Selasa, 06 September 2016

SERTIFIKASI GURU-JALAN TAK BERUJUNG



Sebenarnya saya sudah jenuh mengurusi sertifikasi guru.  Awal tahun 2006 saya sudah ditunjuk Prof Sukamto, waktu itu Direktur di Dikti yang mengurusi LPTK (saya sudah lupa nama direktoratnya), untuk mengetuai sebuah tim yang bertugas menyiapkan konsep sertifikasi guru.  Saya sudah lupa berapa anggota tim, yang pasti sangat besar.

Pada awalnya, sertifikasi guru diwujudkan dalam bentuk tes.  Namanya saja sertifikasi dan hasilnya pemberian sertifikat bagi yang lulus.  Oleh karena itu disiapkan sebuah tes tulis yang dilanjutkan dengan tes kinerja bagi yang lulus.  Penyusunan tes itulah yang melibatkan sangat banyak orang.  Seingat saya tiga orang untuk setiap matapelajaran.  Bahkan untuk tes kinerja disiapkan oleh lima orang.  Tes tulis maupun tes kinerja sudah diujicoba dan tes tulis dikemas dalam bentuk bateri tes.

Saya kedodoran dalam memimpi tim, karena kemudian terpilih sebagai Pembantu Rektor IV Unesa.  Beruntung, Prof Haris Supratno tidak keberatan saya tetap memimpin tim nasional sertifikasi guru,yang hampir dua minggu sekali harus rapat.  Juga beruntung Kasubdit yang menangani operasional tim itu, Drs. Siswanto Hadi,Msi. mengijinkan sering-sering rapat tim dilakukan di Surabaya.

Tidak tahu apa alasannya, kemudian saya ditunjuk Mendikbud untuk menggantikan Prof Sukamto dan nama direktoratnya diubah menjadi Direktorat Ketenagaan.  Oleh karena itu ketua tim diserahkan (kalau tidak salah) kepada Prof. Mukadis dari Universitas Negeri Malang.  Beliaulah yang mengomandasi tim sampai semua perangkat tes untuk sertifikasi guru siap digunakan.  Namun demikian tetap saja, sebagai Direktur Ketenagaan saya yang harus bertanggung jawab pelaksanaan sertifikasi guru secara nasional.

Pola sertifikasi guru yang berbentuk tes ternyata ditolak oleh DPR dengan berbagai alasan.  Seingat saya alasan yang menonjol, DPR khawatir banyak guru yang tidak lulus.  Pada hal menurut DPR aspek utama sertifikasi adalah meningkatkan penghasilan guru, melalui pemberian tunjangan profesi bagi guru yang sudah memiliki sertifikat.  Terjadilah perdebatan dan tarik-menarik bagaimana bentuk sertifikasi guru.  Di satu sisi harus ada tes untuk membuktikan bahwa guru yang menerima sertifikat telah memenuhi kompetensi yang ditentukan, di lain pihak harus ada upaya untuk membuat guru lulus tes tersebut.  Akhirnya dicapai kesepakatan melaui portofolio dan PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru) bagi mereka yang tidak lulus portofolio.

Pola portofolio dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada guru-guru berprestasi dan atau guru berpendidikan S2/S3 dan atau guru berpengalaman dapat lulus sertfikasi tanpa mengikuti PLPG.  Seingat saya waktu itu digunakan analogi sopir bis.  Sopir bis yang sudah bertahun-tahun mengemudikan bis dan bagus, apa harus ikut pelatihan untuk mendapatkan SIM. Bukankah portofolio merupakan bukti kinerja dalam waktu panjang.  Karena itu kesepakatan dengan DPR, maka tim sertifikasi guru yang dipimpin Pak Mukadis terpaksa “melupakan tes yang dikerjakan sangat lama” dan menyusun pola baru yang disebut portofolio dan PLPG.

Pola itulah yang mulai tahun 2007 sampai dengan tahun 2015.  Ketika Juni 2010 saya berhenti menjadi Direktur Ketenagaan dan menjadi Rektor Unesa, saya agak “lepas” dari urusan sertifikasi guru secara nasional.  Namun saya tetap mengikuti dari jauh, sebagai tanggung jawab moral sebagai orang yang memulai.

Menurut saya ada beberapa masalah yang ruwet di sertifikasi guru.  Pertama, untuk dapat ikut sertifikasi, guru harus berpendidikan S1 atau D4.  Pada PP tentang guru, syarat itu sudah diperlunak dengan sebuah afirmasi, guru boleh ikut sertifikasi tanpa harus S1/D4 asalkan sudah bekerja selama sekian tahun. tahun dan golongannya sudah mencapai level tertentu.  Namun tetap saja banyak guru yang tidak dapat ikut, karena golongan belum memenuhi syarat dan karena berbagai kendala sulit mengikuti S1/D4.  Masa afirmasi itu sudah lewat, sehingga sejak tahun 2015 semua peserta sertifikasi sudah harus berpendidikan S1/D4.

Kedua, kuota sertifikasi guru terkait dengan kemampuan anggaran negara.  Bukan anggaran untuk melaksanakan PLPG, tetapi anggaran untuk memberikan tunjangan profesi.  Sebagaimana diketahui, begitu memiliki sertifikasi guru berhak mendapatkan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji.  Dapat dibayangkan jika pada tahun X sertifikasi diikuti oleh 100.000 orang dan gaji rata-rata mereka sebesar 2,5 juta, maka pada tahun X+1 harus disediakan anggaran untuk tunjangan profesi sebesar 100.000 x 12 x 2,5 juta atau 3,75 trilyun rupiah.  Itulah sebabnya kuota sertifikasi selalu dikendalikan, sesuai dengan kemampuan angaran negara.  Konon pada akhir 2015 jumlah guru yang bersertifikat sebanyak 1,3 juta sehingga anggaran per tahun untuk tunjangan profesi kira-kira 1.300.000 x 12 x 3,5 juta atau 54,6 trilyun rupiah.

Ketiga, setiap tahun terjadi “tarik-menarik” tentang kelulusan sertifikasi.  Di satu sisi ingin diterapkan standar yang ketat, agar guru yang memegang sertifikat benar-benar profesiona, di lain pihak kita menyadari mutu guru kita memang kurang baik, karena di masa lalu tidak banyak anak pandai mau menjadi guru.  Akhirnya, seringkali standat kelulusan diturunkan dengan argumentasi “kemanusiaan”.  Oleh karena itu tidak heran jika tidak ada perubahan kinerja guru antara sebelum dan sesudah bersertifikat dan mendapat tunjangan profesi.  Ibarat mobil, memang cc-nya kecil, walaupun diberi bahan bakar pertamax plus kenaikkan kecepatan tidak signifikan.

Ke empat, dan ini yang paling serius sampai akhir tahun 2015 masih ada sekitar 500.000 guru yang belum ikut sertifikasi, walaupun mereka sudah menjadi guru sebelum UU 14/2005 terbit.  Pada hal menurut UU 14/2005, mereka itu sudah harus S1/D4 dan memiliki sertifikat dalam waktu 10 tahun.  Jadi menurut UU 14/2015, guru semacan itu tidak boleh lagi mengajar sejak awal tahu 2016.  Celakanya guru seperti itu kebanyakan bertugas di pedesaan atau bahkan daerah 3 T, yang gurunya sangat terbatas.  Jika mereka tidak boleh mengajar tentu kekurangan guru di daerah itu akan semakin parah.  Belum lagi, belum ikutnya mereka juga bukan semata-mata kesalahan pribadi.  Mungkin saja ada guru yang belum S1/D4, karena memang tidak memungkinkan menempuh itu di tempat bertugas.  Atau juga karena kuota sertifikasi yang dibatasi, sehingga mereka belum dapat antrean.

Problem inilah yang saat ini bagaiman jalan tak berujung.  Jika ketentuan itu tidak dilanjutkan pemerintah dapat dianggap melanggar UU.  Namun jika dilakukan akan banyak sekolah, khususnya di daerah 3T yang kekurangan guru.  Pada hal, UU 14/2005 juga mengamanatkan pemerintah (pusat), propinsi, kabupaten/kota dan yayasan wajib memastikan agar sekolah memiliki guru dalam jumlah, kualifikasi dan kompetensi yang baik.  Jadi mirip dengan buah simalakama.

Belum lagi ketika dicermati guru yang belum S1/D4 dan tinggal di daerah 3 T itu tidak mudah untuk menempuh S1.  Tentu tidak ada LPTK di lokasi semacam itu.  Seringkali tidak ada listrik, tidak ada toko buku dan tentu tidak ada sinyal.  Dapat dibayangkan bagaimana sulitnya menempuh S1/D4 dengan kondisi seperti itu.  Pada hal tanpa ijasah S1/D4 tentu mereka tidak dapat ikut sertifikasi guru.  Pada hal mereka itulah “pejuang pendidikan” karena rela mengabdikan diri diaerah yang tidak banyak orang mau melakukan.

Ada gagasan untuk menerbitkan Perpu untuk membatalkan pasal yang mengatakan bahwa dalam 10 tahun guru harus memiliki ijasah S1/D4 dan sertifikat pendidik. Bahkan membatalakan pasal yang mengatakan untuk ikut sertifikasi guru harus berpendidikan S1/D4. Namun juga ada yang mempertanyakan apa alasan mendesak sampai menerbitkan Perpu.  Sampai sekarang, diskusi itu terus berlanjut tanpa keputusan. Jadi tetap menggantung.

Repotnya, justru ketika ada masalah tak berujung itu dan saya sudah selesai menjadi rektor, sejak awal 2016 saya diminta lagi ikut dalam tim sertifikasi guru.  Mau menolak tidak enak, karena yang sekarang menangani operasional sertifikasi guru persis sama dengan yang memulainya pada tahun 2007, walaupun posisi mereka naik.  Pak Nurzaman yang dahulu menjadi eselon II sekarang menjadi sekretaris dirjen guru dan Mbak Santi yang dahulu eselon IV sekarang menjadi eselon III.


Problem bertambah lagi, karena Ditjen Dikti sekarang lepas dari Kemdikbud dan bergabung degan Kemenristek menjadi Kemenristek-Dikti.  LPTK yang menurut UU berhak melaksanakan sertifikasi guru berada di bawah Kemenristek-Dikti, sementara Ditjen yang mengatur sertifikasi guru (Ditjen GTK) berada di bawah Kemendikbud.  Walapun tampaknya sederhana dan orang-orangnya sudah saling akrap, pemisahan tersebut membuat koordinasi lebih sulit.

Tidak ada komentar: