Kamis, 13 Juni 2013

BELI HP DI CHINA, INGAT SEPEDA MOTOR DI TANAH AIR

Tahu kalau saya akan ke Cambodia terus ke China, isteri saya minta dibelikan HP.  Katanya HP di China murah dan bervariasi. Konon beberapa temannya sudah punya HP buatan China dan ternyata handal.  Oleh karena itu, ketika ada waktu setelah selesai board meeting, saya minta ditunjukkan toko yang menjual HP.  Ternyata di dalam kampus CCNU, pas di sebelah pintu gerbang, ada pertokoan toko elektronik empat lantai, yang juga juga berjualan HP. Akhirnya saya ke pertokoan itu dan berhasil mendapatkan HP buatan China dengan harga 800 yuan atau sekitar 1,25 juta rupiah.

Di pertokoan tersebut dijajakan berbagai merek HP, buatan Jepang seperti Sony, buatan Korea Selatan seperti Samsung, dan yang terbanyak tentu buatan China dengan berbagai merek.  Harga HP buatan China sekitar ¼ buatan Korea Selatan untuk spesifikasi selevel.  Bukan main.  Pada hal, HP buatan Korea Selatang sudah lebih murah dibanding buatan Amerika Serikat, misalnya Black Berry, dan buatan Jepang seperti Sony.

Ketika bertemu dengan orang di China saya sempat melirik, hampir semua menggunakan HP buatan China.  Hanya sedikit yang menggunakan HP lain, umumnya Samsung dari Korea Selatan.  Buya Safi’i Maarif, guru besar Sejarah UNY dan mantan Ketua PP Muhammadiyah pernah menulis resonasi di Harian Republika, bahwa industri Korea Selatan sedang menggulung industri Jepang.  Konon karena Jepang kalah cepat dalam pengambilan keputusan dan kalah lincah dalam berinovasi karena pejabatnya “terlalu senior”.  Jangan-jangan, sebentar lagi Korea Selatan digulung oleh China.

Oleh karena itu, setelah membeli HP buatan China tadi, saya jadi teringat sepeda motor di tanah air. Tahun 2011 saya bertemu dengan Pak Gunadi, direktur utama Indomobil, pada suatu acara di Jogyakarta.  Saat ini saya bertanya berapa produksi per tahun sepeda motor di Indonesia.  Dan berapa persen yang diekspor dan berapa persen yang dipasarkan dalam negeri.  Saya tidak ingat angka jumlah produksi, yang saya ingat persentasi yang diekspor kurang dari 5%.   Jadi yang 95% dipasarkan di dalam negeri.

Saya jadi bertanya dalam hati.  Sebagai orang yang awam dalam bisnis, saya beripikir kalau hanya 5% yang diekspor, berarti sangat kecil hambatan karena pasar utamanya di dalam negeri. Dibuat sendiri, dijual kepada masyarakat sendiri.  Apakah sulit membuat sepeda motor?  Saya yakin tidak, karena kita mampu membuat pesawat terbang.  Pak Gunadi juga sepakat bahwa secara teknis tidak sulit membuat sepeda motor.

Lantas apa sebabnya sampai saat ini kita tidak punya sepeda motor “buatan sendiri”, dengan merek sendiri, asli Indonesia?   Pertanyaan itu saya ajukan kepada Pak Gunadi, karena saya tidak mengerti liku-liku industri otomotif di negeri ini.  Jawaban pak Gunadi datar saja.  Katanya kebijakan perindustrian dan perdagangan kita belum mendukung kearah itu.  Untuk memulai suatu industri “produk sendiri” diperlukan insentif tertentu, agar mampu bersaing dengan industri yang telah berjalan lebih dahulu.

Sebagai orang yang tidak punya pengalaman di dunia usaha, saya tidak begitu faham penjelasan Pak Gunadi.  Yang saya tangkap, sepertinya kalau kita ingin industri sepeda motor berkembang, diperlukan kebijakan yang dapat mendorong dan membantunya agar mampu bersaing dengan industri sepeda motor merek asing yang selama ini sudah eksis di Indonesia.  Saya lantas berpikir, kalau Korea Selatan bisa dan China bisa, kenapa kita tidak bisa.  Dulu Jepang juga dikenal sebagai “penjiplak” produk negara lain, saat awal menghasilkan berbagai produk.  Demikian pula Korea Selatan dan China.

Dengan penduduk hampir 250 juta, rasanya pasar dalam negeri Indonesia sangat besar.  Tinggal bagaimana kita dapat menghasilkan produk yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dengan harga yang terjangkau.  Kita dapat belajar dari Korea Selatan dan China, bagaimana mereka memulai indutrinya.  Kita juga perlu belajar, bagaimana mengedukasi masyarakat agar lebih bangga menggunakan produk dalam negeri.

Saya membayangkan, Indonesia memiliki siswa SD sebanyak 26 juta, siswa SMP, SMA, SMK sekitar 18 juta.  Jumlah mahasiswa sekitar 5 juta.  Jadi jumlah siswa dan mahasiswa kita sekitar 50 juta.  Jika 50% saja yang menggunakan HP, berarti ada 25 juta orang.  Kalau kita dapat membuat HP yang cocok untuk kebutuhan mereka, harganya sesuai dengan kantong mereka, dan sekolah dapat mengedukasi bahwa menggunakan HP produk dalam negeri itu kebanggan, mungkin merupakan permulaan yang bagus.  Itu hanya impian guru yang tidak faham dengan liku-liku bisnis dan industri.  Namun yakin sudah saatnya kita mulai.  Semoga.

Tidak ada komentar: