Selasa, 20 September 2016

DISCONTINUITY



Saya mendengar pertamakali istilah discontinuity dari Dr. Boedino pada awal tahun 1990an, saat itu beliau sebagai Kepala Balitbang Dikbud.  Dalam kamus Bahasa Inggris-Indonesia susunan John Echols, discontinuity diartikan sebagai keadaan yang terputus, keadaan yang tidak bersambung. Kalau menggunakan istilah sekarang mungkin, ketidaksinambungan.

Pada waktu itu beliau menjelaskan ketidaksinambungan iptek atau konsep karena ada temuan baru yang memiliki nature dengan teknologi sebelumnya.  Karena beliau ekonom, tentu memberi contoh dalam bidang ekonomi.  Waktu itu saya mecoba memahami dengan cara menganalogikan contoh yang beliau berikat dengan bidang saya.  Misalnya penemuan mesin pembakaran dalam (internal combustion engine) yang kemudian menghilangkan mesin uap.  Pompa sentrifugal, yang walaupun fungsinya sama tetapi sangat berbeda dan menggusur pompa plunyer. 

Akhir-akhir ini saya mengamati discontinuity juga terjadi pada program pemerintah, instansi, organisasi ketika pergantian pimpinan.  Istilah yang sering mucul di lapangan adalah “ganti pimpinan ganti kebijakan”. Sebenarnya tidak ada yang salah, karena seiring dengan perjalanan waktu sangat mungkin terjadi perubahan tantangan, sehingga pemimpin yan baru perlu mengubah kebijakan yang mungkin sudah tidak sesuai lagi.

Namun yang kadang-kadang terjadi dan merisaukan adalah perubahan kebijakan itu terasa tanpa dilandasi kajian yang memadai.  Meminjam referensi pada Policy Analysis, perubahan kebijakan itu tidak dilandasi agenda setting dan policy research yang memadai.  Ada kesan, policy itu muncul dari keinginan pemimpin dan bukan kebutuhan lapangan.  Bahkan terasa, adanya pemimpin yang kalau meminjam istilah yang digunakan oleh Robin Sarma yaitu yang “link leadership to legacy”, keinginan untuk meninggalkan warisan sebagai penciri setelah lengser.  Seringkali program belum tuntas ditinggal dan berpindah ke program baru tanpa adanya kesinambungan.

Dalam referensi tentang tentang organisasi, memang disebutkan kalau sistem di organisasi sudah mapan, maka pergantian pemimpin tidak akan mengubah kebijakan secara drastis, sehingga pemimpin tidak tampak menonjol. Sebaliknya jika sistem di organisasi itu belum mapan, pergantian pemimpin akan menyebabkan terjadinya perubahan kebijakan yang menonjol.  Dengan bahasa lain, jika organisasinya mapan, yang menonjol sistemnya bukan pemimpinnya.  Sebaliknya jika organisasinya belum mapan, yang menonjol pemimpinannya dan bukan sistemnya.

Apakah organisasi di Indonesia banyak yang belum mapan sistemnya?  Itulah pertanyaan yang mengganjal benak saya beberapa hari ini.  Bukankah kita sudah merdeka 71 tahun?  Bukankah banyak lembaga yang dipimpin para cerdik cendikia?  Bukankah banyak ahli manajemen organisasi yang kita miliki?  Bukankah para pemimpin di pemerintahan pada umumnya sudah mengikuti kursus kepemimpinan?

Apakah fenomena discontinuity hanya terjadi di organisasi kecil?  Ternyata tidak.  Bahkan di organisasi pemerintahan juga banyak terjadi.  Saya kira munculnya gagasan untuk menghidupkan lagi GBHN juga tidak terlepas adanya fenomena discontinuity.  GHBN dianggap mampu sebagai pengikat, siapapun pemimpinannya harus menggunakannya dan diharapkan itu merupakan program jangka panjang yang saling sinambung.

Fenomena discontunity rasanya perlu segera dicarikan jalan keluar, karena dampaknya cukup serius.  Seringkali perkembangan organisasi/lembaga hanya melngkar-lingkar tanpa banyak bergerak, karena pemimpin yang baru selalu memuliai hal yang baru dan meninggalkan apa yang telah dimulai oleh pemimpin sebelumnya.  Nah, karena masa jabatan pemimpin yang pada umumnya tidak lama, semua inovasi atau pogram tidak selesai dengan tuntas.  Jadinya semua menjadi setengah-setengah.

Tidak ada komentar: