Senin, 14 Oktober 2013

TAMPYAS HUJAN

Jawa Pos tanggal 14 Oktober 2013 memuat tulisan Pak Dahlan Iskan, Menteri BUMN, berjudul Mereka Tidak Basah di Kolam Oli.  Melalui tulisan itu, sepertinya Pak Hahlan Iskan ingin meyakinkan bahwa tidak semua pejabat seperti Pak Akil Muchtar yang tersangkut korupsi.  Masih banyak pejabat lain yang bersih.  Masih banyak pejabat yang memegang “posisi basah” tetapi tidak korupsi.  Ibarat mereka berada di kolam oli, tetapi tidak basah.  Pak Dahlan menyebut Mahfud MD sebagai salah satu contoh nyata.  Katanya masih banyak Mahfud-Mahfud yang lain di negeri ini.

Catatan singkat berikut ini dimaksudkan untuk melengkapi tulisan Pak Dahlan tersebut.  Sekitar tahun 2006, anak sulung saya mengajak diskusi agak serius.  Dia lulusan Belanda dan saat itu bekerja di perusahaan swasta di Jakarta.  Dia bertanya, apakah boleh mengundang pejabat dari daerh untuk ke Jakarta.  Saya bertanya untuk keperlukan apa?  Dijawab, sekedar ramah tamah untuk tahu program apa saja yang ada di kabupaten mereka.  Saya bertanya apa mereka mau?  Mengapa tidak datang saja ke kabupaten yang dimaksud?  Dijawab, nanti tiket ke Jakarta pp dan akomodasi selama di Jakarta dibiayai oleh perusahaan.

Diskusi itu berjalan agak lama dan melebar kemana-mana, walaupun tetap di sekitar upaya mendapatkan proyek. Termasuk cerita bagaimana perusahaan lain melakukan pendekatan dengan pihak-pihak tertentu.  Akhirnya saja memberi nasehat kira-kira sebagai berikut.  Ketika terjadi hujan, orang itu dapat basah kuyup karena di halaman dan tanpa payung.  Dapat pula benar-benar kering, karena di dalam rumah.  Namun juga dapat kena tampyas, karena berdiri di tritisan rumah.  Memang tidak kena hujan secara langsung, tetapi tetap basah karena kena cipratan air tritisan.  Metaphora itu saya sampaikan dengan catatan “kamu sudah dewasa, sarjana dan sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang kurang baik”.

Diskusi berhenti tanpa simpulan apa-apa.  Namun selang sekitar sebulan, anak saya datang lagi dan minta ijin apakah boleh kembali ke Eropa.  Dia mengeluh “kok semua serba abu-abu, tidak jelas mana yang putih dan mana yang hitam”.   Banyak argument yang diajukan.  Akhirnya saya menyatakan silahkan nak.  Yang penting kamu tetap orang Indonesia, dimanapun berada dan berkarya tetap membantu pengembangan negara tercinta.

Beberapa pakar menyatakan bahwa korupsi disebabkan oleh tiga faktor, yaitu niat dan keinginan yang bersangkutan untuk korupsi, peluang yang tersedia lebar dan merangsang orang untuk melakukan korupsi, dan tidak adanya pengawasan yang baik sehingga membuat orang mudah melakukan korupsi.

Memang ada orang yang punya niat korupsi, sehingga dengan segala cara mencari peluang untuk melakukannya.  Namun niat itu ternyata punya latar belakang beragam.  Konon ada orang yang semula “orang baik-baik”.  Namun ketika memegang jabatan tertentu dan jabatan itu ternyata mengharuskan dia untuk mencari dana guna memutar roga organisasi.  Nah, akhirnya timbul niat untuk memanfaatkan jabatannya untuk korupsi.

Tentu kita dapat mengatakan berarti “predikat orang baik” bagi dia sebenarnya belum teruji.  Buktinya ketika memegang jabatan dia tidak mampu mengendalikan dirinya untuk tidak korupsi.  Kalau menggunakan istilah Pak Nuh, Mendikbud, orang dapat dikatakan “bersih” kalau sudah diuji dengan memegang jabatan dan ternyata tidak menggunakan untuk korupsi.  Jadi “menjadikan” orang yang mampu menaham diri terhadap godaan sebesar apapun dan dari arah manapun merupakan langkah yang harus diupayakan.

Seorang teman mengatakan tata administrasi keuangan kita seringkali membuat orang untuk korupsi.  Misalnya besarnya uang lumpsum perjalanan dinas yang tidak cocok dengan kondisi nyata di lapangan.  Biaya makan tidak dapat terdukung oleh uang lumpsum.  Akhirnya banyak yang “mengakali” agar cukup.  Bukan untuk mencari “kelebihan” tetapi agar cukup dan yang bepergian tidak nambah uang pribadi.  Dan konon mengakali seperti itu dapat dikategorikan korupsi.

Tampaknya diperlukan penyempurnaan tata administrasi agar tidak mendorong orang untuk korupsi.   Tata adminstrasi yang membuat semua pelaksana kegiatan dapat mengerjakan tugas dengan baik.  Tidak perlu mendapatkan lebihan tetapi juga tidak boleh terpaksa mengeluarkan uang sendiri untuk melaksanakan tugas tersebut.

Pengawasan tampaknya juga sangat menentukan.  Namun sebaiknya sistem pengawasan yang harus diciptakan dan bukan pengawasan by accident.  Seingat saya pernah ada gagasan pembuktian terbalik.  Jadi setiap orang wajib dapat menjelaskan setiap harta miliknya dari mana asal usulnya.

Saya teringat suatu kejadian sekian tahun lalu.  Anak saya yang sedang kulaih nyambi bekerja di Eropa minta kiriman uang untuk “kerja praktek” dilaksanakan di negara lainnya.  Setelah saya kirimi, ternyata dinyata ditanya oleh petugas, dari mana tambahan uang di rekeningnya.  Jika itu hasil kerja, apakah sudah membayar pajak.  Jadi sistem di negara itu sedemikian rapi, sehingga setiap tambahan uang di rekening seseorang terpantau.  Dan jika ada tambahan yang tidak jelas asalnya, pemilik rekening ditanya dan harus dapat menjelaskan. 

Semoga kita dapat membekali para pemegang amanah dengan integritas tinggi, sehingga tidak tergoda untuk korupsi.  Semoga tata administrasi keuangan kita semakin baik, sehingga membuat pelaksana kegiatan dapat bekerja dengan baik tanpa harus mengakali.  Semoga kita segera memiliki sistem pengawasan yang dapat mengetahui setiap perubahan kepemilikan para aparat negara.

Tidak ada komentar: