, termasuk memberi kuliah umum (memorial lecture) dan mengunjungi SD Lab School dekat kampus.  Hari kedua, kami mengunjungi SMP Lab School di Nagoya, mengunjungi pabrik fork lift dan mengunjungi SD Swasta Tsakuba.  Draft rancangan kegiatan itu sangat detail, misalnya saya memberi sambutan selama 3 menit, president AUE selama 3 menit dan seterusnya.

Waktu tampaknya sangat mendapat perhatian bagi orang Jepang, sehingga diatur sangat efisien.  Misalnya saat di Hokuriku University, saat rombongan kami diajak melihat kampus dari lantai atas kantor pusat (kebetulan kantor pusat Hokurimu University berada di punca bukit, sehingga dari situ orang dapat melihat pemandangan kampus maupun kota Kanazawa), hidangan makan siang dimasukkan ke ruangan.  Jadi sewaktu kami kembali ke ruangan, makan siang sudah siap.  Pada hal, waktu melihat-lihat kampus dan kota tersebut hanya 10 menit.

Ketika kami masuk ruang rapat, bahan rapat sudah ada di meja.  Tempat duduk diatur dengan rapi dengan ada papan nama untuk setiap peserta.   Dengan begitu rapat dapat dimulai dengan segera sesuai jadwal.  Lama rapat atau acara juga sudah diatur dengan ketat.  Waktu saya memberi kuliah hanya 90 menit dan begitu waktu habis panitian menjelaskan kalau waktu sudah habis, sehingga tanya jawab dihentikan.  Demikian pula waktu kunjungan ke pabrik fork lift, rombongan masih mengajukan pertanyaan, tetapi panitia mengatakan waktu sudah habis.

Tampaknya, perancangan waktu yang begitu rapi juga punya dampak acara menjadi sangat kaku dan tidak mudah diubah, walupun ada masalah.  Misalnya, waktu di Fujiyama ada kelambatan berangkat bus karena rombongan ada yang lambat kembali ke bus. Demikian oula jalannya bus menjadi lebih lambat karena kabut turun.  Namun tetap saja sopir tidak mau mengubah scenario perjalanan, termasuk tidak mau menambah kecepatan bus, sehingga kami terlambat sampai di Nagoya.

Waktu makan malam dan dihadiri oleh mantan president AUE (Prof. Matsuda), waktu maka malam juga dibatasi seperti rencana.  Pada hal, kami ingin agak lama karena sudah lama tidak bertemu dan besuknya sudah kembali ke Surabaya.  Begitu jam makan selesai, panitian mengingatkan agar segera selesai.  Pada hal es krim dan kopi sebagai penutup acara makan malam belum habis dimakan.

Yang lebih menarik adalah sopir bus yang selalu mencatat.  Saya tidak faham apa yang dituliskan, tetapi lembar kertas yang ditulis seperti berupa jurnal perjalanan.  Sudah ada petak-petak yang saya duga tertulis tempat singgah dan sebagainya.  Begitu sampai di tempat singgah, dan bus berhenti sopir yang tidak bertugas (sopir busnya dua orang), segera mengambil kertas tersebut dan mengisi di kolom tertentu.

Saya jadi teringat pengalaman awal tahun 2000an ketika dikontrak JICA untuk melakukan tracer study terhadap lulusan politeknik.  Salah satu hasilnya, lulusan politeknik di Indonesia tidak punya kebiasaan merekam (mencata) pekerjaan yang dilakukan.  Sepertinya mencatat pekerjaan yang dilakukan sudah menjadi kebutuhan dan kebiasaan orang Jepang, termasuk sopir bus.  Pada saat itu orang JICA mengatakan, record pekerjaan penting untuk bahan belajar.  Jangan sampai kita membuat kesalahan kedua kali.  Juga penting untuk mengetahui masalah di masa lalu, khususnya jika terjadi pergantian pegawai. 

Apakah jadwal yang begitu ketat dan dilaksanakan dengan ketat pula, cocok untuk kita?  Saya jadi teringat Prof. Imam Suprayoga, mantan Rektor UIN Malang, yang mengajarkan sebagai pimpinan di Indonesia “jangan biasa pakai kereta apl, tetapi pakai mobil”.  Jika naik kereta kita harus mengikuti rel yang ada.  Sekali naik ya harus ikut itu sampai di tujuan.  Kalau naik mobil, jika ada kemacetan, kita dapat mencari jalan alternatif.  Maksudnya, di Indonesia seringkali banyak variabel yang tidak terduga.  Akibatnya rencana yang sudah dibuat harus diubah/disesuaikan dengan situasi yang terbaru.

Apakah itu berarti pola kerja Jepang yang well planed tidak cocok di Indonesia?  Jawabnya tetap cocok dan harus dilakukan, tetapi karena ada banyak variabel yang tidak terduga, maka harus diberi peluang untuk mengubah/menyesuaikan dengan situasi terbaru.  Mungkin di Jepang, semua variabel dan informasi dapat diperoleh dengan jelas dan dapat diprediksi dengan baik, sehingga kecil terjadi perubahan.  Sebagai contoh, di Jepang ada prediksi cuaca sampai satu minggu yang sangat akurat.  Taifunpun dapat diprediksi kapan muncul, kemana pergerakannya dan seberapa besarnya.  Sementara di Indonesia, banyak sekali informasi yang tidak akurat, sehingga dalam perjalanannya terjadi perubahan yang signifikan.  Semoga.

Tidak ada komentar: