Selasa, 22 Oktober 2013

TANTANGAN PENDIDIKAN DI ERA CYBER

Hari ini, 23 Oktober 2013 saya diundang oleh Universitas Airlangga untuk menjadi keynote speaker dalam forum Guru-guru Bloger.  Saya senang karena merupakan kesempatan baik bagi saya untuk berbagi kerisauan.  Mumpung ketemu orang-orang “dunia maya” yang saya yakin selalu haus informasi dan tahu bagaimana caranya mencari informasi itu.  Saya ingin berbagai kerisauan tentang bagaimana seharusnya dunia pendidikan menata diri di era cyber.   

Sudah agak lama saya merenungkan perubahan apa yang akan terjadi terhadap pendidikan ketika era cyber telah datang.  Dalam beberapa kali kesempatan saya menyampaikan “kalau kita ingin tahu berapa penduduk Kota Surabaya, kemana kita mencari?”.  Dulu mungkin di Buku Surabaya Dalam Angka.  Atau di Buku Pelajaran Geografi.  Sekarang lebih cepat buka Google dan ketik kata “jumlah penduduk Surabaya”.  Keluarlah data itu dan bahkan dengan uraiannya.  Hal yang sama, kalau kita ingin tahu hal lain.  Misalnya kita dapat obat dari dokter.  Sebut saja namanya “X”.  Ketik nama obat itu di Google, akan keluar banyak informasi.  Paling tidak keluar Wikipedia yaitu semacam ensklopedia pada masa lalu.  Intinya saat ini segala macam informasi tersedia di internet.

Beberapa perguruan tinggi besar, misalnya MIT sudah mengunggah semua materi kuliah di web-nya.  Semua orang dapat melihat dan mengunduh dengan gratis.  Tentu tidak dapat melakukan interaksi dengan dosen dan juga tidak dapat mengikuti ujian. Kecuali mahasiswa yang terdaftar disana.  Bahkan MIT juga mengembangkan BLOSSOMS (Blended Learning Open Source Science or Math Studies).  Bahannya dikembangkan bersama dengan orang dari berbagai penjuru dunia.  Dan hasilnya dapat dinduh oleh siapa saja tanpa membayar.  E-book saat ini juga sudah mewabah.  Harganya jauh lebih murah.  Bahkan banyak “orang dermawan” yang mengunggah e-book dan semua orangdapat mengunduhnya secara gratis.

Kalau sudah seperti itu, maka lantas apa tugas guru?  Sampai saat ini pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh guru adalah menerangkan suatu teori, konsep dan fenomena. Kalau penjelasan semacam itu sudah tersedia di internet lantas apa yang harus dikerjakan oleh guru dan dosen? Membantu menjelaskan karena siswa/mahasiswa tidak dapat belajar sendiri?  Tanpa penjelasan guru/dosen, siswa/mahasiswa tidak dapat memahami?  Apa itu betul?  Apa itu berlaku untuk siswa SD, SMP, SMA. Mahasiswa S1, S2 dan S3?

Mungkin pola pembelajaran akan mengalami perubahan fundamental dalam waktu mendatang.  Mungkin tugas guru adalah mendampingi dan memandu siswa dalam belajar.  Bukan memberikan informasi, karena informasi sudah ada di internet.  Bukan menerangkan, karena wikipedian sudah menerangkan itu.  Pekerjaan guru/dosen adalah “mengatur situasi belajar”, agar siswa/mahasiswa memperlajari informasi yang diperoleh.  Untuk apa?  Apakah sekedar biar faham?  Atau untuk cadangan pengetahuan?  Itulah hal kedua yang perlu kita renungkan bersama.  Sebenarnya untuk apa anak sekolah atau kuliah?  Apakah sekedar untuk memperoleh kumpulan pengetahuan?

Dua pertanyaan terakhir sering saya ajukan kalau saya mendapat kesempatan ketemu guru atau orang tua siswa.  Umumnya mereka menjawab, tidak.  Akan bersekolah atau kuliah untuk mencari bekal hidup agar besuk dapat sukses.  Nah, pertanyaan apa bekal agar anak-anak dapat sukses di era cyber.  Itulah yang perlu didiskusikan.

Sekrang muncul istilah The 21st Centry Skills.  Kira-kita kemampuan yang diperlukan untuk menghadapi era Abad Ke-21.  Salah satu buku yang dapat dibaca karangan Bernie Triling dan Charles Fadel dengan judul 21st Century Skills: Learning for Life in Our Time.  Melalui serangkaian riset  dua orang itu mengajukan tiga kemampuan yang diperlukan di abad 21, yaitu: learning and innovation skills, media and technology skills, dan life and career skills.  Kita tidak harus menerima gagasan mereka.  Yang penting kita mencari yang tepat untuk kondisi Indonesia.

Hal lain yang ingin saya ajukan untuk menambah semangat “mencari”, adalah: (1) gap antara pencari kerja dan pencari karyawan, dan (2) makin renggangnya hubungan antara latar belakang pendidikan dengan profesi yang ditekuni orang.  Setiap hari Sabtu koran memuat begitu banyak lowongan pekerjaan.  Di lain pihak, jika ada job fair ribuan anak muda antre mencari pekerjaan.  Apa yang terjadi?  Yang mencari karyawan susah mendapatkan, yang mencari pekerjaan sudah mendapatkan.  Seakan ada ketidak cocokan antara yang dicari oleh perubahaan dan yang melamar pekerjaan.

Dimasa lalu, orang yang masuk Fakultas Hukum hampir pasti menjadi hakim, jaksa dan pengacara.  Orang yang masuk IKIP hampir pasti menjadi guru.  Orang yang masuk Teknik Sipil, hampir pasti bekerja di PU, menjadi konsultan bangunan atau bekerja diperusahaan kontraktor.  Saat ini hubungan seperti itu semakin longgar.  Banyak lulusan IKIP bekerja di perusahaan, menjadi pedagang bahkan menjadi politisi.  Dan sebagainya.

Mari kita kaji apa yang harus ditata agar pendidikan sesuai dengan era cyber.  Semoga fenomena koran hari Sabtu dan antrean di jobfair tidak terus berlangsung.  Semoga kita menjadi pebelajar yang baik.

Tidak ada komentar: