Selasa, 03 Juni 2014

ISI VERSUS PROSES DALAM KURIKULUM



Ketika memberi seminar atau pelatihan tentang Pendidikan Karakter saya sering mendapatkan pertanyaan apakah jika memberi penekanan karakter kita tidak kehabisan waktu, sehingga materi ajar tidak dapat terselesaikan.  Pertanyaan serupa juga sering saya dapatkan ketika membantu memberikan pelatihan Kurikulum 2013.  Sebagaimana diketahui Kurikulum 2013 memberikan penekanan yang cukup besar pada ranah afektif.

Pertanyaan tersebut perlu mendapat perhatian dari kalangan ahli pendidikan, karena mengindikasikan pemahaman si penanya terhadap pengertian kurikulum belum utuh.  Secara sederhana kurikulum itu ibarat cetak biru (blue print) sebuah gedung yang akan dibangun.  Cetak biru akan memuat gambar gedung, bahan yang dipakai, kualifikasi tukang yang mengerjakan, waktu pengerjaan dan cara menguji hasil pekerjaan.

Gambar gedung menunjukkan wujud gedung sesudah jadi, maupun bagian-bagiannya.  Itu analog dengan SKL (standar kompetensi lulusan) yaitu kompetensi saat siswa lulus dan juga KI (kompetensi ini) serta KD (kompetensi dasar) yaitu kompetensi yang harus dicapai siswa saat menyelesaikan pokok bahasan atau matapelajaran tertentu.

Bahan untuk bangunan itu ibarat materi ajar.  Apa yang diajarkan untuk membentuk komptensi yang diharapkan.  Gambar detail dan panduan dalam RKS (rencana kerja dan syarat) menunjukkan bagaimana tahapan membangun.  Itu ibarat bagaimana metoda atau proses pembelajaran seharusnya dilakukan untuk mencapai kompetensi yang diharapkan.  Kualifikasi tukang itu ibarat kualifikasi guru, sedangkan uji pekerjaan itu itu ibarat tes untuk memastikan bahwa KI,KD dan SKL telah tercapai.

Pemaknaan kurikulum sebagai daftar matapelajaran dan daftar isi untuk setiap matapelajaran kurang utuh atau lebih tegaskan keliru.  Sebagaimana blue print atau sering disebut gambar bestek di pembangunan gedung, kurikulum harus membuat SKL/KI/KD, materi ajar, proses pembejaran, kualifikasi guru dan cara menguji apakah SKL/KI/KD telah tercapai.

Lantas apa hubungannya dengan pertanyaan guru tadi?  Terkesan kuat bahwa yang ingin dicapai adalah “menghabiskan” materi ajar atau paling jauh agar siswa menguasai materi ajar itu.  Pada hal materi ajar itu “sekedar” bahan dan harus dicapai adalah SKL/KI/KD.  Dan dalam SKL/KI/KD terkandung aspek-aspek karakter (ranah afektif).  Disamping tentu saja, ranah kognitif dan psikomotor.  Kalau kita lihat SKL, baik pada Kurikulum 2013 maupun Kurikulum 2004, aspek karakter tidak kalah kental dibanding kognitif dan psikomotor.  Artinya, jika arah pembelajaran adalah adalah untuk mencapai KD/KI/SKL maka aspek karakter tidak boleh ditinggalkan atau dikalahkan dengan menghabiskan materi ajar (ranah kognitif) semata.

Apakah dengan memberikan penekanan aspek karakter, ranah kognitif dan psikomotor akan terhambat?  Rasanya tidak.  Misalnya jika siswa didorong untuk jujur dan kerja keras, apakah pencapaian ranah kognitif akan terhambat?  Apakah jika anak didorong untuk belajar berkerjasama dan berempati kepada orang yang sedang kesulitan, pencapaian ranah kognitif dan psikomotor terhambat?  Apakah jika siswa didorong untuk belajar toleransi kemampuan kognitif akan terhambat?

Sebenarnya pengembangan ranah afektif (aspek karakter) dapat diintegrasikan kedalam pemilihan model pembelajaran yang cocok.  Kejujuran dapat diintegrasikan kepada semua matapelajaran, misalnya tidak menyontek saat ujian, tidak menyiplak saat membuat laporan dan karya tulis lainnya, tidak memanipulasi data saat praktikum dan sebagainya.  Pengembangan kemampuan kerjasama dalam diintegrasikan setiap matapelajaran saat mereka kerja kelompok, baik di kelas teori maupun praktikum.  Kemampuan toleransi dapat diintegrasikan kepada saat diskusi yang memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat.  Bahkan dapat dirancang soal-soal pemecahan masalah yang memberi peluang setiap orang punya solusi yang tidak tepat sama. Tentu disesuaikan dengan topik yang cocok.

Jadi pengembangan ranah afektif (aspek karakter) lebih terkait dengan pemilihan model pembelajaran.  Di samping itu, saya yakin kalau kita mampu mengembangkan aspek-aspek karakter, misalnya jujur, kerja keras, disiplin, suka menolong orang lain, kemampuan dalam ranah kognitif justru akan meningkat.  Bukankah jujur, disiplin, kerja keras, pantang menyerah, kerjasama dan sejenis itu merupakan syarat penting untuk berprestasi.

Yang perlu mendapat perhatian dan ini yang di masa lampau kurang mendapat perhatian adalah bahwa pengembangan ranah afektif (aspek karakter) itu sengaja dirancang (by design) dan diukur hasilnya.  Bukan seperti masa lalu yang sekedar dijadikan hidden curriculum yang sekedar “dititipkan” dan tidak diukur hasilnya.  Karena telah menjadi KD/KI/SKL maka pencapaiannya harus diukur dan dijadikan bagian dari prestasi siswa. Semoga.

Tidak ada komentar: