Senin, 23 Juni 2014

GEMBIRA DAN SEDIH MENJELANG PILPRES



Dalam perjalanan Surabaya-Nagoya saya membaca buku Pintu-pintu Menuju Tuhan tulisan Nurcholish Madjid.  Sebenarnya itu buku lama, terbit tahun 1995 dan saya juga sudah lama membelinya.  Namun entah mengapa waktu mau berangkat saya mengambil itu untuk dibaca di pesawat.  Yang terpikir hanya mencari bacaan yang tidak terlalu berat untuk mengisi waktu sepanjang penerbangan sekitar 7 jam.  Buku itu sebenarnya buku lama, terbit tahun 1994 dan saya membelinya tahun 1995 yang tentu sudah pernah say abaca, walupun tidak seluruhnya.
                                      
Artikel terakhir dalam buku itu berjudul Pintu-pintu Menuju Yusuf.  Cak Nur menggunakan metaphora pesan Nabi Ya’kup kepada anak-anaknya ketika mereka berangkat mencari Yusuf: “ Wahai anak-anakku, kamu janganlah masuk dari satu pintu, melainkan masuklah dari berbagai pintu yang berbeda-beda”.  Melalui pesan itu, Nabi Ya’kup menunjukkan kebenaran dapat digapai melalui berbagai pintu, tetapi semuanya bertujuan sama yaitu mencapai kebenaran hakiki itu.  Altenatif-alternatif tersedia dan kita diberi kebebasan untuk memilihnya.

Seperti biasanya Cak Nur menggunakan metaphora itu untuk menganalisis fenomena kekinian.  Dan metaphora itu digunakan untuk menganalisis fenomena Pemilu, mungkin Pemilu 1994 yag tidak segegap gempita pemilu sebelumnya.  Konon pemilu saat itu adem ayem saja, sehingga banyak pihak mempertanyakan, apakah masyarakat sudah bosan dengan pemilui sehingga menjadi apatis.  Namun Cak Nur justru melihat dari sisi lain, yaitu adem ayem menunjukkan gejala keraguan sehat (healthy scepticim), yaitu keraguan karena melihat alternatif-alternatif lain yang tidak seperti yang selama itu dikenal. Dan itu gejala sehat, karena itulah salah satu inti demokrasi, yaitu tidak adanya kemutlakan dan sebaliknya selalu ada alternatif pilihan.

Lantas mengapa saya gembira?  Karena saya melihat kampanye menjelang Pilpres 2014 ini adem ayem.  Lebih adem ayem disbanding Pileg yang lalu.  Semoga saja ini menunjukkan gejalan munculnya kedewasaan masyarakat sebagaimana disimpulkan Nurcholish Madjid. Dan bukan seperti yang diragukan banyak orang dengan ungkapan “toh siapapun presidennya tidak ada bedanya”.   Jika simpulan Cak Nur yang benar, maka kita dapat berharap akan tumbuh toleransi terhadap teman atau orang lain yang memiliki pilihan yang berbeda.  Sekaligus akan mengurangi adanya fanatisme yang berlebihan.

Tetapi mengapa juga sedih?  Karena, ketika pada masyarakat pada umumnya sudah tumbuh toleransi kepada orang lain yang memiliki beda pilihan, justru di tingkat elite terjadi saling sindir, saling cemooh dan bahkan saling serang.  Yang lebih menyedihkan mereka saling serang secara fulgar dengan mengorek kesalahan (entah benar entah tidak) di masa lalu.  Mereka saling buka kartu untuk menunjukkan kesalahan fihak lain dan tentu saja di balik itu ingin mendapatkan “nilai positif” bagi dirinya atau kelompoknya.

Jujur, sebagai orang tua dan guru, saya sangat sedih.  Mereka sepertinya tidak neyadari atau lupa bahwa pernyataannya ditonton, didengar dan dibaca jutaan orang, sehingga menjadi bahan ajar bagi jutaan anak bangsa, baik yang melihat/mendengar langsung atau yang medapatkan dari tangan kedua.  Dan seperti biasanya, polemik seperti itu menjadi santapan empuk bagi media, kemudian di-blow up, dengan bumbuh macam-macam.  Jadilah bola salju pembelajaran yan destruktif bagi anak bangsa.  Pada hal, seperti kata orang bijak panas setahun diapus oleh hujan sehari.  Sekian lama para guru dan orang tua mengajarkan hal-hal yang baik, kemudian hilang oleh pembelajaran dari elite politik seperti itu.

Seandainya apa yang saling dibuka oleh mereka itu benar, apakah mereka lupa akan prinsip bahwa membuka aib orang lain itu suatu perbuatan dosa dan menyakitkan hati.  Bukahkah perbuatan seperti itu lebih banyak didorong oeh perasaan dengki untuk mendapatkan kredit point untuk diri atau keompoknya.   Apalahi jika ternyata itu tidak benar, tentu menjadi sebuah fitnah yang keji.  Bukankah fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan.

Seorang teman mengatakan bahwa hal seperti itu jamak dalam pertarungan politik.  Bahkan teman tadi menasehati siapapun yang terjun ke politik harus siap difitnah, dihujat, diburu bahkan dibunuh.  Betulahkan politik seganas (seburuh itu)?   Betulkah dalam pertarungan politik segala cara dihalalkan?   Bukankah politik itu bertujuan mulia, yaitu memperjuangan kemakmuran masyarakat?  Bukahkah dalam perjuangan itu tidak hanya harus bertujuan baik, tetapi cara yang ditempuh juga harus baik?

Saya jadi teringat ketika beberapa tahun lalu terlibat dalam inisiasi pengarusutamaan pendidikan karakter.   Seorang teman mengatakan, segala problema bangsa ini berawal dari karakter yang kurang terpuji.  Perilaku yang tidak jujur, ingin menang sendiri dan ingin mendapatkan seuatu yang melebihi haknya.  Perilaku yang tidak menghagai hak-hak orang lain.  Perilaku yang serakah.  Kawan lain bahkan menyontohkan singa yang hanya berburu jika lapar, namun manusia seringkali “menimbun kekayaan dan menumpuk kekuasaan”, walaupun tidak sedang kekurangan dam sebenarnya sudah berkuasa.

Apakah fenomena saling serang tadi termasuk yang digambarkan sebagai perilaku berebut kekuasaan?  Saya kurang faham.  Mungkin para ahli psikologi yang dapat menjawab.  Namun, sekali lagi yang saya risaukan adalah pengaruhnya kepada anak-anak.  Memang seorang kawan bercerita, anak-anak sekarang sudah bosan dengan perilaku elite seperti itu, sehingga mereka tidak akan terpengaruh bahkan akan mencibirnya.  Semoga saja dugaan kawan yang terakhir ini benar adanya.  Jika masih ada orang yang terpengaruh, moga-moga tidak banyak jumlahnya.

Tidak ada komentar: