Jumat, 04 Oktober 2013

PAK SUWARSONO DAN MESIN FAX KPK

Tanggal 2 Oktober 2013 saya diundang untuk hadir di acara Semiloka Pencegahan Korupsi yang dilaksanakan oleh Pemprop Jatim berkerjasama dengan KPK.  Tempatnya di gedung Grahadi Surabaya.  Perjalanan Semiloka yang seperti biasanya. Tidak ada yang istimewa.  Dibuka oleh Sekda Propinsi Jatim, diteruskan sambutan dari BPKP Jakarta dan KPK. Presentasi dari BPKP Jatim tentang hasil pemeriksaan di Jatim diteruskan dengan tanggapan oleh beberapa instansi dan Walikota Surabaya.

Yang justru menarik adalah sambutan yang disampaikan oleh Pak Suwarsono, Penasehat KPK.  Tampak ringan-ringan saja, tetapi justru menyentak dan menyentuh.  Misalnya, beliau cerita suatu saat bertanya kepada sekretarisnya berapa nomor fax di kantor.  Sekretarisnya ganti bertanya untuk apa bertanya nomor fax.  Dijawab kalau keluarganya di Jogya akan mengirim fax tiket untuk pulang.  Pak Warsono kaget, ketika sekretarisnya minta membatalkan niat itu.  Fax kantor untuk keperluan dinas dan tidak boleh digunakan untuk keperluan pribadi.  Walaupun hanya 1 lembar.

Cerita kedua, beliau ke kantor baik ojek.  Rumah P Warsono di Jogya dan di Jakarta kos. Karena jarak dari rumah ke kantor dekat, maka naik ojek dan hanya sekitar 5 menit.  Bisanya di tengah jalan berhenti, untuk membeli makan dan dibungkus untuk sarapan di kantor.  Walaupun kedudukannya sebagai penasehat KPK, tetapi ke kantor naik ojek dan beli makan yang dibungkus untuk sarapan di kantor. 

Cerita ketiga, saat bertugas ke Bandung dan diantar dengan mobil dinas pulang-pergi.  Saat pulang, P Warsono diantar sampai kantor dan setelah itu pulang dari kantor naik ojek atau jalan kaki.  Kenapa mobil tidak mengantar sampai tempat kos?  Karena dari kantor ke tempat kos itu urusan pribadi, jadi tidak boleh menggunakan mobil dinas.

Cerita ke empat, ketika beliau bertugas ke Purwokerto.  Beliau sudah tahu kalau tidak boleh mampir pulang ke Jogya, karena itu hari kerja dan biaya ke Purwokerto dibiayai oleh kantor.  OLeh karena itu Pak Warsono bertanya kepada stafnya bolehkah Bu Warsono nyusul ke Purwokerto.  Jawaban stafnya tidak boleh, karena hotel tempat menginap itu dibiayai oleh kantor untuk Pak Warsono yang sedang dinas.

Mendengar cerita itu, Kyai Abdussomad Buchori, Ketua MUI Jatim yang duduk di sebelah saya  nyeletuk.  Itulah sama dengan yang dicontohkan Khalifah Umar Bin Abdul Aziz.  Suatu saat pintu ruangan Khalifah Umar diketuk dan ternyata yang datang anaknya.  Khalifah bertanya, anaknya datang untuk keperluan negara atau keluarga.  Anaknya menjawab untuk keperluan keluarga.  Maka lampu dii ruang kerja Khalifah dimatikan, karena minyak lampu itu dari negara.  Dan urusan keluarga tidak boleh menggunakan biaya negara.

Walaupun disampaikan secara santai dan tentang hal-hal yang tampak sederhana, cerita tersebut rasanya menyentak.  Saya sulit membayangkan dapat memisahkan secara tegas, mana urusan kantor mana urusan pribadi dan keluarga seperti itu.  Mobil tidak boleh mampir mengantar ke rumah yang jaraknya hanya 5 menit dari kantor.  Tidak boleh ada orang lain yang ikut menempati kamar hotel, walaupun itu Bu Warsono.  Fax 1 lembarpun tidak boleh, pada hal itu untuk tiket pulang ke Jogya.

Memang saya pernah mendengar orang yang sudah menerapkan pola seperti itu, yaitu Prof Mahmud Zaki.  Ketika beliau menjadi Rektor ITS, kalau bekerja sampai sore dan yang dikerjakan adalah urusan pribadi, maka AC ruangan dimatikan.  Konon Ibu Zaki tidak boleh naik mobil dinas, sehingga pernah jatuh dari angkot. 

Apa yang dilakukan oleh Prof Mahmud Zaki (atas kehendak sendiri dan mungkin diilhami oleh Khalifah Umar bin Abdul Azis) ternyata dapat dijadikan kode etik di KPK.  Sungguh kebijakan bagus yang patut diberi penghargaan.  Walaupun saya yakin tidak mudah menerapkan.  Dan juga tidak mudah bagi pejabat dan karyawan KPK untuk melaksanakannya.

Kami sudah tahu kalau “orang KPK” tidak mau disuguhi, tidak mau dijemput atau diantar saat datang ke suatu instansi.  Unesa beberapa kali mengundang dan mendapat tamu dari KPK.  Abdullah Hehamahuwa (saat itu sebagai Penasehat KPK) pernah hadir dalam acara pembukaan PKKMB.  Mas Dedi dan Mas Rian dari KPK juga beberapa kali ke Unesa dalam kaitan Pendidikan Anti Korupsi bagi mahasiswa baru.  Namun informasi Pak Suwarsono tetap saja menyentak.

Ada teman komentar, KPK dapat menerapkan itu karena gajinya besar.  Saya setuju untuk dapat menerapkan kebijakan seperti itu, gaji harus cukup.  Namun gaji cukup belum tentu dapat menerapkan.  Jagi gaji cukup merupakan syarat perlu tetapi belum merupakan syarat cukup.  Syarat cukup-nya adalah tekat yang kuat.  Semoga kode etik KPK menjadi teladan bagi kita semua.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Salutt..sangat menyentakk..inspiratif. Sgt berbeda dg pejabat2 di instansi lain yg justru bertindak sebaliknya. Sulit dicari di jaman sekarang. Sayang sekali orang yg bagus spt itu hrs mundur dr KPK, kalau tak salah tahun 2015 krn kriminalisasi pimp KPK Abraham Samad dan BW. Padahal masa tugasnya sampai 2017 ini.

Terima kasih Pak Muchlas Samani.