Senin, 21 Oktober 2013

BERTANDANG KE MASYARAKAT BAJO

Saat tiba di Wangi-wangi, rombongan peserta pertemuan CRISU dan CUPT ditawari dua pilihan, mengunjungi masyarakat Bajo atau berwisata diving.   Karena tidak membawa perlengkapan renang dan juga ingin melihat Bajo yang sudah sering mendengar, saya memilih mengunjungi masyarakat Bajo.  Jim Collins dari NIU sering bercerita tentang Suku Bajo, karena pernah melakukan penelitian tentang suku itu.  Masak, banyak bule yang tahu dan orang Indonesia malah belum tahu.

Dari apa yang pernah saya baca, Suku Bajo tinggal “di laut”.  Pada awalnya mereka nomaden. Mereka tinggal di atas perahu.  Berikutnya mereka membuat rumah di pantai, dengan ditopang oleh tiang-tiang yang menancap di air.  Antara satu rumah dengan rumah lainnya dihubungkan dengan jalan dari kayu yang juga ditopang oleh tiang-tiang dari kayu.  Jadi mirip perkampungan tetapi semua dia atas air.

Mereka pelaut ulung.  Pak Ilham dari Universitas Hassanudin bercerita bahwa orang Bajo dapat menyelam sampai 15 menit tanpa peralatan apa-apa. Orang Bajo dapat menangkat ikan dengan tangan saat menyelam tersebut.  Konon kalau ada bayi lahir akan diceburkan ke laut.  Jika dapat bertahan, mereka diyakini bagian dari Suku Bajo, sedangkan jika tidak mampu bertahan, diyakini bukan bagian Suku Bajo dan dibiarkan meninggal.  Saya sendiri belum tahu praktek semacam itu.

Dari cerita yang saya dapat, mereka itu menganggap masyarakat lain sebagai “orang darat” yang suka merusak laut.  Mereka meyakini yang betul adalah pola kehidupan seperti yang mereka jalankan.   Itulah sebabnya ketika pemerintah berusaha mensosialisasikan program agar mereka tinggal di daratan ditolak.  Yang berjalan adalah membuatkan jalan penghubung antara rumah-rumah mereka.  Jika sebelumnya penghubung tersebut berupa kayu yang ditopang tiang-tiang, sekarang “jalan tanah” seperti jalan didaerah lain.

Dengan bekal pengetahuan itu saya ikut rombongan mengunjungi Suku Bajo di Wangi-wangi.  Begitu tiba di lokasi saya menjumpai situasi yang berbeda dengan yang saya bayangkan.  Perkampungan Bajo di Wangi-wangi sudah mirip perkampungan nelayan di Jawa.  Halaman rumah mereka sudah berupa lahan tanah yang bersambung dengan jalan.  Beberapa rumah juga sudah tembok bahkan ada rumah bertingkat.  Juga banyak rumah yang berdiri diatas tanah.  Mungkin pada awalnya berdiri di atas air, tetapi kemudian diurug sehingga yang tampak rumah tersebut berdiri di atas lahan tanah biasa.  Yang masih berupa “air” adalah antara rumah dan rumah lainnya.  Itupun sudah ada beberapa yang diurug juga.

Saya juga menjumpai anak-anak muda sedang berspeda motor, bermain badminton, bermain depak takraw dan bahkan ada beberapa anak muda yang sedang memakai “seragam pesepak bola”.  Ternyata mereka anggota klub sepak bola setempat.  Perilaku anak-anak remaja tidak ubahnya dengan masyarakat pada umumnya.  Juga ada beberapa rumah yang memiliki parabola.  Lagu-lagu yang terdengar dari radio atau tape atau TV juga lagu-lagu pop layaknya yang disukai anak mudah di tempat lain. Yang tampak masih beda adalah ibu-ibu yang menggunakan bedak putih tebal, seperti di kampung saya pada tahun 1970an. 

Melihat situasi tersebut saya bertanya kapan “pengurugan” itu dilakukan.  Konon sekitar akhir tahun 1990an awal tahun 2000an.  Saya lantas bertanya apa di lokasi tersebut ada sekolah.  Ternyata ada dan juga da masjid dan saya sempat sholat magrib di sana.   Saya bertanya lagi, anak-anak Suku Bajo apa perkerjaannya.  Pak Ilham agar ragu-ragu menjawab.  Konon yang tidak sekolah bekerja sebagai nelayan, tetapi yang sudah sekolah belum tahu bekerja apa.

Dari pengamatan, informasi Pak Ilham dan obrolan singkat dengan beberapa remaja di lokasi tersebut, saya menduga “budaya Bajo” akan segera hilang.  Anak-anak remaja yang masih memiliki kenangan masa kecil sebagai “anak Bajo” tinggal di “permukiman Bajo” sebelum ada pengurugan-pun tampaknya sudah terpengaruh kuat oleh “budaya orang darat”.  Main sepak bola, maik badminton, main sepak takraw, naik motor dan sebagainya.   Lokasi tempat tinggal saat ini juga sudah mirip kampung nelayan dibanding kampung air.

Kalau anak-anak remaja tersebut pada saatnya menikah dan punya anak.  Maka anak-anak mereka sudah tidak punya kenangan sebagai “anak Bajo”, tidak punya kenangan lahir di pemukiman air ala Bajo.  Yang dia alami adalah situasi seperti anak-anak nelayan pada umumnya.  Dengan begitu saya menduga budaya Bajo akan “hilang” dalam dua generasi lagi.

Jika budaya Bajo ingin dipertahankan, saya usulkan ada daerah yang dibuat sebagai konservasi.  Perkampungan dipertahan seperti semula.  Yang dilakukan adalah memberikan fasiltias pendukung, misalnya air bersih, sekolah, puskesmas dan sebagainya.  Namun semua dibuat “diatas air”.   Semoga para pakar dan pihak yang terkait dengan masalah budaya dapat memikirkan dengan lebih arif.

Tidak ada komentar: