Kamis, 15 September 2016

BEGITU KONTRAS YA?




Pagi ini sekitar jam 7.50 saya naik taksi dari Bandara Soekarno Hatta ke Hotel Menara Peninsula di daerah Slipi Jakarta.  Biasanya saya naik Uber, tetapi entah karena apa pagi ini saya ingin naik taksi. Oleh karena itu, begitu keluar dari gedung bandara saya langsung menuju lokasi taksi.  Agak berbeda seperti biasanya, hari ini taksi antre dalam satu jalur tanpa membedakan persusahaan taksinya. Jadi penumpang yang terdepan mendapat taksi yang antrenya paling depan.  Saya mendapat taksi ekspres dengan sopir agak tua benama Pak Sukamto.

Sambil berjalan, saya mencoba mengamati Pak Sopir dari belakang.  Rambutnya sudah memutih, lebih banyak yang putih dibanding yang hitam.  Dugaan saya beliau bersia 60 tahunan.  Saya bertanya, sudah berapa lama membawa taksi expres, dijawab sudah 8 tahun.  Saya menanggapi dengan setengah bertanya, berarti sudah pernah mendapatkan pembagian mobil bekas taksi.  Dijawab, sudah dan sudah dijual laku 50 juta.

Suara Pak Kamto cukup jelas, tetapi agak pelan. Rambutnya yang memutih tampak acak-acaknya, sehingga saya menduga sudah membawa taksi mulai semalam.  Saya tidak berani bertanya, kapan keluar pool. Toh cara mengemudi bagus dan tidak tampak kalau beliau ngantuk. Saya mengajak ngobrol terus agar beliau tidak mengantuk. Karena sampai Grogol lalu lintas lancar, taksi dapat melaju dengan kecepatan sekitar 80 km/jam.

Menjelas fly over Slipi, seperti biasa lalu lintas tersendat.  Bahkan sesudah taksi keluar dari jalan tol, lalu lintas cenderung sangat padat.  Pak sopir dengan susah payah pindah jalur dari kanan ke kiri.  Beruntung Pak Kamto sabar, sehingga tidak memotong-motong mobil lain.  Namun tentu akibatnya taksi berjalan sangat lambat, bahkan beberapa kali berhenti.

Menjelang perempatan Slipi taksi berhenti beberapa kali karena lampu lalu lintas menyala merah.  Saya melihat di depan taksi ekspres yang saya naiki ada mobil mewah berwarna merah menyala.  Pintunya hanya dua, yang menunjukkan itu mobil sport.  Walaupun saya tidak ingin menyebut merknya, dugaan saya jumlah mobil seperti itu dapat dihitung dengan jari di Jakarta.  Mengapa? Karena konon harganya selangit, sehingga hanya mereka yang superkaya yang dapat membelinya.

Nah, ketika lalu lintas berhenti karena lampu merah tampak beberapa orang pengasong yang menawarkan minuman atau makanan kecil sejenis tahu dan kacang. Dengan memanggul dagangan mereka berjalan di sela-sela mobil yang berhenti.  Pas ketika pedagang asongan yang memanggul kacang, tahu dan makanan kecil lainnya berada di samping mobil mewah di depan taksi yang saya naiki, pikiran saya mendadak tersentak.  Pedagang asongan berkaos lusuh, bersandal jepit, sedang memanggul dagangan sambil menghiba menawarkan dagangannya.  Sementara di sebelahnya, ada mobil mewah yang tentu yang naik adalah orang yang superkaya.  Memang saya tidak dapat melihat, siapa dan seperti apa pakaian si pengendara mobil mewah itu, tetapi tentu saya menduga beliau berpakaian perlente, memakai arloji berharga ratusan juga dan mungkin saja memakai minyak wangi yang juga jutaan harganya.

Sambil melirik Pak Kamto yang bolak-balik menghela napas panjang, saya juga ikut menghela napas panjang.  Saya tidak tahu mengapa Pak Kamto menghela napas panjang.  Kalau saya menghela napas panjang karena menyaksikan sesuatu yang sangat kontas di depan mata saya.  Sama-sama warga bangsa ini, yang satu berpakaian lusuh, mengais rejeki dengan memanggul minuman di sela-sela mobil di jalan raya, sementara di sebelahnya melenggang mobil mewah yang harganya entah berapa kali harga dagangan yang dipanggung di padagang asongan.

Apakah memang harus begitu ya?  Bahwa si super mungkin sudah bekerja keras dan atau cerdik pandai sehingga kaya saya dapat mengerti.  Bahwa si pengasong mungkin tidak punya keahlian dan berasal dari keluarga kurang mampu sehingga miskin, saya juga faham.  Namun, bukankah kerelaan mengasong di jalan raya sudah merupakan dia mau bekerja keras?   Mengapa sama-sama bekerja keras, kondisinya demikian kontras?

Menerungkan itu, saya jadi teringat cerita tentang lingkaran kemiskinan struktural.  Atau mungkin ada lingkaran kekayaan strutural.  Karena orangtuanya miskin, anaknya tidak sekolah atau sekolah di sekolah yang jelek, sehingga bodoh.  Setelah itu bekerja seadanya tanpa modal dan akhirnya miskin lagi.  Sementara anak orang kaya bersekolah di sekolah yang bagus dan sampai jenjang tinggi, sehingga menjadi orang pandai.  Pandai dan punya modal, sehingga akhirnya kaya.

Apakah kondisi kontras semacam itu yang menyebab gini ratio kita jelek?  Tentu ada hitungan untuk menemukan gini ratio, tetapi bukankah contoh kontras di jalanan Slipi itu indikator yang jelas?  Pertanyaannya, apa yang harus kita lakukan? Bukankah tugas negara untuk mengurangi kesenjangan itu?  Jujur saya tidak tahu jawabnya.  Saya hanya dapat berdo’a semoga kesenjangan seperti itu segera hilang, paling tidak segera berkurang.

Tidak ada komentar: