Kamis, 10 Oktober 2013

PAK IMAN SUPRAYOGO

Beberapa hari lalu saya diskusi dengan beberapa pimpinan Unesa tentang rencana mengadakan out bond bagi pimpinan universitas, fakultas, jurusan dan staf administrasi mulai kepada biro sampai kepala sub bagian.  Tujuan pokoknya untuk memperkuat kebersamaan dan menyamakan langkah dalam mengembangkan Unesa.  Inginnya dalam acara itu dapat mengundang “tokoh” untuk memberikan pencerahan bagaimana bekerja yang baik. Bagaimana membuat terobosan.  Bagaimana bekerja tidak sekedar rutinitas mencari penghasilan.  Bagaimana bekerja dapat dijadikan pintu ibadah.

Semula ingin mengundang Mas Misbahul Huda.  Pengusaha muda dengan segudang jabatan di Grup Jawa Pos.  Harapannya Mas Huda dapat berbagi pengalaman bagaimana berangkat dari aktivis kampus (yg konon  di era Orde Baru sempat diincar petugas keamanan), kemudian dapat mentransformasikan idealismenya menjadi motor pengggerak pengembangan anak-anak perusahaan Jawa Pos.  Mulai membangunan percetakan kuno menjadi sangat modern, membanguan pabrik kertas dan terakhir membangu power plant. Di luar sebagai direktur beberapa anak perusahaan Jawa Pos, Mas Huda aktif di berbagai kegiatan sosial.  Terakhir saya mendapat informasi sedang merintis sebuah pesantren modern.

Bagi yang pernah berinteraksi dengan dia atau membaca bukunya “Orang Desa itu Militan” akan dapat menangkap betapa semangat juang Mas Huda.  Bagaimana kemampuan dia membagi waktu.  Dan tentu orang cerdas.  Dia ingin betul kuliah di perguruan tinggi ternama.  Namun orangtuanya (guru ngaji di Takeran Magetan) tidak dapat membiayai untuk les.  Dia harus belajar sendiri dari soal-soal tes masuk Perintis I. Ketika kuliah di UGM “harus puasa Senin-Kamis” agar uang kiriman cukup.  Aktif ikut pengajian dan organisasi mahasiswa, bahkan sempat menjadi mentor dan penceramah.  Namun lulus dari Jurusan Elektro UGM dalam waktu tercepat dengan predikat cum laude.  Tentu kita dapat membayangkan “kualitas Mas Huda”.

Sayang sekali ternyata pada tanggal yang sudah dirancang Mas Huda akan ke India.  Pada hal semua beliau menyatakan siap.  Namun mendadak ada tugas perusahaan yang tidak dapat digantikan orang lain.  Kami jadi bingung, siapa penggantinya.  Kami berunding dengan tetap mensyaratkan orang yang sudah teruji berhasil mengembangkan organisasi dengan banyak terobosan.  Tidak harus pengusaha.  Dapat saja pejabat pemerintahan atau aktivis organisasi sosial.

Setelah cukup lama mencari, ketemulah nama Prof. Dr. Imam Suprayogo.  Beliau baru saja selesai menjabat Rektor UIN Malik Ibrahim Malang.  Orang yang berhasil mengembangkan STAIN Malang yang merupakan “anak” IAIN Sunan Ampel Surabaya menjadi UIN Malik Ibrahim.  Induknya masih bersatus IAIN tetapi anaknya “disulap” P Imam menjadi UIN.  P Imam menyulap kampus STAIN yang rungsep menjadi kampus yang cukup megah.

Karena teman-teman setuju mengudang Prof Imam Suprayogo, saya segera menilpun beliau.  Ternyata beliau sedang di Makah, naik haji.  Saya kaget juga, karena”kok bisa ya”.  Ketika saya tanya, dengan bercanda P Imam menjelaskan.  Mau naik haji itu mudah.  Jangan minta urutan ke Kemenag, nanti lama.  Saya datang saja ke Kedubes Arab Saudi di Jakarta.  Karena sudah kenal malah ditawari apa tidak pengin naik haji.  Urusan mudah dan tidak mengurangi jatah orang Indonesia.

Itulah Pak Imam Suprayogo yang sangat pandai mencari jalan terobosan.  Tidak melanggar aturan, tidak mengganggu hak orang lain, tetapi tujuan sampai.  Beliau sering menggunakan metaphora, rektor harus boleh menggunakan mobil dan tidak selalu naik kereta api.  Maksudnya, kalau kereta api itu jalannya pasti dan diantur oleh orang lain yaitu petugas stasiun.  Semua sudah baku dan kereta api tidak boleh mencari jalan lain.  Kalau mobil, harus tetap lewat jalan raya tetapi dapat mencari jalan terobosan sekiranya jalan yang biasa dilewati macet.

Maknanya, rektor yang diberi peluang atau memiliki ruang gerak untuk berinovasi yang mungkin saja tidak tepat seperti peraturan yang selama ini digunakan.  Tetap harus sesuai dengan aturan dasar, tetapi diberi kemungkinan untuk mencari jalan yang lebih cepat, lebiih efektif, lebif efisien dan sebagainya.  Yang penting tidak melanggar aturan dasar.

Berbekal prinsip itulah Pak Imam melakukan berbagai terobosan untuk mengembangkan STAIN menjadi UIN Malik Ibrahim Malang.  Beliau mampu membina hubungan baik dengan IDB dan beberapa negara di Timur Tengah.  Presiden IDB dan BJ Habibie bahkan pernah hadir ke UIN Malang.  UIN juga mampu menjalin kerjasama dengan berbagai negara, sehingga punya banyak mahasiswa asing.  Kabarnya UIN Malang sudah mendapatkan hibah Tanah yang sangat luas oleh Pemkot Batu dan Pemkab Malang, untuk membuka program studi tertentu yang cocok.  Memang lahan tersebut jauh di pedesaan, tetapi menurut Pak Imam kalau membuka program studi seperti Pertanian harus di daerah pedesaan.  Dengan begitu akan dapat melahirkan sarjana yang siap bertani dan mencari kerja di kota.

Saya  belajar banyak ke Pak Imam, khususnya ketika merintis bantuan IDB.  Pak Imam pula yang memperkenalkan saya dengan P Makhlani, perwakilan IDB di Jakarta.  Dan berkat itulah akhirnya Unesa mendapatkan bantuan dari IDB.  Semoga kita dapat belajar kepada tokoh senior dan tulus seperti Prof. Dr. Imam Suprayogo dan tokoh muda seperti Mas Huda.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Luar biasa Prof Muclas. Semoga dapat menginspirasi kita semua. Amien.
From Cartenz HRD