Kamis, 08 September 2016

PENGUATAN PENDIDIKAN VOKASI



Menteri Pendidikan dan Kebudayaan baru, Prof Muhadjir Effendi ingin merevitalisasi pendidikan vokasi.  Konon itu merupakan amanah dari Presiden Jokowi yang memang memiliki perhatian terhadap pendidikan vokasi sebagai penyiapan tenaga kerja terampil tingkat menengah.  Itu terbukti, ketika beliau melawat ke Jerman, salah satu oleh-olehnya adalah kerjasama dalam pendidikan vokasi.  Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk iur pemikiran terhadap program tersebut.

Sebenarnya istilah baku dalam UU Sisdiknas untuk vocational education and training (VET) tingkat menengah itu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan pelatihan kejuruan (Kursus Keterampilan).  Istilah pendidikan vokasi digunakan untuk post secondary education (pendidikan atau latihan bagi lulusan sekolah menengah), misalnya politeknik dan akademi komunitas.  Saya menduga, Presiden tidak tahu penggunaan istilah itu, sehingga walaupun yang ingin direvitalisasi itu SMK dan Kursus, beliau menggunakan istilah pendidikan vokasi.  Atau mungkin juga yang akan direvitalisasi tidak hanya SMK dan Kursus Keterampilan tetapi juga politeknik dan akademi komunitas.

Jujur, saya tidak tahu sejarah penggunaan istilah itu, karena sejauh yang saya tahu dalam bahasa Inggris hanya dikenal satu istilah, yaitu VET atau TVET (Technical and Vocational Education and Training) di Eropa, TAFE (Teachnical and Further Education) di Australia dan Vocational Training di Amerika Serikat.  Oleh karena itu, kita sering bingung saat harus menterjemahkan SMK dan Kursus Keterampilan ke dalam bahasa Inggris.  Ketika ditunjuk sebagai ketua delegasi ke Korea Selatan 31 Agustus s.d 5 September 2016, saya terpaksa bertanya kepada Ibu Puji, Kasubdit di Direktorat PSMK, tentang istilah baku Dit PSMK dalam bahasa Inggris.  Ternyata “Directorate of Techninal and Vocational Education and Training”.  Jadi SMK diterjemahkan menjadi TVET, seperti istilah yang biasa digunakan di Eropa.

Secara konsep, pendidikan vokasi itu menyiapkan siswa/peserta didik untuk memasuki lapangan kerja bidang tertentu.  Oleh karena itu kesesuain kompetensi yang dihasilkan (supply) dan kompetensi yang diperlukan oleh dunia kerja (demand) sangat penting. Tidak hanya jenis, tetapi juga level (tingkat), jumlah dan kualitas.  Ketidaksesuaian antara supply dan demand, akan membuat lulusannya menjadi korban. Mengapa begitu?  Lulusan SMK dan Kurus Keterapilan itu sudah diberi label khusus yang terkait dengan kejuruan/ keterampilannya, sehingga idealnya harus berkerja sesuai dengan bidang kejuruan itu.

Ada baiknya kita melakukan tracer kecil-kecilan lulusan SMK.  Misalnya berapa persen lulusan SMK Tata Boga yang berkerja di bidang yang relevan.  Sisanya bekerja di mana dan mengapa tidak bekerja di bidang yang relevan. Jika sebagian lulusan bekerja di bidang yang relevan, secara sederhana kita dapat mengatakan pendidikan di SMK itu efektif.  Apalagi jika penghasilan lulusan yang bekerja di bidang kejuruan yang relevan itu bagus, sehingga secara pendidikan kejuruan dapat dikatakan efisien.  Sebaliknya jika hanya sedikit yang bekerja yang relevan dan apalagi berarti tidak efektif dan tidak efisien.  SMK adalah “sekolah mahal”, sehingga sayang kalau banyak lulusanya tidak bekerja pada bidang kejuruan yang relevan.

Dalam diskursus perencanaan pendidikan, pola pengembangan pendidikan kejuruan di Indonesia menerapkan manpower planning approch, sehingga pertanyaan berikut ini menjadi pertanyaan dasar yang harus diperoleh jawabannya. Berapa jumlah tenaga kerja untuk kejuruan itu dan seperti apa kompetensi yang harus dimiliki untuk bekerja di bidang kejuruan itu?  Tanpa jawaban terhadap pertanyaan, rancangan pendidikan kejuruan sulit untuk dilakukan.  Oleh karena itu, kerjasama sinergis antara dunia kerja dan dunia pendidikan sangat penting.  Dan ternyata mudah dilakukan, sehingga memerlukan kerja keras untuk melakukannya.

Di Indonesia, penyiapan tenaga kerja terampil tingkat menengah dilakukan oleh SMK, Kursus Keterampilan di bawah Pendidikan Masyarakat dan Kursus Keterampilan di bawah Kementerian Tenaga Kerja.  Ketiganya perlu dikoordinasikan dan disinergikan agar memiliki standar kompetesi yang sama dan berbagi peran agar tidak tumpang tindih.

Belajar dari Korea Selatan, di sama dibentuk KRIVET (Korea Research Institute for Vocational Education and Training), sebuah lembaga riset di bawah Kantor Perdana Menteri.  Krivetlah yang merancang pendidikan dan latihan vokasi di Korea Selatan. SMK dan kurus keterampilan wajib menggunakan rancangan Krivet sehingga, jumlah, jenis dan kualitas lulusan pendidikan dan latihan kejuruan standar, sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.

Terkait dengan kompetensi yang diperlukan, ada beberapa pengalaman menarik.  Sekitar bulan Juni 2016, BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) mengundang orang dunia industri (DUDI) untuk memberi masukan tentang SKL (standar kompetensi lulusan).  Hadir 2 orang, yaitu dari Astra mewakili DUDI bidang rekayasa dan dari Carefour mewakili DUDI bidang bisnis. Pendapat keduanya sangat menarik dan hampir sama.  Keduanya mengatakan, jika total kompetensi yang diperlukan karyawan itu 100, proporsi sikap kerja 70, keterampilan 30.  Jika karyawan memililiki sikap kerja bagus dan mau belajar, melatihkan keterampilan tidak perlu lama.

Pendapat tersebut mirip dengan pendapat HRD sebuah perusahaan besar di Bontang yang mengatakan, ketika merekrut calon karyawan yang dipentingkan sikap dan kemampuan dasar (kemampuan bernalar).  Dengan sikap dan kemampuan yang bagus, karyawan baru akan diberi pelatihan keterampilan dan itu tidak perlu waktu lama. Seingat saya, Prof Boediono, waktu itu sebagai Wakil Presiden, pernah berpidato di UWA-Perth Australia, mengatakan bahwa salah satu kelemahan pendidikan kita adalag generic skills, yang isinya sikap dan kemampuan dasar.

Tidak ada komentar: