Selasa, 13 September 2016

DUREN UCOK



Sebenarnya sudah lama saya mendengar istilah duren ucok.  Seingat saya, setiap ke Medan atau akan ke Medan, beberapa teman selalu bilang jangan lupa duren ucok.  Bahkan ketika beberapa minggu lalu, Prof Syawal Gultom, rektor Unimed, datang ke Surabaya dan kami ajak makan di restoran Bu Rudi dan si empunya restoran itu menemui kami, beliau juga menyebut duren ucok.  Sepertinya duren ucok sudah menjadi trade mark kota Medan, seperti rujak cinggur menjadi trade mark kota Surabaya.

Oleh karena itu ketika baru-baru ini ada acara ke Medan dan Pak Syawal menawari ke duren ucok, langsung saja saya mengiyakan.  Jadilah, setelah makan malam di restoran sea food Beringin kami rame-rame ke duren ucok.  Kebetulan saya satu mobil dengan Pak Sofyan-Kepala LPMP Medan, Pak Pranata-Dirjen GTK, dan Pak Hamid-guru besar UPI.  Ketika mendekati lokasi, Pak Sofyan bercerita bagaimana awalnya duren ucok.

Saat itu, saya baru tahu kalau “ucok” bukanlah jenis duren seperti yang selama ini saya duga.  Ternyata “ucok” itu nama orang-si pemilik toko/restoran penjual duren itu. Pak Sofyan bercerita, pada awalnya Pak Ucok adalah penjual duren di pinggir jalan, tetapi memiliki keahlian memilih duren yang bagus. Hanya duren yang bagus yang dijual, sehingga laris karena ada jaminan kalau membeli duren ke Pak Ucok pastilah bagus.

Ketika mulai berkembang Pak Ucok membeli rumah yang konon banyak hantunya dan tidak laku dijual. Lebih berkembang lagi, Pak Ucok memberi sederet ruko yang lokasinya tepat di depan “rumah hantu” itu. Saya hitung setara dengan lima ruko yang konon dibeli Pak Ucok seharga 5 milyar rupiah.

Kami datang pas hujan.  Pak Ucok sudah menyiapkan petugas pembawa payung untuk menjemput pengunjung yang turun dari mobil. Ternyata di depan ruko dipasang tenda besar sebagai perluasan dan disitulah pada umumnya pembeli makan duren.  Toko aslinya, bagian dalam dimanfaatkan, untuk pembeli yang ingin ruangan ber-AC dan sebagian untuk jualan macam-macam.  Jadi sekarang “duren ucok” tidak hanya melayani orang yang ingin makan duren, tetapi juga restoran, toko pakaian dan sebagainya.

Pak Syawal menjanjikan kami untuk bertemu dengan Pak Ucok dan kesampaian.  Bahkan kami sempat berfoto dan berdialog pendek.  Orangnya berkulit sawo matang, sedikit pendek dan sangat ramah.  Saat itu beliau mengenakan baju warna oranye dan tangan kirinya memakai sarung tangan. Tampaknya iu digunakan untuk memegang duren.

Dari dialog pendek, mengamati gerak-geriknya dan informasi yang saya terima dari Pak Sofyan maupun Pak Syawal, saya menyimpulkan ada beberapa yang menarik untuk dijadikan pelajaran. Pertama, Pak Ucok memiliki keahlian khusus dalam memilih duren dan terus mengasah keahliannya itu. Pak Syawal maupun Pak Sofyan bercerita ketika datang truk membawa duren, Pak Ucok langsung dapat mengatakan mana yang diturunkan-maksudnya ok, dan mana yang tidak diturunkan-maksudnya ditolak.  Beberapa anak buahnya akan yang meniru tetapi belum seahli Pak Ucok.  Keahlian itulah yang konon dipelajari bertahun-tahun sejak jualan di tepi jalan dan terus diasahnya sampai sekarang.  Oleh karena itu, walaupun sudah menjadi orang kaya, Pak Ucok tetap saja menjalankan perannya memilih duren yang baik. Sarung tangan yang dipakai di tangan kiri itulah salah satu tandanya.

Kedua, Pak Ucok pandai berinovasi dalam dagang duren.  Di samping melayani orang yang ingin makan duren di tempat, Pak Ucok juga melayani orang yang ingin membawa pulan duren.  Tidak hanya berupa duren “glundungan-utuh”, tetapi sudah dimasukkan dalam taper ware dan dimasukkan lagi ke dalam kota yang memungkinkan dibawa dalam pesawat.  Beberapa teman di rombongan kami juga memberi duren kotakan itu.  Sudah ada tarip sesuai dengan ukuran kotaknya.

Ketiga, Pak Ucok selalu menjaga mutu duren. Tentu ketika duren dibuka, tidak semua baik. Nah yang kurang baik, tidak disajikan pada pembeli yang ingin makan di tempat dan juga tidak dimasukkan dalam kotak duren untuk dikirim.  Bagaimana yang tersortir?  Dibuang?  Ternyata tidak, tetapi dijadikan lempok.  Di pingir tenda, saya melihat petugas yang memecahi duren untuk dimasukkan ke dalam kotak.  Hanya yang baik yang dimasukkan, sedangkan yang kurang baik ditampung di ember besar untuk nanti diolah menjadi lempok.

Ke-empat, Pak Ucok sepertinya sudah menerapkan psikologi marketing yang canggih.  Dia tampak berusaha akarb dengan pembeli.  Dia berkeliling sambil menyapa pembeli.  Ketika rombongan kami ingin berfoto dilayani dengan baik. Bahkan sambil menunjukkan gaya yang lucu.

Semoga banyak Ucok-Ucok baru, tidak hanya untuk duren tetapi juga untuk produk lokal lainnya.  Tidak hanya di Medan tetapi juga di kota-kota lainnya.  Prinsipnya banyak orang yang mampu mempopulerkan produk lokal kita.

Tidak ada komentar: