Selasa, 10 Juni 2014

UNDERESTIMATE PADA SISWA



Senin 9 Juni 2014 pukul 13.00 saya mengisi acara di STKIP Al Hikmah.  Sebagaimana diketahui  Lembaga Al Hikmah yang selama ini mengelola TK, SD, SMP dan SMA Al Hikmah, mendirikan STKIP (Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan).  Tahun akademik 2014/2015 mulai menerima mahasiswa baru untuk 2 program studi, yaitu Pendidikan Matematika dan Pendidikan Bahasa Inggris.

Ciri khusus STKIP Al Hikmah adalah seluruh mahasiswanya diasrama dan mendapatkan beasiswa penuh.  Artinya mahasiswa tidak membayar sama sekali, sampai lulus termasuk biaya tinggal dan makan di asrama.  Jumlah mahasiswa per prodi dibatasi maksimal 25 orang dan menerapkan pola passing grade pada saat seleksi masuk.  Artinya calon mahasiswa diterima jika memiliki hskor asil tes (serangkaian tes) minimal tertentu.  Konon angkatan pertama (2014/2015) alokasi jumlah mahasiswa 25 tidak tercapai karena dari sekian banyak pelamar, yang memenuhi passing grade tidak sampai 25 orang.

Tampaknya STKIP Al Hikmah benar-benar ingin memulai sesuatu yang baru.  Dosennya baru-baru dan rata-rata sangat muda.  Beberapa “tokoh” pendidikan Al Hikmah yang ditunjuk menjadi pimpinan STKIP ditemani oleh 11 orang dosen baru yang muda-muda serta tampak sangat cerdas dan  bersengat.   Saya ditugasi untuk membekali para dosen mudah tersebut.  Dugaan saya, pembekalan berupa serangkaian pertemuan/diskusi/workshop dengan mengundang beberapa orang yang diangap punya pengalaman mengembangkan perguruan tinggi keguruan/pendidikan pada umumnya.

Saya faham kalau Al Hikmah memiliki sumberdana besar dan saya yakin STKIP akan dilengkapi dengan berbagai fasilitas yan bagus, termasuk sarana perkuliahan.   Ketika masuk ke ruang workshop telah disediakan laptop yang siap digunakan, papan flip chart dan sebagainya.  Peserta juga sudah siap di ruangan dengan perlengkapan masing-masing.  Namun, hari itu sengaja saya akan membekali dosen muda itu dengan teknologi minimal.  Saya membawa laptop berisi catatan materi yang akan saya sampaikan, tetapi saya memakai papa tulis (white board) saja.

Materi pokok yang ingin saya sampaikan adalah “bagaimana calon mahasiswa STKIP Al Hikmah sadar bahwa mereka belajar menjadi guru dan faham seperti apa ciri/karateristk guru yang ingin dihasilkan oleh Al Hikmah”.  Ibarat mereka mulai pengembaraan atau perjalanan, mereka faham tujuan akhir yang ingin dicapai.  Dengan mengetahui karateristik guru yang diimpikan, kita berharap selama perkuliahan mereka akan berusaha mencapai karateristik itu.

Untuk mendapatkan karateristik guru ideal, saya tidak mengacu kepada teori, tetapi setiap dosen yang muda peserta workshop saya minta menyebutkan ciri-ciri tersebut.  Jadi saya mendapatkan sederet cri-ciri guru yang ideal.  Ciri-ciri yang mereka sebutkan, kemudian kami cermati dan dipilah mana yang terkait dengan bidang studi dan mana yang berlaku untuk semua situasi.  Yang berlaku untuk segala seuatu itu disebut general skills, artinya kemampuan atau sikap yang diperlukan siapapun dan apapun profesinya.  Yang terkait dengan bidang keahlian (mapel yang diampu guru) dan kemampuan mengajar itu disebut specific skills, karena hanya diperlukan oleh guru atau bahkan guru untuk matapelajaran tertentu.

Selanjutnya saya bertanya, apakah karateristik guru ideal itu dapat dicapai dengan segera ketika mahasiswa STKIP Al Hikmah kuliah?  Atau memerlukan waktu belajar?  Ternyata mereka menjawab memerlukan waktu untuk belajar.  Nah, seandainya itu diprogram untuk dicapai dalam waktu 4 tahun (8 semester) dapatkah dibuah target tahuan atau semesteran.  Artinya, ketika sudah kuliah selama 1 tahun (2 semester) seperti apa karateristik mereka sebagai calon guru.

Mendekati akhir workshop, saya bertanya jika dianggap workshop itu suatu perkuliahan, saya menggunakan model pembelajaran apa?  Hampir semua menjawab problem based learning (PBL).  Saya katakan, sengaja saya menggunakan model PBL untuk memberi contoh bagaimana menerapkan PBL dalam pembelajaran.  Sengaja saya langsung menggunakan PBL dalam awal workshop, karena saya mimpin ketika besuk dosen memberi kuliah kepada mahasiswa juga banyak menerapkan PBL.

Ada peserta yang mengacungkan tangan dan mengatakan sulit menerapkan PBL di awal perkuliahan.  Apalagi mahasiswa baru yang belum memiliki bekal pengetahuan cukup.  PBL baru dapat diterapkan di akhir kuliah atau ketika mahasiswa sudah memiliki bekal pengetahuan yang cukup.  Betulkah begitu?

Mendapat komentar itu, saya bertanya adakah ada peserta yang punya anak atau adik atau keponakan kira-kira kelas 2 atau 3 SD?  Ternyata ada.  Saya bertanya, seandainya putra beliau diminta menanam jagung di pot dan diminta mengukur tingginya, apakah bisa?  Yang bersangkutan menjawab bisa.  Jika anak tersebut diminta menggambar jagung dan menuliskan tingginya di kertas, apa bisa?  Dijawab bisa.  Jika anak tersebut diminta 2 minggu sekali mengukur tinggi jagungnya dan menggambarkan serta menuliskan tingginya di kertas, apa bisa?  Dijawab bisa.  Nah, jika sudah mempunyai 3 buah gambar dengan ukurannya, dan kepada anak tersebut ditanya berapa kira-kira tinggi jagung 2 minggu lagi, apakah si anak dapat menjawab?  Dijawab bisa.  Jadi anak kelas 3 SD sudah dapat mengikuti pembelajaran PBL.  Tentu untuk problem yang sesuai dengan tingkatan berpikirnya.

Serangkaian pertanyaan kepada peserta dengan contoh kasus anak kelas 3 SD dimaksudkan untuk memberi contoh agar kita jangan underestimate (memandang rendah) terhadap anak-anak (mahasiswa).  Mahasiswa dapat diajak menerapkan PBL, dengan catatan masalah yang dibahas sesuai dengan tingkatan berpikir dan lingkungan sekitarnya.  Sengaja saya tidak menjawab berdasar teori, tetapi dengan contoh yang mereka kenali.

Underestimate terhadap anak/siswa sering terjadi dalam dunia pendidikan.   Seringkali guru dan dosen menganggap siswa/mahasiswa tidak dapat memahami materi pelajaran/kuliah tanpa diterangkan.  Akibatnya materi apapun yang tercantum di kurikulum dijelaskan panjang lebar.  Akibatnya siswa menjadi terbiasa dan tidak mau mencari atau belajar sendiri.  Keterbiasaan seperti itu bahkan menjadi ketergantungan.  Siswa dan mahasiswa kemudian bergantung kepada penjelasan guru/dosen.  Kita jarang melihat mahasiswa memperlajari materi sebelum dosen menerangkan.  Seakan-akan mahasiswa harus diterangkah lebih dahulu dan baru memperdalam setelahnya.

Kebiasaan tersebut yang tampaknya menjadi salah satu sebab prinsip life long learning (belajar sepanjang hayat) sulit untuk berjalan.  Seakan-akan siswa atau mahasiswa selesai belajar setelah selesai sekolah/kuliah. UN dan skripsi/tesis/disertasi adalah upaya belajar terakhir.  Dan itu ternyata akibat guru/dosen kurang membiasakan siswa/mahasiswa belajar sendiri.  Dan itu karena underestimate guru/dosen sehingga selalu menerangkan semua hal kepada siswa/mahasiswa.

1 komentar:

Maharti Rn mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.