Kamis, 28 Februari 2013

KURIKULUM PENTING TETAPI …………


Tanggal 26 Februari 2013 saya diudang Universitas Terbuka (UT) UPBJJ Surabaya untuk mengisi seminar bersama calon wisudawan.  Tampaknya UT UPBJJ Surabaya ingin membekali calon lulusannya.  Topiknya “Guru dan Dinamika Perubahan Kurikulum”.  Lulusan yang akan diwisuda sekitar 2000 orang.  Anggap saja 75% yang hadir, berarti seminar diikuti oleh 1500 orang.  Ya ampun.  Saya tidak faham,itu seminar atau kampanye.

Topik yang dipilih tampaknya disesuaikan dengan mayoritas lulusan dan isu yang sedang hangat.  Dari sekitar 2000 lulusan, konon sekitar 1200 adalah guru SD dan sekitar 200 adalah guru PAUD. Yang non kependidikan sangat kecil.  Jadi mayoritas lulusan adalah guru. Dan saat ini perubahan kurikulum dengan menjadi topik yang “hot”.  Berarti topik seminar yang dipilih cocok dengan profesi peserta dan isu yang sedang hangat di masyarakat.

Dengan bekal pengalaman bergaul dengan teman-teman guru, saya menyiapkan materi yang ringan saja, tetapi semoga memberi inspirasi untuk maju.  Saya tidak ingin berteori apa itu kurikulum dan berbagai implikasinya.  Toh peserta banyak, sudah senior dan tempatnya di sebuah gedung besar yang saya yakin sound systemnya tidak akan cocok untuk seminar.

Nah, diawal presentasi saya meminta yang merasa guru SD dan PAUD mengangkat tangan.  Dan benar, sebagian besar peserta angkat tangan.  Setelah itu, saya meminta guru SD dan guru PAUD yang pernah membaca kurikulum angkat tangan.  Kali ini, peserta saling berpandangan dan sepertinya berbisik-bisik.  Saya ulangi lagi, tolong jujur dan tidak takut, guru SD dan guru PAUD yang sudah pernah membaca kurikulum angkat tangan.  Yang angkat tangan tidak lebih dari 20 orang.

Selanjutnya, saya menunjuk beberapa guru yang angkat tangan dan bertanya: “Buku Keberapa dari Kurikulum yang dibaca?”.   Mereka bingung dan bertanya apa masuk saya.  Saya jawab: “OK, bagaian apa dari kurikulum yang ibu baca?”.  Tiga orang yang saya tunjuk, semua menjawab bagian silabus.

Jawaban tersebut mengkonformasi info yang selama ini saya peroleh bahwa sebenarnya tidak banyak guru yang membaca kurikulum.  Yang biasanya membaca adalah kepala sekolah atau wakil kepala sekolah bidang kurikulum.  Dan yang dibaca biasanya adalah standar isi atau dengan kata lain, silabus yang harus diajarkan oleh guru.

Jika bp/ibu tidak membaca kurikulum lantas pedoman untuk mengajar?  Hampir semua menjawab “buku paket”.   Kalau begitu, buku paket yang sebenarnya memandu guru dalam mengajar.  Oleh karena itu saya gembira ketika mendengar informasi nanti bersamaan dengan pelaksanaan Kurikulum 2013, buku guru dan buku paket disediakan oleh pemerintah dengan gratis.  Dengan begitu semestinya dijamin bahwa buku guru dan buku paket sejalan dengan kurikulum.  Dengan gratis, berarti setiap guru dan setiap siswa memiliki buku pegangan.

Namun demikian, perlu dicatat dua hal.  Pertama, buku panduan guru tidak boleh kaku dan mengungkung kreativitas guru.  Setiap kelas itu unik.  Tidak ada kelas yang benar-benar identik, baik siswa maupun situasinya.  Bahkan situasi kelas pada hari ini berbeda dengan besuk.  Oleh karena itu cara mengajar yang sukses di “Kelas A” belum tentu cocok diterapkan di “Kelas B”.  Bahkan yang cocok di “Kelas A” pada pagi hari mungkin kurang tetap untuk siang hari saat siswa capai dan mengantuk.

Gurulah yang harus menyesuaikan implementasi panduan tersebut dengan situasi dan kondisi kelas di saat mengajar, disesuaikan dengan kemampuan awal siswa, disesuaikan dengan karateristik psikologis siswa, disesuaikan dengan situasi kelas dan sebagainya.  Itulah makna guru sebagai profesional yang memiliki otoritas dan kemampuan untuk mengambil keputusan apa yang harus dilakukan dalam melaksanakan tugasnya.

Kedua, buku paket atau buku siswa harus disesuaikan dengan latar belakang geografis dan sosial budaya siswa.  Siswa di pedalaman Papua akan sulit memahami kereta api, karena belum pernah melihat.  Anak yang tinggal di pegunungan akan sulit memahami contoh gelombang laut dan sebagainya.  Jadi buku siswa harus sesuai dengan konteks sosial budaya siswa.

Nah, tentu tidak mudah membuat buku siswa yang dapat benar-benar cocok dengan konteks kehidupan setiap siswa, yang sangat beragam.  Sekali lagi tugas guru yang harus mengatur agar pembelajaran dan contoh-contoh kasus yang digunakan sesuai dengan konteks setempat siswa.  Itulah yang sebenarnya disebut pembelajaran kontekstual.  Dan itulah sebenarnya salah satu inti KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), yaitu pelaksanaan kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi sekolah (satuan pendidikan).  Dan lagi-lagi guru yang menjadi tumpuannya.

Gambaran di atas menunjukkan betapa peran penting guru.  Kurikulum penting tetapi guru jauh lebih penting.  Kurikulum yang bagus ditangani oleh guru yang tidka bagus, hasilnya tidak akan bagus.  Kurikulum yang kurang bagus, kalau gurunya bagus akan dapat berinovasi sehingga hasilnya bagus.  Oleh karena itu beberapa pakar menyebut “guru itu beyond system”.  Artinya pentingnya guru melebihi pentingnya sistem.

Masih ada satu aspek lagi yang seringkali mengalahkan peran kurikulum dalam pendidikan.  Apa itu?  Soal-soal ujian atau ulangan.  Dimanapun guru selalu ingin siswanya dapat lulus ujian dengan nilai bagus.  Akibatnya guru akan mengajarkan hal-hal yang diyakini akan keluar dalam ujian atau ulangan.  Itulah yang disebut  “teaching for the test”.  Oleh karena bagaimana kita memiliki soal-soal yang bagus untuk ulangan harian, ulangan umum dan ujian sekolah dan ujian nasional  menjadi sangat penting. 

Sayang sekali soal-soal UN dan UABN yang selama ini beredah masih kurang bagus dan cenderung menguji kemampuan berpikir level bawah.  Kalau menggunakan taksonomi Bloom, tidak banyak yang menggunakan C4 ke atas.  Akibatnya guru juga mengarahkan pembelajaran ke kognitif tingkat rendah.  Semoga Kurikulum 2013 dapat mengubah pola soal ulangan maupun ujian, sehingga mampu mendorong guru menumbuhkan kemampuan berpikir tingkat tinggi, mengembangkan karakter dan sebagainya.  Semoga. 

Tidak ada komentar: