Minggu, 01 Juni 2014

TUJUAN BAIK, CARANYA JUGA HARUS BAIK



Masih tentang UN 2014.  Sebagai koordinator pengawas Jawa Timur saya kaget ketika membaca berita tentang joki ganas dan joki gosok.   Lebih kaget lagi ketika kepolisian menemukan sumber joki ganas dan gosok adalah “pencurian soal” oleh Kepala Sekolah SMA Lamongan.  Dan itu dilakukan secara “berjamaah”.

Kebetulan ada  beberapa mahasiswa PPs Unesa dari Lamongan, sehingga saya mencoba mencari informasi bagaimana itu terjadi.  Saya berusaha bertanya sebagai sesama pendidik, dengan harapan mendapatkan informasi yang sebenarnya.  Tentu bukan masalah pidana yang ingin saya cari, biarlah itu ditangani oleh aparat yang berkompeten.  Yang saya ingin cari adalah informasi dari sudut padang pendidikan.  Dan hasilnya sungguh mengejutkan. 

Konon beberapa tahun lalu ada sebuah SMA Swasta di Lamongan yang banyak siswanya tidak lulus UN.  Sekolah tersebut dirusak oleh masyarakat dan tahun berikutnya tidak mendapatkan siswa baru.  Fenomena itu menghantui para kepala sekolah.  Apalagi sudah menjadi rahasia umum kalau hasil dalam UN menjadi indikator prestasi kepala sekolah, bahkan prestasi Kepala Dinas Pendidikan.

Mereka semakin takut ketika hasil try out menunjukkan banyak siswa yang mendapatkan nilai jelek.  Mereka dapat informasi soal UN 2014 memang lebih sulit, karena dimasuki soal-soal PISA dan soal-soal prediktif buatan dosen.   Kalau dalam UN mereka tetap mendapat nilai seperti itu tentu mereka tidak akan lulus.  Dan jika banyak siswa yang tidak lulus, posisi mereka sebagai kepala sekolah mungkin tidak aman.

Informasi yang saya dapat dari teman-teman Lamongan, perpaduan antara kasihan kepada siswa jika tidak lulus UN dan ketakutan mendapatkan penilaian jelek jika banyak tidak lulus, menjadi alas an mengapa kepala sekolah sampai “mencuri” soal UN.  Itupun masih ditambah ketakutan kalau prestasi UN turun drastis, karena tahun 2013 Kab Lamongan menjadi kabupaten peringkat teratas di Jawa Timur.

Mendengar penjelasan teman-teman Lamongan saya jadi berpikir, mungkin tujuannya baik, terutama keinginan untuk membantu agar siswa dapat lulus UN dengan nilai baik.  Namun cara yang ditempuh tampaknya jauh dari tepat.  Bahkan dapat dikatakan salah besar.  Dapat dibayangkan bagaimana kalau kejadian itu diketahui oleh siswa kelas dua.  Mereka akan mengatakan tidak perlu belajar keras untuk UN.  Toh nanti akan dicarikan jawaban oleh kepala sekolah.

Merenungkan kasus itu, saya menjadi teringat fenomena saat mendampingi Mendikbud melihat try out yang dilaksanakan oleh Jawa Pos bekerjasama dengan sebuah Bimbingan Belajar.  Ketika itu instruktur Bimbel menjelaskan bagaimana cara mengerjakan soal UN dengan cara cepat. Sungguh mencengangkan, instrukur tersebut dapat mengajarkan trik-trik mengerjakan soal UN tanpa memikir seperti yang biasa diajarkan para guru.  Memang jauh lebih cepat dan tidak perlu melakukan analisis seperti yang diajarkan guru. Hasilnya sama akurat tetapi jauh lebih cepat.  Tentu ini sangat membantu siswa dalam mengerjakan UN yang waktunya sangat pendek.

Saya membayangkan jika begitu naik kelas tiga siswa langsung ikut bimbingan belajar dan diajarkan trik-trik seperti itu, sangat mungkin siswa dapat mengerjakan UN dengan cepat dan hasilnya baik.   Pertanyaannya apakah siswa benar-benar faham substansi soal atau hanya mengerjakan dengan trik-trik yang tidak perlu faham materi yang sebenarnya.  Saya takut, walaupun mungkin mereka dapat mengerjakan soal-soal UN dengan nilai baik, tetapi sebenarnya mereka tidak memahami konsep materi ajar.  Mungkin itu yang merupakan penjelasan  adanya beberapa anak lulus ke PTN favorit tetapi kesulitan mengikuti perkuliahan.

Fenomena di atas menunjukkan adanya guru/orang tua/instruktur yang sebenarnya ingin membantu siswa agar lulus ujian dan atau dapat masuk PTN favorit, tetapi caranya yang keliru.   Tujuannya mungkin baik, karena ingin membantu tetapi cara yang ditempuh malah kontra produktif.  Cara yang ditempuh membuat anak-anak malas belajar, dapat lulus dan masuk PTN tetapi kesulitan ketika mengikuti perkuliahan.  Menjadi tugas para pendidik/orangtua/ instruktur bimbel untuk merenungkan fenomena itu.  Semoga.

Tidak ada komentar: